Pariwisata dapat menjadi andalan oleh karena anugerah alam yang luar biasa ini. Namun, perlu pengaturan lebih bijak.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Unjuk rasa warga Kepulauan Canary di Spanyol, Sabtu (13/4/2024), menguak sisi gelap dari industri pariwisata. Penduduk merasa dipinggirkan oleh turisme berlebihan.
Dengan penduduk hanya 2,2 juta orang, Kepulauan Canary dikunjungi hingga 16 juta wisatawan (2023). Segala keriuhan yang ditimbulkan oleh kehadiran belasan juta wisatawan itu dinilai mendegradasi kualitas hidup warga Canary. Warga seolah terasing di kampung halamannya sendiri.
Mengapa Kepulauan Canary begitu populer bagi warga Eropa? Pertama, Canary relatif mudah dijangkau. Dari Paris atau London hanya butuh terbang selama enam jam, dari Berlin dapat dijangkau dalam tujuh jam, sedangkan dari Stockholm sekitar delapan jam. Penerbangan umumnya dengan satu kali transit yang dimanfaatkan para pelancong untuk ”meluruskan” kaki.
Kedua, dengan lokasi dan biaya yang ”terjangkau” tersebut, wisatawan yang terbang ke Canary dapat merasakan kehangatan. Bagi mereka, lebih baik berenang di pesisir Canary daripada meringkuk di rumah akibat badai salju di kota-kota di Eropa bagian utara.
Persoalannya, industri pariwisata kerap menarik investasi besar untuk pembangunan sejumlah hotel. Tidak dapat dihindari, pembangunan properti itu turut melambungkan harga rumah. Warga lokal, terutama generasi muda, akhirnya tidak mampu membeli rumah.
Kehadiran belasan juta turis akhirnya memicu masalah lingkungan. Industri turisme menyebabkan tumpukan sampah, kebisingan oleh karena lalu lalang turis, hingga terkurasnya cadangan air bersih. Sikap warga Canary pun terbilang ekstrem, yakni mogok makan, hingga pemerintah menghentikan pembangunan dua hotel baru di Tenerife.
Di beberapa negara, industri pariwisata sesungguhnya diandalkan untuk ”mengganjal” pertumbuhan ekonomi. Perancis, Spanyol, Amerika, Turki, dan Spanyol tiap tahun kedatangan lebih dari 40 juta wisatawan. Namun, idealnya dapat dibangun industri pariwisata yang berkelanjutan untuk menghindari ketidakseimbangan pembangunan sebagaimana dialami warga Kepulauan Canary.
Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Secara umum, industri pariwisata di Indonesia terlihat belum jenuh. Kunjungan wisatawan mancanegara 2023 baru sekitar 11 juta orang di negara kepulauan seluas ini. Walau demikian, harus diakui, terdapat kawasan-kawasan yang terdampak, seperti Bali, yang seolah menjadi pusat konsentrasi wisatawan mancanegara.
Thailand, yang lebih dulu mengalami persoalan industri pariwisata, telah mengatur lebih ketat perjalanan wisatawan. Pelancong WNI, misalnya, harus telah membeli tiket kepulangan, memesan akomodasi, serta membawa uang tunai yang memadai. Dari Thailand, semestinya Indonesia dapat belajar untuk menerapkan hal serupa demi memastikan kehadiran turis asing yang berkualitas.
Sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan telah berencana menerapkan sistem kuota pada aktivitas pariwisata alam perairan, seperti di kawasan konservasi Pulau Gili Matra di Nusa Tenggara Barat. Jika rencana sistem kuota ini telah diterapkan, idealnya pemerintah dapat terus menyempurnakannya setelah menimbang antara fungsi konservasi dan kebutuhan pariwisata demi menyejahterakan rakyat setempat.
Kita tahu negeri ini butuh alternatif pemasukan di tengah perubahan zaman. Pariwisata dapat menjadi andalan oleh karena Tuhan menganugerahi kita dengan alam dan kultur yang luar biasa ini. Namun, perlu pengaturan industri pariwisata dengan lebih bijaksana agar menguntungkan bagi semua.