Tren Pernikahan Indonesia dan Transisi Demografi Kedua
Pernikahan bagi banyak anak muda kini bukan lagi prioritas utama saat hidup sudah mapan.
Oleh
SAQIB FARDAN AHMADA
·4 menit baca
Tren penurunan angka pernikahan di negara ini bisa dilihat sebagai gejala Indonesia dalam proses transisi demografi kedua. Harian Kompas belum lama ini memberitakan tren penurunan angka pernikahan hingga titik terendah di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Tercatat pada 2023 angka pernikahan 1,58 juta, turun signifikan dari tahun 2013 sebanyak 2,21 juta.
Pernikahan bagi banyak anak muda kini bukan lagi prioritas utama saat hidup sudah mapan. Jalan hidup yang biasanya belajar, bekerja, lalu menikah dan memiliki anak semakin jauh dari bayangan/pikiran mereka.
Kebanyakan masyarakat mengaitkan fenomena ini dengan tren biaya pernikahan, pembiayaan anak, hingga harga rumah yang kian mahal, yang tak diikuti oleh kenaikan pendapatan yang seimbang.
Transisi demografi kedua
Penulis melihat fenomena ini sebagai gejala Indonesia dalam proses transisi demografi kedua (second demographic transition/SDT). SDT mengacu pada proses transisi demografi di Eropa Barat yang dimulai tahun 1965. Secara teoretis, SDT menjelaskan transisi menuju angka fertilitas di bawah tingkat penggantian (replacement rate).
Secara lebih spesifik, proses SDT ditandai oleh beberapa gejala, seperti perubahan norma keluarga, naiknya tren pergeseran dari pernikahan menjadi kohabitasi (hidup bersama tanpa ikatan perkawinan), perubahan norma keluarga yang berpusat pada anak menjadi keluarga berpusat pada diri sendiri/pasangan, hingga munculnya variasi tipe rumah tangga (RT).
Dalam hal perubahan norma keluarga, hal yang umum terjadi ialah munculnya dual earner family (keluarga dengan dua pencari nafkah). Ini sejalan dengan tren kenaikan angka partisipasi kerja perempuan.
Selain itu, muncul pula perubahan dalam format keluarga, ditandai oleh munculnya ekonomi RT baru (new household economics/NHE). NHE mengasumsikan permintaan RT untuk memiliki anak ditentukan oleh biaya atau opportunity cost dalam membesarkan anak dan tingkat pendapatan keluarga.
Jika sebelumnya anak dilihat sebagai investasi ekonomi yang memungkinkan adanya return melalui anak sebagai tenaga kerja dan penyedia dukungan keuangan bagi orangtua di masa tua (Todaro & Smith, 2020), maka kini anak tak lagi dilihat sebagai bentuk investasi.
Keputusan untuk memiliki anak kini melibatkan pertimbangan bahwa dengan adanya anak, individu atau RT harus ”mengorbankan” sumber daya seperti alokasi waktu, biaya finansial, dan bahkan peluang karier. Dengan tren kian meningkatnya angka perempuan yang bekerja dan memulai karier, punya anak kini tak lagi dilihat sebagai investasi atau ”pekerja”, melainkan opportunity cost.
Kondisi Indonesia
Lalu bagaimana menjelaskan tren demografi Indonesia melalui SDT? Utomo dkk (2022) menemukan proses SDT di Indonesia tengah terjadi dengan melihat fertilitas di bawah replacement rate di beberapa provinsi, antara lain DKI Jakarta, DIY, Jawa Timur, dan Banten.
Selain itu, terdapat peningkatan usia saat menikah pertama, nonpernikahan, dan tingkat perceraian; serta pertumbuhan keberagaman dalam tipe RT.
Contohnya, dalam konteks variasi tipe RT, data 1993-2020 mengungkapkan adanya pergeseran. Terjadi peningkatan proporsi RT yang terdiri atas pasangan tanpa anak dari 7,43 persen pada 1993 menjadi 9,4 persen pada 2020. Demikian pula, RT satu orang juga mengalami tren meningkat, dari 6,03 persen menjadi 8,03 persen. Sebaliknya, tipe RT yang dominan, yaitu pasangan dengan anak, berkurang dari 55,14 persen menjadi 50,48 persen.
Dengan tren kian meningkatnya angka perempuan yang bekerja dan memulai karier, punya anak kini tak lagi dilihat sebagai investasi atau ’pekerja’, melainkan ’opportunity cost’.
Meski demikian, perlu dicatat bahwa secara geografis dan demografis Indonesia memiliki ciri tingkat keberagaman yang tinggi. Wilayah Indonesia yang luas menyebabkan kondisi ekonomi, budaya, dan demografis bersifat heterogen.
Karena itu, fitur-fitur kunci dari SDT dalam konteks ini tak muncul dan berkembang secara seragam (Utomo, 2022). RT di negara-negara berkembang tidak bertindak secara unitaris, seperti digambarkan dalam konteks SDT di Eropa (Todaro & Smith, 2020).
Selain itu, pergeseran demografis ini terjadi di tengah-tengah berbagai ketegangan dan kontradiksi dalam arah perubahan ide yang berkaitan dengan pernikahan dan keluarga. Perubahan ide yang berlaku yang mendorong pergeseran dalam pernikahan, fertilitas, dan keluarga di Indonesia tidak bersifat linear atau tunggal dalam satu arah.
Belajar dari Korea Selatan
Dalam konteks tingkat fertilitas, Korea Selatan saat ini memegang posisi sebagai the lowest low. Angka fertilitas mereka pada 2023 sebesar 0,72 cukup jauh dari angka replacement rate, yakni 2,1. Secara global, negara-negara maju mengalami penurunan angka kelahiran, tetapi tidak ada yang seekstrem Korea Selatan.
Ini konsekuensi berturut-turut dari masalah pernikahan yang terlambat, yang diikuti oleh kelahiran anak yang terlambat, dan akhirnya infekundabilitas atau ketidaksuburan pada usia tua. Hal ini tidak lepas dari meningkatnya biaya membesarkan anak yang begitu tinggi dan juga opportunity cost perempuan dalam karier mereka.
Pemerintah Korsel memberikan berbagai insentif, seperti pasangan yang memiliki anak diberi uang tunai, mulai dari bantuan bulanan hingga subsidi perumahan dan taksi gratis.
Insentif keuangan semacam ini tak berhasil, menyebabkan para politisi berpikir lebih banyak solusi ”kreatif”, seperti menyewa pengasuh dari Asia Tenggara dan membebaskan pria dari wajib militer jika mereka memiliki tiga anak sebelum berusia 30 tahun. Namun, tak satu pun dari solusi ini berhasil seperti diharapkan.
Memang secara geografis, ekonomi, dan demografis kondisinya jauh berbeda dengan Indonesia. Namun, justru ini waktu yang tepat untuk segera melihat tren ke depan.
Indonesia memiliki problem dengan beragamnya kultur yang berefek pada beragamnya pilihan tiap rumah tangga dalam konteks ini. Melihat pola perbedaan ini menjadi penting untuk menghindarkan Indonesia jatuh ke dalam lubang yang sedang dialami negara-negara di Asia Timur.