Cerpen sebaiknya tidak dipahami sebagai cerita yang pendek, tapi sebagai sub-genre tersendiri.
Oleh
ALIURRIDHA
·3 menit baca
Seorang pengarang yang cukup populer pernah memprotes redaktur (sastra) koran karena menerbitkan cerpen-cerpen yang, menurutnya, tidak bisa disebut cerpen—karena hanya berisi kata-kata puitis berbunga-bunga, tetapi tidak memiliki cerita. Ia pun menegaskan, jika redaktur masih ingin terus menerbitkan karya model begitu, sebaiknya jangan menyebutnya cerpen karena, menurutnya, cerpen adalah cerita yang pendek. Pertanyaannya, benarkah demikian? Benarkah cerpen harus ada ceritanya? Lalu seperti apa yang dimaksud cerita itu?
Menurut KBBI, cerita adalah: 1) tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal (peristiwa, kejadian, dan sebagainya): 2) karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, atau penderitaan orang; kejadian dan sebagainya (baik yang sungguh-sungguh terjadi maupun yang hanya rekaan belaka); 3) lakon yang diwujudkan atau dipertunjukkan dalam gambar hidup (sandiwara, wayang, dan sebagainya); 4) omong kosong; dongengan (yang tidak benar); omongan.
Namun, tentu saja definisi cerita di atas berbeda dengan cerita yang dimaksudkan sebagai prosa. Prosa umumnya memiliki struktur cerita. Setidaknya itu yang dipahami mereka yang bergiat di kepenulisan cerita. Dan karena cerpen adalah bagian dari prosa, maka ia juga harus memiliki struktur cerita. Mungkin inilah yang dimaksud pengarang tadi, bahwa cerpen harus mengikuti kaidah struktur cerita dalam pengertian yang mapan: ada eksposisi, plot, konflik, dan resolusi.
Saya agaknya kurang setuju. Beberapa cerpen yang belakangan ini saya baca tidak begitu. Cerpen-cerpen itu tidak memiliki struktur cerita dalam pengertian di atas. Tidak ada eksposisi, plot, konflik, dan resolusi yang membangun tubuhnya. Bahkan premisnya tidak jelas—untuk tidak mengatakannya tidak ada. Namun, cerpen-cerpen itu tetap digolongkan sebagai cerpen.
Tengok saja cerpen beraliran surealisme atau cerpen-cerpen eksperimental. Cerpen-cerpen itu susah sekali—jika tidak mungkin—dibedah strukturnya menggunakan teori-teori struktur cerita yang mapan. Mungkin kamu bertanya-tanya: kenapa begitu? Ya, karena pertaruhannya memang tidak pada struktur cerita. Strukturnya tidak dibangun untuk mengejar efek dramatik cerita, melainkan untuk mengejar efek sugestif bahasa atau mengejar kebaruan bentuk. Cerpen-cerpen model ini seringnya tidak punya cerita sama sekali atau bisa dikatakan tidak punya cerita dalam pengertian yang mapan.
Coba saja tengok cerpen Julian Barnes berjudul “60/40: Rokok, Biji Pelir, dan Bangsat-Bangsat yang Beruntung” yang tidak bisa disebut memiliki cerita. Cerpen ini tidak memiliki narasi. Hanya deskripsi singkat di pembuka dan penutup cerita. Setelah itu hanya ada polilog tanpa penjelasan siapa bicara apa. Jangankan itu, ada berapa tokoh yang terlibat dalam cerpen ini saja tidak diketahui jika hanya melihat permukaan teks.
Sekilas, membaca cerpen ini akan membuatmu seolah sedang berada di pasar dengan mata tertutup. Kamu diminta berdiri dan mendengar orang-orang bicara, namun karena matamu tertutup, kamu tidak tahu siapa yang bicara dan apa yang bicarakan pun kurang jelas. Obrolan melompat tak beraturan ke sana kemari. Tetapi jika kamu mau menelaahnya dengan lebih teliti, maka kamu bisa menemukan lewat gaya bicaranya, apa yang dibicarakan, dan sapaan yang dilakukan tokoh yang satu kepada tokoh lainnya.
Lalu, bagaimana dengan strukturnya? Jangankan struktur, premisnya saja tidak jelas. Namun, seperti yang saya katakan tadi, pertaruhannya memang bukan di struktur. Pertaruhannya ada di tiga hal: narator, karakter kerumuman, dan wacana kekuasaan. Cerpen ini menggunakan narator personal dengan sudut pandang orang pertama jamak (kami) yang sangat jarang digunakan. Kemudian lewat polilog ”karakter kerumunan” dimunculkan. Karakter kerumunan dapat dilihat melalui percakapan dalam cerpen yang tidak terstruktur, topik pembicaraan berubah-ubah dengan cepat, dan tidak adanya karakter individu yang menonjol. Dengan gaya seperti ini, maka tema yang dipercakapkan menjadi hal yang utama. Aspek tematik dalam cerpen ini begitu kuat dan dikembangkan untuk membongkar struktur kekuasaan yang muncul dalam masyarakat.
Selanjutnya ada cerpen Patricio Pron yang berjudul ”Pagar dari Kata-Kata”. Patricio Pron adalah penulis Amerika Latin (Argentina), generasi pascarealisme magis. Cerpennya ini juga tidak bisa dikatakan memiliki cerita. Cerpen ini disusun dari rangkaian panel yang dipecah menjadi 9 panel yang tampak tak berhubungan. Narator bertindak laiknya kamera CCTV yang membingkai kejadian-kejadian di suatu hari, lalu menghubungkan kejadian-kejadian itu menjadi suatu rangkaian yang tokoh-tokohnya sendiri tidak tahu. Cerpen ini syarat detail dan tanpa dialog, benar-benar seperti kamera CCTV.
Peristiwa-peristiwa dalam cerpen ini tidak bisa disebut cerita dalam pengertian yang mapan—karena tidak adanya eksposisi, plot, konflik, dan resolusi. Pertaruhan cerpen ini ada pada penggambaran perkara-perkara besar seperti siklus hidup, seksualitas, kepercayaan agama, kesetiaan, kematian, dan penciptaan. Kegiatan sehari-hari manusia modern yang remeh-temeh ditampilkan dengan begitu hidup lewat jukstaposisi.
Kedua cerpen ini agak susah dipahami sebagai cerita dalam pengertian yang mapan (ada plot, eksposisi, konflik, dan resolusi). Tetapi apakah keduanya bisa disebut cerpen? Tentu saja bisa. Eka Kurniawan pernah berkata, cerpen adalah ruang untuk mengekspresikan sesuatu yang tidak bisa diekspresikan dalam novel. Cerpen adalah ruang bagi dia dalam bereksperimen—sesuatu yang agaknya sulit dilakukan Eka dalam novel. Bisa dilihat dalam buku kumcernya Cinta Tak Ada Mati (GPU, 2018), Eka Kurniawan menulis dengan menggunakan gaya yang berbeda-beda untuk setiap cerpennya. Meski tidak sepenuhnya eksperimen, tetapi Eka mencoba pelbagai bentuk untuk menghasilkan setiap cerpen dalam kumpulan itu.
Jadi, saya berpikir kita perlu meninjau ulang pemahaman kita tentang cerpen. Cerpen sebaiknya tidak dipahami lagi sebagai cerita yang pendek—karena ada banyak cerpen yang tidak menggunakan kaidah penyusunan cerita yang mapan dalam menyusun tubuhnya. Karena itu cerpen sebaiknya dipahami sebagai sub-genre dalam sastra yang tidak bisa dimasukkan dalam kategori puisi atau novel. Cerpen bukan lagi sekadar cerita yang pendek.
Aliurridha, Pengajar di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Mataram. Bergiat di komunitas sastra Akarpohon.