Kebakaran mengakrabi Jakarta. Kepatuhan yang rendah pada aturan keselamatan memicu bencana berulang.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Kebakaran di toko bingkai ”Saudara” di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Kamis (18/4/2024), membuka kembali fakta tentang Jakarta sebagai kawasan urban yang akrab dengan kebakaran. Tujuh orang tewas dalam peristiwa itu menegaskan bahwa amuk api begitu mudah memakan korban, baik itu sekedar materiil maupun nyawa.
Data Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta sebagaimana dilaporkan harian ini, selama 2019-2023 terjadi 9.200 kebakaran. Sebanyak 142 warga tewas, 463 korban luka-luka, dan 15.636 keluarga atau 55.031 jiwa terdampak, serta kerugian Rp 1,3 triliun.
Dalam 5 tahun itu, rata-rata terjadi 5 kebakaran setiap hari. Masalah kelistrikan, seperti korsleting atau hubungan pendek arus listrik, menjadi pemicu utama.
Upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memerangi kebakaran sebenarnya cukup serius. Ada kampanye instalasi listrik aman di permukiman, penambahan petugas dan sarana prasarana pemadaman, juga siaga tanggap darurat bencana.
Akan tetapi, terhitung hingga 2021 lalu, baru 34 persen atau 421 hidran di Jakarta yang berfungsi sempurna. Ini mencerminkan kesiapsiagaan kota metropolitan tersebut yang belum memadai dalam menghadapi kebakaran.
Rasio jumlah pemadam dan jumlah warga di Jakarta, yaitu 1:2.357. Di Kuala Lumpur, Malaysia rasionya 1:1.594. Di New York, Amerika Serikat 1:774 dan di Tokyo, Jepang 1:336.
Jakarta masih menempatkan jaminan keselamatan di rumah ataupun tempat usaha di nomor kesekian.
Jakarta, metropolitan paling maju di Indonesia, memiliki karakteristik berbeda dengan kota utama di negara tetangga maupun negara maju. Di sini, gedung pencakar langit dan perumahan bertaburan dilengkapi jaringan jalan raya dan ruas tol. Di antara itu, tersebar kampung padat dan gang sempit.
Instalasi listrik ala kadarnya dan usaha yang butuh standar operasi khusus jamak ditemukan di wilayah padat. Tempat usaha menyatu dengan tempat tinggal ada di apartemen juga di perkampungan. Pengelompokan area bisnis dan industri terpisah dengan perumahan tidak terwujud di sini.
Tata ruang beserta sederet aturannya ditambah lagi dengan undang-undang ketenagakerjaan terkesan tegas di atas kertas. Namun, tak bergigi menghadapi kondisi fisik maupun sosial di Jakarta yang masih menempatkan jaminan keselamatan di rumah maupun tempat usaha di nomor kesekian.
Masyarakat tak memahami konsekuensi kesembronoannya. Penegak aturan, yaitu pemerintah beserta para aparatnya, tidak maksimal melaksanakan tugasnya.
Berkaca dari kasus Mampang Prapatan, perlu ada rekayasa sosial agar setiap pihak peduli dan mematuhi aturan keselamatan. Penuhi segera sarana prasara pemadaman diikuti adopsi strategi penjinakan api di kawasan padat, lokasi kebakaran tanpa jalur evakuasi, dan di gedung jangkung.
Api kecil adalah kawan, api yang membesar dan mengamuk adalah lawan. Jangan biarkan lawan itu terus merajalela.