Sekitar lima tahun lalu terjadi perbincangan soal kerja sama teknologi finansial internasional dengan pelaku dalam negeri, tetapi tak berujung. Kini, isu itu kembali mengemuka.
Ant Group, perusahaan pemilik layanan pembayaran digital Alipay, mengumumkan akan memperluas layanan pembayaran lintas batas negara yang bernama Alipay+ ke Indonesia. Saat ini, Ant Group sedang mengurus segala persyaratan sesuai dengan regulasi Bank Indonesia (BI) dan kebutuhan bekerja sama dengan mitra lokal supaya Alipay+ bisa cepat digunakan di Indonesia.
CEO Ant International Peng Yang menyampaikan, pihaknya membutuhkan petunjuk dari BI untuk mengoperasikan Alipay+. Sejauh ini, diskusi berjalan lancar. Mereka berharap seluruh proses bisa cepat sehingga dapat membawa banyak dompet elektronik internasional ke Indonesia (Kompas, 20/4/2024).
Kita tentu masih ingat ketika pada tahun 2019 isu kerja sama bank domestik dengan pelaku sistem pembayaran internasional muncul ke publik. Waktu itu ada kabar rencana kerja sama, antara lain CIMB Niaga dengan WeChat dan BCA dengan Alipay.Kabar ini menjadi pembahasan yang hangat. Kala itu BI mensyaratkan agar pelaku sistem pembayaran internasional harus bekerja sama dengan bank BUKU IV atau bank dengan modal inti di atas Rp 30 triliun, lalu isu ini kembali senyap.
Apabila kemudian isu ini kembali muncul, tentu saja publik bertanya, ada perkembangan apa hingga rencana ini kembali bangkit? Di satu sisi terlihat ada kebutuhan agar pelaku usaha di dalam negeri bisa melakukan pembayaran lintas batas negara dengan mudah. Lima tahun adalah waktu yang lama untuk menunggu keputusan kerja sama ini.
Kali ini Ant Group sangat boleh jadi terlihat lebih optimistis. Meski demikian, kita masih menunggu respons dari BI. Dalam berbagai kesempatan, BI tetap mensyaratkan kerja sama dengan bank BUKU IV dan transaksi terhubung dengan Gerbang Pembayaran Nasional.
Bank Indonesia tentu punya alasan kuat untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan menyetujui kerja sama itu. Ada beberapa risiko yang mungkin menjadi pertimbangan, seperti kemudahan pendanaan terorisme dan kemungkinan kejahatan pencucian uang ketika pengiriman uang lintas negara mudah terjadi. Ada juga persoalan transparansi data yang mungkin belum jelas.
Pelindungan terhadap pelaku teknologi finansial (tekfin) sistem pembayaran dalam negeri sepertinya juga menjadi alasan BI. Ketika pelaku internasional masuk dan kemudian memiliki teknologi yang lebih maju, pelaku dalam negeri kemungkinan sulit bersaing. BI tentu ingin agar pelaku usaha layanan sistem pembayaran dalam negeri bisa kuat.
Kita tentu paham masalah seperti ini, saat Tokopedia dijual kepada Tiktok. Teknologi Tiktok lebih maju dan pada masa depan kemungkinan bisa menguasai pasar. Otoritas tentu tak ingin kasus seperti ini terjadi di dunia sistem pembayaran hingga pelaku dalam negeri tersingkir. Kita juga menjadi paham mengapa sudah lima tahun otoritas tidak begitu saja memberikan persetujuan kerja sama itu.