Investasi Sektor Padat Karya
Mengedepankan sektor padat karya untuk mengatasi pengangguran memang lebih menjanjikan. Sejumlah tantangan menghadang.
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruh permohonan perkara sengketa hasil Pilpres 2024 telah resmi diketuk. Dengan sahnya hasil Pilpres 2024, pasangan Prabowo-Gibran tentu perlu segera tancap gas mempersiapkan apa saja program prioritas yang perlu dikembangkan ke depan.
Di sini, salah satu kebijakan pasangan Prabowo-Gibran yang menarik didiskusikan adalah rencana mengangkat kembali sektor padat karya. Berbeda dengan era sebelumnya saat pemerintah cenderung lebih memprioritas sektor padat modal, pemerintahan baru nanti disebut-sebut akan lebih memprioritaskan sektor padat karya yang diharapkan dapat lebih bermanfaat dalam penyerapan tenaga kerja.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Tiga mesin utama pendorong pertumbuhan ekonomi, yakni sektor pangan, energi, dan industri manufaktur, akan didorong perkembangannya agar dapat mengurangi potensi perkembangan angka pengangguran.
Baca juga: Bertahan Hidup dengan Terus Bekerja
Meski kehadiran sektor padat modal tetap tidak terhindarkan, investasi di sektor padat karya akan diprioritaskan untuk dikembangkan di Tanah Air. Tujuannya adalah agar perkembangan sektor-sektor prioritas ini tidak menjadikan penduduk lokal sebagai penonton yang hanya berdiri di luar investasi yang masuk di sebuah daerah.
Dengan memprioritaskan sektor padat karya, harapannya penyerapan tenaga kerja meningkat sehingga penambahan angka pengangguran dapat dicegah.
”Mismatch”
Jika semata mengedepankan efisiensi, sektor padat modal merupakan jawaban paling jitu untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Dengan menghindari pelibatan tenaga kerja manual yang terlalu banyak dan hanya sedikit melibatkan tenaga kerja profesional yang berpendidikan tinggi, aktivitas produksi sektor padat modal niscaya akan berjalan lebih baik.
Di sentra-sentra industri yang mempergunakan teknologi tinggi, tingkat produktivitasnya dapat berjalan maksimal karena didukung tenaga profesional yang terlatih.
Masalahnya adalah lantas di mana posisi dan peluang tenaga kerja Indonesia yang rata-rata masih berpendidikan menengah ke bawah? Diakui atau tidak, profil angkatan kerja di Indonesia sebagian besar masih didominasi oleh lulusan sekolah menengah ke bawah.
Industri padat modal memang memberikan nilai tambah dan menyerap tenaga kerja berketerampilan tinggi. Namun, kalau melihat kondisi bahwa di Indonesia angkatan kerja berpendidikan menengah ke bawah porsinya masih 50 persen lebih terhadap total angkatan kerja, peluang mereka untuk dapat terserap di sektor padat modal sangat kecil, untuk tidak menyatakan tidak ada.
Masalahnya adalah lantas di mana posisi dan peluang tenaga kerja Indonesia yang rata-rata masih berpendidikan menengah ke bawah?
Sebagai contoh, investasi sektor pertambangan, misalnya di satu sisi memang berkontribusi besar terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), tetapi di sisi lain sektor ini belum berkontribusi banyak terhadap penyerapan tenaga kerja.
Pengalaman selama ini, kita selalu dihadapkan pada persoalan daya serap tenaga kerja yang sangat terbatas. Di berbagai media massa, lowongan kerja memang masih selalu ditawarkan. Namun, kualifikasi tenaga kerja yang diminta semua sangat tinggi, jauh dari kondisi riil angkatan kerja Indonesia. Tenaga kerja lokal.
Persoalan yang kita hadapi dalam penciptaan lapangan kerja adalah terus menurunnya kemampuan sektor perekonomian mendapatkan modal dalam menciptakan lapangan kerja baru karena investasi yang masuk memang tidak bersifat padat karya.
Ketika terjadi mismatch antara kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan dunia industri dan profil sosiokultural tenaga kerja yang ada, jangan kaget jika yang terjadi kemudian adalah terus bertambah panjangnya daftar pencari kerja.
Baca juga: Harapan Penyediaan Lapangan Kerja yang Terus Meningkat
Meski pemerintah mengembangkan sekolah kejuruan dan jurusan vokasi untuk mencetak lulusan siap kerja, hasilnya masih jauh dari harapan. Tidak sedikit lulusan vokasi justru ikut menambah angka pengangguran karena kompetensi lulusan belum sesuai harapan.
Akibat keahlian yang nanggung, banyak lulusan vokasi akhirnya menghadapi persoalan yang sama dengan angkatan kerja lulusan SMP dan SMA umum lainnya.
Di Indonesia, di berbagai daerah, lapangan kerja yang tercipta dari perkembangan sektor padat modal umumnya kian sulit mengakomodasi 7,9 juta tenaga kerja yang masih menganggur dan 2 juta tambahan angkatan kerja baru yang masuk ke pasar kerja per tahun. Sebagian besar warga yang hanya berpendidikan menengah ke bawah umumnya memilih menjadi pekerja informal yang tidak terlindungi dan rawan diperlakukan salah.
Ketika negara lebih mementingkan menarik investasi dan mengejar laju pertumbuhan ekonomi, yang terjadi kemudian adalah proses marginalisasi tenaga kerja lokal. Mereka rata-rata tidak terserap pada industrialisasi yang masuk ke wilayahnya dan hanya menjadi penonton yang tidak ikut merasakan pembangunan yang berlangsung di sekitarnya.
Era ”post-industrial”
Di era post-industrial, nasib para pencari kerja Indonesia yang kebanyakan didominasi penduduk yang kurang berpendidikan dan berkeahlian bisa dipastikan akan makin ketinggalan dan tersisih. Hal ini terjadi terutama jika pemerintah masih memberikan prioritas kepada investasi sektor padat modal yang angkuh menyapa penduduk setempat.
Beberapa waktu lalu, ketika diundang PT Freeport Indonesia meninjau kawasan JIIPE (Java Integrated and Industrial Port Estate) di Gresik, Jawa Timur, paling tidak ada 30 tenant yang sedang beroperasi di kawasan itu. Yang menarik, semua tenant adalah industri padat modal yang sangat minim menyerap tenaga kerja lokal.
Ketika masa pembangunan infastruktur, memang ada ratusan atau bahkan ribuan tenaga kerja kasar yang bisa diserap. Namun, ketika industri yang masuk ke sana mulai beroperasi, bisa dipastikan tenaga kerja yang terserap adalah kelompok profesional yang berpendidikan tinggi dan sudah barang tentu jumlahnya sangat terbatas.
Baca juga: Pendidikan Vokasi dan Keselarasan Keterampilan Pekerjaan Masa Depan
Di sektor industri padat modal, mekanisme operasional pabrik umumnya lebih banyak mengandalkan dukungan digitalisasi. Perkembangan pesat teknologi informasi, kecerdasan buatan (artificial intelligence), robot, dan otomatisasi merupakan perangkat yang banyak mengganti dan menghilangkan peran tenaga kerja manual.
Untuk menjalankan pabrik yang mampu menjalankan aktivitas produksi yang maksimal tidak lagi membutuhkan pekerja kasar dalam jumlah ratusan atau ribuan, cukup dijalankan oleh tenaga profesional yang jumlahnya belasan orang saja.
Transformasi digital dan perkembangan sektor padat modal di satu sisi memang menjanjikan akselerasi peningkatan produksi yang luar biasa, tetapi di saat yang sama justru mematikan potensi tenaga kerja lokal yang ada.
Kebutuhan dunia industri terhadap kualifikasi tenaga kerja yang tinggi, yang mampu mengoperasikan teknologi yang canggih, menyebabkan peluang tenaga kerja yang kurang atau tidak berpendidikan hanya bisa masuk sebagai tenaga bagian keamanan atau cleaning service saja. Ini adalah kenyataan yang tidak terhindarkan terjadi ketika pembangunan lebih mengandalkan sektor padat modal daripada sektor padat karya.
Tantangan sektor padat karya
Di atas kertas, upaya pemerintahan baru nanti yang ingin mengedepankan sektor padat karya untuk mengatasi persoalan pengangguran memang lebih menjanjikan. Meski demikian, pengembangan sektor padat karya bukan berarti bebas dari persoalan. Ada sejumlah tantangan yang harus diantisipasi pemerintahan Prabowo-Gibran jika benar-benar ingin mengembangkan sektor padat karya.
Pertama, bagaimana memberikan jaminan agar kegiatan operasional sektor padat karya mampu menjamin keseimbangan produktivitas dengan kesejahteraan kaum pekerja. Selama ini, bukan rahasia lagi bahwa produktivitas sektor padat karya umumnya tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan para pekerjanya.
Pada saat perusahaan rugi, manajemen pabrik dengan cepat berkilah bahwa kondisi perusahaan sedang tidak baik-baik saja dan karena itu upah tidak bisa dinaikkan. Padahal, ketika perusahaan sedang untung, pihak manajemen perusahaan tidak pernah mengumumkan kepada pekerjanya. Perusahaan ketika untung terus melakukan ekspansi, tetapi ketika bunting mereka meminta para pekerja memakluminya.
Baca juga: Investasi Padat Karya Jadi Prioritas Rezim Prabowo-Gibran
Kedua, perlu jaminan keseimbangan antara pembatasan aktivitas pemogokan atau unjuk rasa pekerja dan penetapan upah minimum yang layak. Tidaklah mungkin para pekerja dilarang bersikap resisten dan menggelar aksi turun ke jalan jika ternyata di saat yang sama mereka menjadi korban eksploitasi perusahaan. Sepanjang ada jaminan keseimbangan antara hak politik dan hak untuk memperoleh kesejahteraan berjalan dengan baik, bisa dipastikan gejolak kaum buruh akan dapat diredam.
Ketiga, perlu ada dukungan ketersediaan infrastruktur yang memadai di berbagai daerah agar investasi padat karya yang masuk dapat beroperasi dengan efisien, tanpa harus terhambat oleh ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai. Jangan sampai terjadi perusahaan padat karya yang masuk ternyata tidak bisa memproduksi komoditas yang harganya mampu bersaing di pasar global karena kesulitan mencari transportasi, bahan baku, dan rute yang efisien dalam mendistribusikan komoditas yang dihasilkan.
Mengedepankan sektor padat karya adalah sebuah keniscayaan, terutama jika kita melihat profil tenaga kerja di Indonesia yang masih didominasi tenaga kerja yang kurang berpendidikan. Namun, keberlangsungan sektor padat karya tentu membutuhkan prasyarat yang perlu didukung agar tidak kolaps di tengah jalan. Bagaimana pendapat Anda?
Bagong Suyanto, Dekan dan Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga