Kembali ke Dasar
Pemimpin yang tadinya baik, tetapi terus permisif atas pelanggaran, makin lama akan menumpuk pelanggaran.
Banyak peristiwa belakangan ini mengajak kita berpikir lebih dalam. Betapa kita mudah kehilangan kemampuan untuk hidup dalam kebersamaan.
Beberapa pekan lalu seorang lelaki memarkir mobilnya di salah satu jalan sempit di Jakarta untuk membeli jajanan. Parkir mobilnya membuat pengendara di belakangnya tidak bisa bergerak. Mobil yang terhalang pun membunyikan klakson.
Sang pemilik mobil bukan merasa bersalah dan bergegas dengan urusan malah memasang wajah marah sembari meludah ke arah pengemudi di belakang. Pemilik mobil yang terhalang itu merekam nomor mobil yang parkir sembarangan dan sosok pemiliknya.
Video pendek itu segera beredar di media sosial. Dalam hitungan jam, wajah sang pemilik mobil yang terekam jelas menyebar. Seperti biasa, warganet Indonesia mudah mengulik (doxing) latar belakang si pemilik mobil.
Akhirnya nama lengkapnya diketahui, latar belakang kampusnya ditemukan, dan di mana ia bekerja pun terkuak ke permukaan.
Tak sampai 24 jam sejak video pertama yang menampilkan kelakuan tidak terpuji itu, sang pemilik mobil mengaku salah dan meminta maaf via media sosial. Berkebalikan dengan wajah marah yang terekam video pertama, kali ini ia tampak terbata-bata.
Baca juga: Krisis Etika Berkendara
Tak cukup jelas apakah video klarifikasi tersebut dibuat atas inisiatif pribadi atau karena ada perintah dari pihak tertentu.
Tak selesai sampai di situ. Ketika kecaman kian meluas, lebih luas daripada video klarifikasinya, muncul berita lain menyebutkan kantor tempat si pemilik mobil bekerja—kebetulan sebuah BUMN ternama—membebastugaskan dia dari pekerjaan.
Luar biasa, betapa nasib dan hidup seseorang bisa berubah drastis. Perlakuan tidak terpuji yang berlangsung beberapa menit, video viral, klarifikasi minta maaf, hingga akhirnya dibebastugaskan, semua terjadi dalam waktu tak lebih dari 2 x 24 jam. Sungguh kerugian amat besar.
Penulis tidak ingin mempersoalkan seberapa kesalahan si pengemudi yang karyawan BUMN itu atau respons warganet dan cancel culture yang juga mewabah di Indonesia.
Tulisan ini hendak menukik lebih ke dalam: betapa kita sudah jauh kehilangan kemampuan, keterampilan, untuk bisa hidup dalam kebersamaan dengan orang lain.
Budaya antre
Orang mudah sekali mengutamakan diri sendiri (egois), mencari hal yang paling menguntungkan dirinya, secepatnya, tanpa memedulikan apa yang terjadi pada orang lain.
Setiap hari kita sangat mudah menemukan orang-orang seperti ini, tidak patuh aturan, memikirkan kepentingan diri sendiri, tanpa memikirkan dampaknya buat orang lain.
Puluhan pesepeda motor yang tidak seharusnya menggunakan jalan layang adalah pemandangan yang biasa kita lihat. Kita lihat pula bagaimana orang menyerobot jalur karena tidak sabar mengantre. Dari jalur sebaliknya, mereka yang terganggu jalannya diserobot pun adu otot.
Di media sosial, kita juga banyak menemukan video sejenis ini: seorang pengemudi di jalan raya yang padat mengambil jalur kanan ketika jalur kiri sedang mengantre di tengah kemacetan lalu lintas.
Mobil mewah dengan pengemudi tak kalah perlente dengan enak memintas antrean sembari berharap ia mendapat celah kosong untuk kembali ke antrean di sebelah kiri.
Ada video yang menampilkan seorang petugas kepolisian menyuruh mobil mewah tersebut kembali ke antrean. Tanpa rasa bersalah, si pengemudi sempat mendebat petugas, tetapi akhirnya sadar bahwa dirinya salah dan kembali masuk antrean.
Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di jalan raya, tetapi juga dalam antrean lain. Misalnya saat antre membayar di kasir, pendaftaran di loket, atau saat antre masuk ke gerbang pesawat terbang.
Buat banyak orang mungkin ini soal remeh-temeh. Ah, cuma mengantre saja, kok, dianggap perkara besar.
Bonus demografi dibanggakan, tetapi jika tidak diikuti contoh konkret dari atasan kepada bawahan atas pentingnya mengikuti aturan demi keadilan bagi semua, apakah kita akan bangga akan kondisi tersebut?
Di Australia, negara yang memiliki tradisi pendidikan yang baik, mendidik anak-anak di sekolah bukan dengan aneka pelajaran membaca, matematika, atau berbahasa asing, melainkan mereka diajari untuk bisa antre.
”Kami tidak terlalu khawatir anak-anak kami tidak pandai matematika. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak punya budaya mengantre,” ungkap seorang guru di Australia.
Meski terlihat sepele, antrean melatih kesadaran anak untuk menghargai pentingnya hak orang lain dalam kehidupan sosial. Untuk itu, anak pun melatih dirinya bersabar menunggu giliran.
Kembali pada video pengemudi yang memotong antrean tersebut, terlihat ironis: mobil mewah mencerminkan pemiliknya berkecukupan. Namun, kemewahan mobil itu tak berkorelasi dengan kelakuan tidak beradab si pengemudi.
Sikap mendahulukan kepentingan diri sendiri, menafikan kepentingan orang lain, adalah hal menonjol dalam kehidupan yang kita alami saat ini.
Moral dan etika
Ada apa dengan masyarakat kita yang kerap merasa tak bersalah ketika memotong antrean, meminta orang lain memaklumi dirinya (yang seolah lebih penting) dan memberi dia jalan terlebih dahulu.
Kita lihat juga di jalan raya, bagaimana sejumlah mobil ditambahi aksesori tertentu yang membuat pengguna jalan terganggu. Banyak dari pengguna ini ingin cepat dapat jalan dan memanfaatkan aksesori yang digunakan pejabat atau petugas keamanan untuk menembus kemacetan.
Mereka yang memalsukan pelat mobil pejabat pun tidak sedikit. Demi lebih leluasa berkendara, pelat mobil palsu dianggap cara pintas. Contoh semacam ini bisa terus diperpanjang, tetapi kita perlu mengidentifikasi apa akar dari masalah ini.
Menurut penulis, akar masalah adalah karena etika dan moral sudah banyak ditinggalkan dari kehidupan kita sehari-hari. Ada adagium, ”adanya peraturan adalah untuk dilanggar, bukan untuk dipatuhi”.
Adagium ini menyesatkan dan mengajak banyak orang untuk mengikuti hal yang sama. Bukan malah menegakkan aturan yang seharusnya dijaga bersama.
Etika dan moral yang banyak ditinggalkan ini bukanlah urusan antarpribadi untuk mematuhinya. Secara struktural, ia adalah buah dari suatu sistem yang menghargai peraturan dan hasil penegakan aturan itu.
Secara sosial, seharusnya atasan, pemimpin, menunjukkan contoh bagaimana aturan ditegakkan dan aturan dipatuhi. Bukan malah permisif terhadap pelanggaran yang ada.
Jika pelanggaran terjadi, hukum atau aturan harus ditegakkan. Mereka yang bertugas menegakkan aturan harus bekerja dan mereka yang bersalah kena sanksi.
Namun, apa yang terjadi ketika aturan pun memiliki banyak pengecualian. Ada ruang abu-abu yang memungkinkan negosiasi hingga pelanggaran dilakukan oleh pihak yang seharusnya justru menegakkan aturan.
Belakangan ini ditambah lagi dengan faktor ”orang dalam” atau ordal. Aturan pun bisa dibengkok-bengkokkan sesuai kepentingan.
Pemimpin yang tadinya baik, tetapi terus permisif atas pelanggaran, makin lama akan menumpuk pelanggaran. Ini membuatnya tidak dikenang sebagai pemimpin yang baik, tetapi pemimpin yang berubah menjadi jelek akibat pelanggaran-pelanggarannya.
Menurut penulis, akar masalah adalah karena etika dan moral sudah banyak ditinggalkan dari kehidupan kita sehari-hari.
Kembali ke dasar
Sudah waktunya kita kembali ke dasar, ke fondasi dasar yang mengatur hubungan kita dengan sesama dalam kehidupan bersama: moral dan etika.
Moral dan etika kita dalam berbangsa dan bernegara serta menjadi penduduk sudah banyak dirumuskan, sudah banyak diatur, tetapi hari ini kita melihat banyak orang melupakannya.
Di sisi lain, kita melihat pelanggaran demi pelanggaran dibiarkan tanpa sanksi tegas. Mereka yang bertugas menegakkan aturan akhirnya terlihat letih dengan pelanggaran-pelanggaran itu.
Contoh-contoh pada tulisan ini hanyalah hal sehari-hari yang kasatmata. Contoh lebih spesifik atau terjadi di bidang lain amat mudah dirujuk juga.
Jika kita tarik masalah ini pada kerangka makro, kita pun sadar bahwa dalam banyak segi kehidupan kita sebagai bangsa, kita telah meninggalkan fondasi dasar hidup bersama.
Kepatutan, baik dalam dunia politik (penyalahgunaan kekuasaan dan mementingkan kelompok), ekonomi (korupsi, kesenjangan pusat-daerah, monopoli, dan memperkaya diri sendiri), maupun pengangkangan hukum oleh kekuatan politik, terjadi secara telanjang.
Tak ada yang berani menyuarakan karena menyuarakan akan menuai bahaya pada yang bersuara. Mereka yang seharusnya menegakkan aturan terjebak kepentingan jangka pendek: nasib jabatannya, nasib jika dicopot tiba-tiba, dan lain-lain.
Jika ada yang berani menyuarakan kritik, mengingatkan atas pelanggaran yang ada, yang terjadi kemudian seperti ”anjing menggonggong, kafilah berlalu”. Tak ada dampaknya. Semua berjalan seolah tidak ada apa-apa.
Ke mana semangat hendak membela negara dan bangsa yang bercita-cita memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa, dan ikut serta dalam ketertiban dunia?
Janji yang ada dalam konstitusi masih tetap relevan untuk jadi pegangan kita.
Selama ini kita sering menepuk dada sebagai salah satu negara yang kini masuk dalam deretan ”negara maju” serta memiliki bonus demografi dan pasar yang besar. Negara dengan ekonomi terus bertumbuh, dengan jumlah universitas terbanyak kedua sedunia (worldstatistic.com), dan lain-lain.
Akan tetapi, di balik kata-kata besar tersebut, apakah kita memiliki fondasi yang kuat, mulai dari hal yang mendasar tadi: menghargai moral dan etika pada masyarakatnya?
Kita boleh bangga dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi jika dari pembangunan itu, sekian persen adalah hasil korupsi, apakah kita masih bangga?
Bonus demografi dibanggakan, tetapi jika tidak diikuti contoh konkret dari atasan kepada bawahan atas pentingnya mengikuti aturan demi keadilan bagi semua, apakah kita akan bangga akan kondisi tersebut?
Jumlah demografi yang besar itu banyak terjebak dengan pinjaman online atau kecanduan judi online. Apa kita masih akan membanggakan hal tersebut?
Jika aturan tak ditegakkan, jangan salahkan jika warganet Indonesia punya cara bertindak sendiri ”untuk menegakkan keadilan versi warganet” atau mengingatkan dengan caranya yang khas akan pelanggaran-pelanggaran di depan mata.
Kita berharap pemerintah baru yang sebentar lagi dilantik akan memperhatikan hal-hal semacam ini lebih jauh. Tidak terpukau semata pada tampilan fisik pembangunan, sementara pembangunan manusia diabaikan, bahkan dipinggirkan.
Semoga.
Ignatius Haryanto, Doktor Komunikasi FISIP Universitas Indonesia; Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara