Pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen beberapa tahun terakhir tak mampu mengangkat pendapatan kelompok ekonomi bawah.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok, khususnya pangan, membuat konsumsi rumah tangga terus tertekan. Daya beli masyarakat terpuruk di tengah pendapatan yang stagnan.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi nasional juga jauh di bawah potensinya. Pertumbuhan konsumsi yang belum pulih sejak pandemi ini memunculkan kekhawatiran para pengamat. Mereka mengingatkan, pemerintah tak bisa terus mengandalkan cara konvensional, seperti pengucuran bansos, untuk mendongkrak daya beli. Perlu terobosan baru yang menembak langsung ke pokok masalah: pendapatan masyarakat.
Dalam jangka pendek, kebijakan pengendalian inflasi yang dibarengi gelontoran program perlindungan sosial mungkin mampu menjadi bantalan sementara masyarakat dari tekanan daya beli. Namun, jangka panjang, peningkatan daya beli dan pertumbuhan konsumsi yang berkelanjutan hanya bisa terjadi jika pendapatan juga terus meningkat.
Sayangnya, beberapa tahun terakhir, pertumbuhan pendapatan juga tertekan. Rata-rata laju inflasi pangan jauh di atas pertumbuhan pendapatan masyarakat. Banyak kelompok ini terselamatkan karena bansos. Bansos berperan penting dalam menekan lonjakan kemiskinan akibat kenaikan harga-harga.
Anggaran perlindungan sosial yang terus membengkak dari tahun ke tahun, sementara angka kemiskinan tak signifikan mengalami penurunan menunjukkan program ini bukan jawaban tuntas untuk bisa mengentaskan kelompok miskin dari garis kemiskinan secara permanen. Guncangan sedikit saja bisa membuat mereka kembali terperosok ke bawah garis kemiskinan.
Berbagai faktor, seperti pergerakan suku bunga AS yang berdampak pada nilai tukar rupiah, perubahan iklim, dan tensi geopolitik yang bisa memicu lonjakan harga pangan/energi, masih berpotensi membuat lonjakan harga akan berlanjut.
Ini kabar tak menggembirakan bagi kelompok miskin yang sekitar 80 persen pengeluarannya untuk belanja pangan. Dalam situasi tekanan daya beli akibat kenaikan harga barang pokok, belanja kesehatan dan pendidikan biasanya paling mudah dikorbankan. Hal ini membuat tantangan Indonesia Emas 2045 juga bertambah. Upaya mendongkrak konsumsi akan kian berat dengan adanya berbagai kebijakan baru pemerintah, seperti rencana kenaikan PPN, yang dipastikan bakal berdampak pula pada kemampuan konsumsi kelas menengah.
Dengan ketergantungan besar perekonomian pada konsumsi domestik dan kontribusi konsumsi pada pertumbuhan ekonomi mencapai 55 persen, melambatnya konsumsi membuat kita juga terus terjebak pada pertumbuhan ekonomi moderat, di bawah potensi yang menurut ekonom sekitar 7 persen.
Pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen beberapa tahun terakhir terbukti tak cukup untuk mengangkat taraf ekonomi dan pendapatan kelompok ekonomi bawah serta menciptakan lapangan kerja bagi 7,86 juta penganggur dan 3 juta angkatan kerja baru yang setiap tahun masuk ke pasar kerja.
Pertumbuhan yang terjadi juga tak cukup berkualitas dan tak inklusif karena jumlah tenaga kerja yang bisa diserap terus menurun dan meninggalkan sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja. Terobosan baru untuk mengatasi tingginya pengangguran terbuka diperlukan jika kita ingin meningkatkan pendapatan, daya beli, serta konsumsi domestik sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi nasional.