Paradoks Icarus Pendidikan Dokter Spesialis Indonesia
Perbaikan yang menyeluruh, termasuk penegakan nilai luhur PPDS, harus dijaga dan diamalkan oleh pemangku kepentingan.
Oleh
MOHAMMAD HAMSAL
·4 menit baca
Ada yang salah dalam sistem pendidikan dokter spesialis kita. Diharapkan nantinya menegakkan kesehatan di masyarakat, tetapi malah para mahasiswa pendidikan dokter spesialis ini dirundung depresi.
Paradoks Icarus dicetuskan Danny Miller dalam bukunya tahun 1990, dan kemudian menjadi populer. Istilah itu dipakai untuk menyebut metafora perusahaan yang mendadak bangkrut setelah mengalami masa kesuksesan. Kemudian Miller (1992) mengamati perusahaan lain yang masuk jurang kehancuran justru akibat keberhasilannya sendiri. Penyebabnya, antara lain, terlalu percaya diri, merasa hebat, tingkah berlebihan, dan kebanggaan berlebihan.
Paradoks ini merujuk hikayat Icarus dalam mitologi Yunani yang terbang ke matahari. Dalam pelariannya menuju kebebasan, Icarus naik sampai dekat dengan matahari (alam para dewa), lilin di sayapnya meleleh, dan terjatuh hingga tewas. Konsekuensi orang terbang tinggi memunculkan nasib buruk, bukan karena kegagalan, melainkan karena kesuksesan dengan kesombongan.
Dowds (2018) dalam bukunya, Depression and the Erosion of the Self in Late Modernity: The Lesson of Icarus, menyimpulkan fenomena depresi (suasana hati gundah) yang mendasari narsisme (gila hormat, tetapi dihina orang) yang muncul dari isolasi diri. Contoh praktik pada pengasuhan anak yang buruk akan menciptakan narsisis. Narsisis menjadikan dan memungkinkan masyarakat individualis serta pengasuh individualis mengondisikan anak-anak narsistik.
Dalam pandangan psikolog sosial tentang meningkatnya narsisme dan depresi di masyarakat, Twenge (2014) mengamati anak yang terlindung dari segala ketidak-nyamanan dan ketidakbahagiaan akan diberi imbalan hanya karena berpartisipasi. Namun, meski dimanjakan oleh orang dewasa, generasi muda demikian diintimidasi satu sama lain, seperti yang tidak bisa dihindari dalam budaya di mana mereka berada dan dibesarkan dengan keyakinan ”Sayalah satu-satunya yang penting”.
Korban perundungan (bullying) narsistik berupa depresi hanyalah satu sisi mata uang. Yang lainnya menyangkut orang yang berhubungan dengan mereka. Penindasan terhadap orang lain menandakan perasaan lemah terhadap diri sendiri, dan berkontribusi terhadap depresi pada korbannya.
Kemudian narsisme ekstrem ditandai merasa punya hak yang berlebihan, lalu cenderung eksploitatif, eksibisionistik, dan otoritarianisme.
Segala bentuk kontrol dapat digunakan para narsisis esktrem, termasuk intimidasi, isolasi, pemaksaan, pemerasan ekonomi, fisik, dan mental. Lingkungan yang dihasilkan menderita rendah harga diri, depresi, ingin bunuh diri, terhina, dan menyalahkan diri sendiri.
Perundungan dokter spesialis
PiskIakov dkk (2013) menampilkan gejala terkait perundungan terhadap para dokter muda. Ini terjadi di rumah sakit (RS) milik Kemenkes dan mereka menjadi ”langganan” perundungan, bahkan mereka menjadi depresi. Bukan karena tuntutan dan tekanan pekerjaan, melainkan mendapat perundungan beragam. Mulai dari dokter yunior mendapat kata-kata kasar dari dokter senior, dituntut tugas jaga di luar batas, pungutan liar, penugasan untuk kepentingan pribadi pelaku, tindakan mengucilkan atau mengabaikan, hingga kekerasan fisik.
Perlakuan yang didapat dokter yunior akibat perundungan tidak berani dilaporkan karena berbagai ancaman dan menyangkut masa depan karier.Disinyalir peristiwa ini sering terjadi dan berlangsung selama puluhan tahun. Sementara itu, para pelaku semakin merajalela, seakan-akan berhak menentukan nasib dan masa depan korban. Perbuatan kriminal ini dilakukan secara sistematis.
Namun, saat ini, para korban perundungan sudah berani angkat bicara dengan melaporkan kejadian perundungan yang dialaminya. Kemenkes membuka posko pengaduan bagi dokter muda yang dirundung dan dapat melapor yang disediakan Kemenkes.
Jati diri pelapor dijamin kerahasiaannya, membuat pelapor merasa aman. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus yang dilaporkan. Sejak dibukanya posko pengaduan ini, sudah masuk 91 kasus (hingga 15 Agustus 2023), 44 kasus di RS milik Kemenkes, 17 kasus di RSUD di enam provinsi, 16 kasus di berbagai FK di delapan provinsi, 6 kasus di RS universitas, 1 kasus RS TNI/Polri, dan 1 kasus di RS milik swasta (Kompas.id, 17/8/2023).
Hasil skrining
Kompas (16/4/2024) memuat berita utama ”399 Calon Dokter Spesialis Mengakui Ingin Akhiri Hidup”. Mensitir data Kemenkes, sebanyak 22,4 persen mahasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) ditengarai mengalami gejala depresi. Bahkan, sesuai berita di atas, tragisnya 3,3 persen (399 orang) mengaku ingin melukai dirinya dan bermaksud mengakhiri hidup.
Dalam menempuh PPDS, mahasiswa menyediakan biaya sendiri. Alih-alih difasilitasi agar menjadi dokter spesialisasi yang mumpuni, tetapi mereka akhirnya di tengah jalan malah mengalami gejala depresi. Hasil skrining terkait gejala psikis ini perlu dicarikan solusi dan ditindaklanjuti dengan bijak serta penuh tanggung jawab.
Menurut Attree (2006), pada studi evaluasi pendidikan kedokteran, sistem dan proses perlu pula dievaluasi pada empat pemangku kepentingan utama PPDS, yaitu kolegium terkait, rumah sakit pendidikan, pimpinan dari fakultas kedokteran, dan para dokter spesialis senior terkait. PPDS harus terus dipantau lantas dikendalikan mengacu kepada standar dan prosedur operasional yang baik serta bertanggung jawab.
Hindari paradoks Icarus
Hasil penapisan Kemenkes di atas menjadi sinyal kuat bagi para pemangku kepentingan PPDS Indonesia untuk berubah. Berbagai pembiaran proses dan praktik menyimpang dalam mendidik calon dokter spesialis perlu segera dihentikan dan diperbaiki karena kelak akan berakibat kondisi kesehatan anggota masyarakat bisa terancam. Minimal orang akan lari berobat ke luar negeri, ngeri menjumpai dokter dalam negeri.
Perbaikan yang menyeluruh, termasuk penegakan nilai luhur PPDS, harus dijaga dan diamalkan oleh pemangku kepentingan. Kalau tidak, arah PPDS dalam mendidik dan menghasilkan dokter spesialis akan kabur serta dikhawatirkan menuju jurang kehancuran dan terjerumus menjadi paradoks Icarus di kalangan masyarakat. Keadaan ini kontradiktif dengan yang didengungkan bahwa sektor kesehatan Indonesia akan mencapai zaman keemasan pada 2045.
Kita meyakini masih banyak peserta didik, dosen senior, dan guru yang baik mendukung pendidikan kedokteran. Kalaupun ada budayaperundungan, diharapkan hanya dilakukan segelintir oknum. Saat ini perlu ada tindakan tegas dan diberikan sanksi. Namun, siapa yang mengambil inisiatif?
Praktik seperti di atas jelas menodai dunia pendidikan kedokteran dan menjadi ”duri” di masyarakat. Fakultas Kedokteran dan rumah sakit pendidikan diharapkan mampu membuat pendidikan dokter spesialis lebih transparan dan berbudi luhur.
Mohammad Hamsal,Guru Besar Ketangkasan Stratejik pada Program DRM, Binus University dan Pengurus Indonesia Strategic Management Society.