Mungkinkah Membuktikan Kerugian Perekonomian Negara Rp 271 Triliun di Kasus Timah?
Unsur kerugian perekonomian negara masih jarang digunakan dalam kasus korupsi. Tugas berat kejaksaan untuk membuktikan.
Pernyataan Kejaksaan Agung yang menyebut kerugian negara dalam kasus penambangan timah di wilayah izin usaha pertambangan atau IUP PT Timah Tbk tahun 2015-2022 melebihi kerugian negara dalam kasus Duta Palma Group bukan isapan jempol. Dalam kasus Duta Palma Group, kerugian negara dan kerugian perekonomian negara mencapai Rp 78,8 triliun.
Sementara itu, dalam kasus PT Timah Tbk, kerugian akibat kerusakan lingkungan saja sudah Rp 271 triliun, belum termasuk kerugian keuangan negara. Lantas, apakah kerugian yang fantastis itu dapat dibuktikan di pengadilan?
Angka Rp 271 triliun bukan sekadar angka di atas kertas. Akademisi dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Bambang Hero Saharjo, yang dalam kasus PT Timah Tbk menjadi ahli, menyampaikan, dia melakukan pemantauan di lapangan dan analisis berbasis satelit dalam periode tertentu, yakni sejak 2015.
Dalam paparan yang disampaikan, Senin (19/2/2023), kegiatan penambangan timah tersebut belum dilakukan pada Februari 2015. Namun, pada Mei 2016, kegiatan penambangan sudah ada. Dari pemetaan, terdapat tambang yang dibuka di wilayah IUP PT Timah Tbk, tetapi ada pula yang dibuka di luar kawasan IUP tersebut, termasuk di kawasan hutan.
Total luas tambang timah tersebut adalah 170.363,547 hektar. Dari jumlah itu, yang memiliki IUP seluas 88.900,462 hektar dan non-IUP 81.462,602 hektar.
Baca juga: Babak Baru Kasus Timah, Kejaksaan Tetapkan Dua Tersangka
Dari pemetaan itu, kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup tersebut dihitung berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Kerugian tersebut terbagi menjadi kerugian lingkungan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan. ”Total kerugian kerusakan lingkungan hidup sebesar Rp 271.069.688.018.700,” kata Bambang.
Dari sisi lingkungan hidup, lubang bekas tambang memang berbahaya jika tidak direklamasi. Sebab, lubang tersebut mengandung logam berat dan bahan beracun berbahaya. Selain itu, lubang yang menganga juga membahayakan jiwa masyarakat.
Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional menyebutkan, sejak 2014 hingga 2020, setidaknya terdapat 168 korban jiwa yang meninggal akibat lubang tambang di seluruh Indonesia. Jatam juga mencatat, setidaknya terdapat 3.092 lubang tambang yang masih terbuka, berisi air beracun, dan mengandung logam berat karena belum direklamasi.
Dengan mempertimbangkan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, penyidik menyangka 10 tersangka dengan pasal tentang kerugian perekonomian negara. Mereka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua pasal tersebut menyebutkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian negara.
Baca juga: Kejagung Sita Uang dan Emas Senilai Puluhan Miliar Terkait Tata Niaga Timah
Menurut Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Kuntadi, dari penelusuran lapangan dan analisis satelit tersebut, tambang timah dalam kasus tersebut telah masuk ke kawasan hutan. Sementara kerugian Rp 271 triliun baru merupakan kerugian perekonomian negara, belum termasuk kerugian keuangan negara.
”Bekas area tambang yang seharusnya dipulihkan ternyata sama sekali tidak dipulihkan dan ditinggalkan begitu saja sehingga meninggalkan lubang yang begitu besar,” kata Kuntadi.
Kerugian ekonomi dan sosial
Kepala Divisi Hukum Jatam Nasional Muhammad Jamil mengatakan, pemulihan lingkungan berupa reklamasi telah diatur dalam Pasal 161B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal itu menyebutkan, ”Setiap orang yang IUP atau IUPK dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan reklamasi dan/atau pascatambang; dan/atau penempatan dana jaminan reklamasi dan/atau dana jaminan pascatambang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar”.
Namun, kata Jamil, peraturan tersebut hanya mengatur penambangan yang legal atau berizin. Sementara kasus dugaan korupsi tata niaga timah di IUP PT Timah Tbk diduga merupakan kegiatan penambangan ilegal. Itu berarti kegiatan tersebut tidak punya izin penambangan ataupun izin terkait lingkungan hidup.
Meski demikian, menurut dia, pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan yang terjadi dapat dituntut kepada pelaku penambangan. Namun, dalam banyak kasus, yang terjadi adalah proses pidana yang berujung pada pidana badan tidak diikuti dengan tuntutan untuk melakukan pemulihan kerusakan lingkungan.
”Apalagi kalau yang menanganinya adalah jaksa dan hakim yang tidak punya perspektif lingkungan hidup,” kata Jamil, Selasa (20/2/2024).
Ia menambahkan, instrumen untuk menghitung kerugian akibat kerusakan lingkungan sudah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 sebagaimana dipaparkan oleh Bambang. Metode lain adalah melalui valuasi ekonomi, yakni dengan menghitung manfaat sumber daya alam tersebut oleh masyarakat di sana. Dari pengalamannya selama ini, kedua metode itu dinilai dapat digunakan dan membuat petambang ilegal panik.
Biasanya, kata Jamil, kerugian akibat kerusakan lingkungan akan dilawan dengan argumentasi bahwa kerugian negara tersebut belum diuangkan atau belum dicatat sebagai kekayaan negara. Hal itu mesti dilawan dengan konstruksi hukum yang memperlihatkan bahwa dengan kerusakan yang timbul tersebut, negara harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk memulihkannya.
Baca juga: Ironi Bekas Tambang Timah, Sedap Dipandang, Berbahaya pada Masa Depan
Biaya pemulihan itu tidak hanya terkait lingkungan hidup, tetapi juga lingkungan sosial. Jamil mencontohkan, setelah ada tambang, mata pencarian masyarakat sebagai nelayan atau pelaku pariwisata menjadi mati. Akibatnya, ekonomi rumah tangga menurun, anak-anak putus sekolah, hingga timbul masalah sosial. Dampak tersebut akhirnya diatasi pemerintah dengan membuat program tertentu. Artinya, pemerintah pun harus mengeluarkan dana.
”Selama ini pelaku usaha pertambangan itu untung besar karena ongkos kerusakan lingkungan dan sosial tidak pernah dihitung. Biaya eksternalitas itu ditanggung oleh rakyat, bukan perusahaan, makanya mereka selalu untung,” ujarnya.
Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, berpandangan, selama ini norma kerugian perekonomian jarang digunakan dan yang lebih banyak diterapkan adalah norma kerugian keuangan negara. Namun, Kejagung telah beberapa kali menggunakan pendekatan kerugian perekonomian negara dalam kasus korupsi yang ditanganinya, seperti kasus Duta Palma Group, kasus minyak sawit mentah, kasus impor pakaian bekas, serta kasus izin tambang di Sulawesi Tenggara.
”Pendekatan unsur pasal perekonomian negara punya kelebihan, yaitu berpotensi untuk mengembalikan kerugian lebih dari sekadar kerugian keuangan negara, semisal kerugian lingkungan hidup akibat perbuatan korupsi yang mengakibatkan kerusakan lingkungan,” kata Zaenur.
Baca juga: Bekas Tambang Merugikan
Namun, selama ini putusan hakim tampak belum berpihak pada tuntutan jaksa terkait kerugian perekonomian negara. Terakhir, Mahkamah Agung mengubah putusan terhadap terdakwa Surya Darmadi yang pada pengadilan tingkat pertama menghukumnya dengan kewajiban membayar kerugian perekonomian negara sebesar Rp 39,7 triliun.
Menurut Zaenur, aparat penegak hukum masih belum memiliki semacam konsensus terkait kerugian perekonomian negara. Meski begitu, dia mengapresiasi upaya Kejagung untuk tetap menggunakan pendekatan kerugian perekonomian negara. Hal itu tepat karena kerugian akibat korupsi sebenarnya tidak hanya materiil, tetapi juga imateriil. ”Ini memang harus terus dicoba sampai nanti timbul preseden, sampai hakim mau menerima konsep ini, yang memang ada di UU Tipikor,” ujarnya.