Temuan Tulang Belulang di Rumoh Geudong Bisa Tambah Bukti Dugaan Pelanggaran HAM Berat
Komnas HAM meminta pemerintah memperhatikan sejumlah hal sehubungan penemuan tulang belulang di lokasi Rumoh Geudong.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM memperoleh informasi dari masyarakat Desa Bili Aroen, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, serta pemberitaan media massa tentang temuan tulang belulang di lokasi proyek pembangunan Memorial Living Park Rumoh Geudong. Sepakat dengan sikap Komnas HAM, Lembaga Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Aceh atau Paska menilai temuan tulang belulang tersebut harus diamankan karena dapat menambah bukti berkas penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat di sana.
Pembangunan Memorial Living Park Rumoh Geudong merupakan bagian dari pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.
Sehubungan temuan tulang belulang tersebut, Komnas HAM menyampaikan sejumlah pandangan yang penting diperhatikan pemerintah.
”Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan serta Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Pidie untuk menjaga temuan itu dengan mempertimbangkan kemungkinan keterkaitan bukti-bukti itu dengan Peristiwa Rumoh Geudong,” kata Ketua Tim Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Komnas HAM Abdul Haris Semendawai melalui keterangan pers di Jakarta, Kamis (28/3/2024).
Lokasi pembangunan Memorial Living Park Rumoh Geudong merupakan salah satu Pos Sattis saat pemberlakuan daerah operasi militer (DOM) di Aceh pada 1989-1998. Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, Rumoh Geudong merupakan tempat terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat di periode tersebut.
”Jaksa Agung selaku penyidik pelanggaran HAM berat untuk melakukan uji forensik, termasuk tes DNA, guna memastikan identitas korban dengan keluarga yang masih ada,” ujar Abdul Haris.
Komnas HAM pun meminta pemerintah membuka ruang kepada korban, keluarga korban, dan publik untuk dapat mengetahui informasi temuan itu sebagai pemenuhan hak korban untuk mengetahui kebenaran.
Pembangunan Memorial Living Park di lokasi terjadinya pelanggaran HAM yang berat tak dapat dimungkiri merupakan hal yang penting. Namun, menurut Komnas HAM, hal itu harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian mengingat kemungkinan adanya bukti-bukti lain di wilayah pembangunan tersebut.
Jaksa Agung selaku penyidik pelanggaran HAM berat untuk melakukan uji forensik, termasuk tes DNA, guna memastikan identitas korban dengan keluarga yang masih ada.
Saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (29/3/2024), Direktur Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Aceh (Paska) Farida Haryani sepakat dengan sikap Komnas HAM bahwa temuan tulang belulang manusia di lokasi pembangunan Memorial Living ParkRumoh Geudong harus diamankan karena bisa menambah bukti berkas penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat di sana.
Farida berharap pembangunan taman memorial hidup itu bukanlah upaya sistematis dari negara untuk menghilangkan barang bukti kasus pelanggaran HAM berat yang sampai saat ini belum diproses hukum oleh Jaksa Agung. Dia pun mendesak Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mengirimkan tim forensik guna mengidentifikasi tulang-tulang yang baru-baru ini ditemukan di Rumoh Geudong.
Menurut Farida, hal tersebut mendesak dan penting dilakukan karena bisa menambah barang bukti dalam berkas penyelidikan Komnas HAM terkait kasus dugaan pelanggaran HAM berat di lokasi tersebut.
”Selama ini berkas penyelidikan Komnas HAM terkait Rumoh Geudong selalu ditolak oleh Jaksa Agung. Jika temuan tersebut diamankan dan dianalisis secara forensik oleh Polri, para keluarga orang hilang juga dapat mencocokkan DNA untuk mengungkap identitas orang hilang di masa DOM Aceh,” kata Farida.
Peristiwa Rumoh Geudong adalah satu dari belasan kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM. Saat ada kebijakan DOM karena pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selama 34 tahun, pos tersebut dijadikan tempat penyiksaan hingga eksekusi.
Banyak warga yang disiksa karena dicurigai menyembunyikan atau bekerja sama dengan kombatan GAM. Penyiksaan itu meninggalkan luka dan trauma yang mendalam bagi korban hingga kini.
Farida menambahkan, di Rumoh Geudong terjadi penyiksaan oleh aparat TNI, seperti pembunuhan, penculikan, penyiksaan, dan pemerkosaan. Namun, hasil penyelidikan dari Komnas HAM berkali-kali dikembalikan dengan alasan tidak cukup barang bukti. Temuan tulang belulang manusia saat ini, menurut dia, bisa menjadi salah satu barang bukti.
Dia pun berharap kepada Komnas HAM untuk menindaklanjuti kasus tersebut karena hal itu merupakan tanggung jawab negara. ”Presiden Jokowi bahkan sudah mengakui bahwa ada pelanggaran HAM berat saat kick off penyelesaian non-yudisial di lokasi yang sama,” kata Farida.
Ia menduga ada upaya penghilangan barang bukti pelanggaran HAM berat yang sistematis dari negara apabila aspirasi dari masyarakat Aceh ini tidak dipenuhi.
Menurut Farida, pembangunan yang dilakukan sekarang jauh dengan sejarah Rumoh Geudong. Perencanaan pembangunan tidak melibatkan korban dan masyarakat. Masyarakat di lokasi sulit mengakses lokasi pembangunan proyek tersebut.