Kekerasan di Papua Makin Meningkat, Pelabelan OPM Perlu Diperjelas
Kata pengamat, tidak ada korelasi positif antara pembangunan dan proses perdamaian di Papua. Mengapa?
JAKARTA, KOMPAS —Penembakan Komandan Rayon Militer 1703-04/Aradide Letnan Dua Oktovianus Sogelrey memperlihatkan peristiwa kekerasan di tanah Papua tak kunjung mereda. Di sisi lain, pernyataan TNI yang menyebut peristiwa itu dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka atau OPM, bukan lagi kelompok kriminal bersenjata atau KKB, dinilai perlu diperjelas.
Bak sebuah lingkaran, peristiwa kekerasan dan pembunuhan terus terjadi di Tanah Papua. Setelah beberapa waktu publik dikejutkan dengan video penganiayaan yang dilakukan oleh para prajurit Yonif Raider 300/Braja Wijaya, kini publik kembali dikejutkan dengan penembakan Komandan Rayon Militer 1703-04/Aradide Letnan Dua Oktovianus Sogelrey.
Di dalam video yang beredar di media sosial, tampak sosok pengendara motor yang diduga merupakan korban. Kemudian, terdengar sejumlah bunyi tembakan yang bersumber dari samping perekam video menuju arah korban.
Baca juga: Evaluasi Siklus Kekerasan di Papua
Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Letnan Kolonel Candra Kurniawan, melalui keterangan tertulis, mengatakan, Oktovianus ditembak di kawasan Pasir Putih, Distrik Aradide, Kabupaten Paniai, Papua Tengah. Almarhum disebut keluar dari markas pada Rabu (10/4/2024) sore, tetapi hingga Kamis (11/4/2024) pagi, yang bersangkutan tidak kembali.
”Para pelaku penyerangan dan penembakan ini adalah gerombolan OPM,” katanya.
Para pelaku penyerangan dan penembakan ini adalah gerombolan OPM.
Pada kasus tersebut, TNI dengan tegas menyebut mereka sebagai OPM atau Organisasi Papua Merdeka. Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menyebut kelompok kriminal bersenjata tersebut sebagai OPM. Penyebutan OPM itu dilakukan karena kelompok tersebut menamakan diri sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
Kekerasan meningkat
Profesor riset yang juga peneliti Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, menyatakan keprihatinannya atas terus jatuhnya korban kekerasan di Papua. Menurut dia, sejak 2016 sampai saat ini, konflik bersenjata di Papua meningkat cukup signifikan dengan korban jiwa paling banyak warga sipil, disusul aparat TNI-Polri, dan berikutnya adalah kelompok bersenjata yang disebut TNI sebagai OPM atau mereka menyebut diri sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
”Dalam 5 tahun terakhir itu, kekerasan kontak tembak makin meningkat. Itu berarti otonomi khusus, pemekaran wilayah, pembangunan infrastruktur, termasuk penegakan hukum, tidak menyelesaikan masalah. Tidak ada korelasi positif antara pembangunan dan proses perdamaian di Papua,” tutur Cahyo.
Dalam 5 tahun terakhir itu, kekerasan kontak tembak makin meningkat. Itu berarti otonomi khusus, pemekaran wilayah, pembangunan infrastruktur, termasuk penegakan hukum, tidak menyelesaikan masalah. Tidak ada korelasi positif antara pembangunan dan proses perdamaian di Papua.
Menurut Cahyo, eskalasi kekerasan terjadi karena ruang dialog atau kebebasan berekspresi untuk menyampaikan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah selama ini ditutup yang dibarengi dengan pelemahan terhadap gerakan politik warga sipil di Papua. Sementara ekspansi bisnis di Papua semakin meminggirkan rakyat Papua sehingga menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Tak lagi masalah kriminal
Terkait insiden yang terjadi, Cahyo menyoroti tentang penggunaan label OPM oleh TNI terhadap para pelaku. Alih-alih menempatkan insiden itu sebagai masalah kriminal, pelabelan tersebut memperlihatkan, masalah di Papua sebagai masalah politik. Sebab, label OPM menunjukkan adanya ideologi agar Papua merdeka serta adanya kelompok bersenjata yang ingin memberontak.
Pelabelan itu juga seolah mengulangi sejarah masa lalu, yakni menjelang berakhirnya Orde Lama dan digantikan oleh Orde Baru yang menerapkan operasi militer di Papua untuk memerangi kelompok separatis. Masalahnya, jika dilakukan operasi militer pemberlakuan hukum humaniter, pembunuhan terhadap kombatan dianggap bukan sebagai pelanggaran HAM. Namun, hal itu juga membuka peluang terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pelabelan OPM itu seperti kembali ke masa lalu, bagaimana pemerintah menghadapi masalah di Papua, juga di Aceh, dengan operasi militer dan itu terbukti gagal. Yang terjadi malah banyak pelanggaran hak asasi manusia.
”Pelabelan OPM itu seperti kembali ke masa lalu, bagaimana pemerintah menghadapi masalah di Papua, juga di Aceh, dengan operasi militer dan itu terbukti gagal. Yang terjadi malah banyak pelanggaran hak asasi manusia,” tutur Cahyo.
Untuk menghindari jatuhnya korban lebih banyak, Cahyo berharap semua pihak sepakat untuk melakukan jeda kemanusiaan berupa penghentian tembak-menembak. Kemudian, semua pihak diharapkan berdialog untuk menyelesaikan masalah di Papua secara bertahap, dimulai dialog di antara masyarakat Papua hingga dialog antara rakyat Papua dan pemerintah.
Kejelasan label OPM
Senada dengan itu, pengamat Papua yang pernah menjadi Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Amiruddin Al Rahab, berpandangan, insiden penembakan yang baru saja terjadi itu sangat memprihatinkan. Peristiwa itu menunjukkan, siapa pun yang kini berada di Papua dapat menjadi korban, baik warga sipil, kelompok bersenjata, maupun aparat keamanan.
Di sisi lain, lanjut Amiruddin, berbagai kebijakan pemerintah di Papua, termasuk pemekaran wilayah, agar keadaan di Papua membaik ternyata tidak terbukti. Pada kenyataannya, kondisi keamanan di Papua tetap tidak menentu dan korban terus berjatuhan.
Pimpinan DPR perlu bertanya kepada Presiden, apakah telah mengambil kebijakan baru mengenai keamanan di Papua sehingga Panglima TNI menyatakan demikian.
Terkait dengan itu, Amiruddin menyoroti pernyataan Panglima TNI tentang sebutan OPM bagi kelompok bersenjata di Papua tersebut. Sebutan itu dulu diberikan oleh ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) kepada mereka yang kemudian diikuti dengan penerapan operasi militer selama bertahun-tahun. Sementara saat ini di Papua secara politis dalam keadaan tertib sipil.
Baca juga: KKB dan Pembangunanisme Papua
”Pernyataan Panglima TNI ini mesti ditindaklanjuti oleh DPR untuk memperjelas apakah ada langkah baru yang hendak diambil pemerintah di Papua. Pimpinan DPR perlu bertanya kepada Presiden, apakah telah mengambil kebijakan baru mengenai keamanan di Papua sehingga Panglima TNI menyatakan demikian,” tutur Amiruddin.
Sebab, lanjut Amiruddin, penyebutan OPM tersebut dapat menimbulkan konsekuensi berupa penerapan operasi militer di sana. Sementara gelar pasukan dalam rangka operasi harus melalui keputusan politik, yakni Presiden, sebagaimana dulu pernah diberlakukan di Aceh.
Kejelasan status tersebut penting karena menyangkut prosedur serta pihak yang bertanggung jawab jika terjadi sesuatu. Selain itu, kejelasan status tersebut diperlukan masyarakat agar dapat melakukan antisipasi meski warga sipil dikhawatirkan tetap akan menjadi korban atau menjadi pihak yang paling terdampak.