ICW: Kesaksian Bekas Ajudan Syahrul Yasin Limpo Jadi Pintu Masuk Jerat Firli
ICW menilai, kesaksian Panji modal penting menguatkan sangkaan kepolisian agar segera dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mantan ajudan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Panji Hartanto, mengungkap dugaan keterlibatan eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPKFirli Bahuri dalam kasus pemerasan dan penerimaan gratifikasi di lingkungan Kementerian Pertanian yang menjerat Syahrul Yasin Limpo.
Firli disebut telah menjalin komunikasi dengan Syahrul saat proses penggeledahan KPK berlangsung. Lalu, terungkap pula ada satu tas berisi uang yang diserahkan oleh Panji kepada Firli melalui ajudan Firli.
Sejumlah kesaksian itu diungkap oleh Panji dalam sidang dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan) yang menjerat Syahrul, Rabu (17/4/2024). Panji dihadirkan sebagai saksi oleh jaksa penuntut umum KPK.
Kesaksian pertama Panji ialah adanya komunikasi antara Syahrul dan Firli ketika rumah dinas Menteri Pertanian yang tengah dihuni Syahrul, di Jalan Widya Chandra V Nomor 28, Kebayoran Baru, Jakarta Pusat, digeledah oleh KPK pada akhir September 2023 lalu.
Di hadapan majelis Hakim, Panji mengungkapkan bahwa Syahrul langsung menghubungi Firli melalui pesan singkat Whatsapp ketika proses penggeledahan itu berlangsung. Namun, Panji mengaku tidak sempat membaca isi pesan tersebut. Sebab, Firli langsung menghapusnya.
”Dibalas (oleh Firli), cuma langsung dihapus sama Pak Firli. Saya enggak sempat baca. WA-nya waktu itu langsung di-delete (dihapus),” ujar Panji.
Kesaksian kedua, Panji mengungkapkan bahwa dirinya diminta untuk menyerahkan satu tas berisi uang kepada Firli. Panji mengaku tidak tahu sumber uang tersebut. Ia hanya diberikan tas dari mobil oleh eks Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta.
Uang itu kemudian diserahkan saat Syahrul menemui Firli di Gelanggang Olahraga (GOR) bulu tangkis, di kawasan Mangga Besar, Jakarta Pusat, pada tahun 2022 silam. ”Tidak tahu (jumlah uangnya). Perintahnya, saya kasih sesama ajudan,” ucap Panji.
Kesaksian ketiga, terungkap pula di persidangan, ternyata selain di GOR bulu tangkis di kawasan Mangga Besar, Syahrul juga pernah bertemu dengan Firli di rumah pribadi Firli di Bekasi. Namun, Panji mengaku tidak tahu isi obrolan antara Syahrul dan Firli karena dirinya tidak masuk ke dalam rumah.
Harus diusut
Secara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, berpandangan, ketika sejumlah informasi itu disampaikan oleh seorang saksi di persidangan, hal yang harus dicatat adalah saksi tersebut telah mengucapkan kalimat di bawah sumpah. Oleh karena itu, keterangan Panji harus ditangkap oleh aparat penegak hukum yang saat ini sedang mengusut perkara Firli, yaitu Polda Metro Jaya dan Bareskrim Polri.
Setidaknya, ada dua delik yang harus ditelusuri oleh kepolisian. Pertama, delik suap sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
”Poin pentingnya, kalau kita membaca konstruksi pasal suap di dalam UU Tipikor, tidak mesti uang berpindah, dari pemberi ke penerima. Namun, ketika ada konsensus yang tercipta antara pemberi dan penerima, maka delik itu sebenarnya sudah terpenuhi untuk diusut oleh aparat penegak hukum,” ujar Kurnia.
Delik kedua adalah pertemuan langsung atau tidak langsung antara pimpinan KPK dan pihak berperkara. Pasal 36 Undang-Undang KPK menyebutkan bahwa pimpinan KPK tidak diperbolehkan berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan pihak yang sedang berperkara.
”Karena kalau tadi, menurut kesaksian, disebutkan ada komunikasi meski chat sudah dihapus, lalu ada pertemuan di rumah Firli di Bekasi. Jadi, dua delik itu sebenarnya harus ditelusuri oleh kepolisian,” ujar Kurnia.
ICW menganggap selama ini kinerja kepolisian dalam mengusut perkara Firli sangat buruk. Misalnya, ada proses pengembalian berkas antara kejaksaan dan kepolisian yang belum rampung. Selain itu, proses penahanan terhadap Firli juga sangat lambat.
”Maka dari itu, kesaksian (Panji) itu menjadi modal penting untuk menguatkan sangkaan kepolisian agar kemudian bisa segera dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor,” ujar Kurnia.
Ia menduga, lambatnya penanganan perkara Firli ini karena ada potensi konflik kepentingan antara Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto dan Firli. Mereka sama-sama berdinas di kepolisian. Kemudian, dulu Karyoto juga sempat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, yang artinya sempat menjadi bawahan Firli saat bekerja di KPK.
”Kami amat khawatir, hubungan-hubungan tersebut bisa memengaruhi proses penegakan hukum yang ada di Polda Metro Jaya,” ucapnya.
Padahal, jika kasus ini tak segera diusut tuntas, kepercayaan publik yang belakangan cukup tinggi ke kepolisian pasti akan runtuh. Sebab, masyarakat bakal menganggap tindakan kepolisian hanya sekadar megah saat konferensi pers saja, sedangkan tindak lanjutnya tidak jelas.
”Kalau dihitung sejak penetapan tersangka Firli, ini, kan, sudah lebih dari 3 bulan. Lalu, delik yang disangkakan juga bukan delik yang sulit. Ini, kan, delik suap, gratifikasi, ketika ada komunikasi, konsensus, penyerahan uang, bertemu, terpenuhi delik itu sebenarnya. Kami tidak melihat ini adalah upaya sebagai kehati-hatian. Ini sudah terlalu lama, tidak bisa lagi menggunakan argumentasi itu,” ujar Kurnia.
Sebaliknya, jika kepolisian serius mengusut kasus ini, menurut Kurnia, maka ini akan menjadi nilai positif bagi kepolisian, khususnya bagi Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. Apalagi, beberapa waktu lalu Kapolri sempat membicarakan soal perkembangan pembentukan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor).
”Bagaimana mungkin masyarakat akan percaya dan mendukung kalau penegakan hukum di internal kepolisian saja masih lemah,” ujar Kurnia.
Terhadap segala tuduhan itu, Kompas sudah mencoba meminta tanggapan Firli melalui pesan teks, pesan Whatsapp, dan sambungan telepon. Namun, hingga berita ini diturunkan, Firli tidak merespons.