Polemik Internal Tak Kunjung Usai, Marwah KPK Jadi Taruhan
Selain dinilai tidak memiliki strategi yang baik dalam pemberantasan korupsi, KPK kini terjebak dengan polemik internal.
Warga melintas di depan Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kuningan, Jakarta, Senin (6/7/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Banyaknya polemik yang terjadi di internal Komisi Pemberantasan Korupsi membuat marwah lembaga antirasuah tersebut dipertaruhkan. Internal KPK harus mengevaluasi dan membenahi diri agar fokus pada pemberantasan korupsi. Jika terus berpolemik, maka citra KPK di mata publik akan semakin buruk.
Pemberhentian Firli Bahuri sebagai Ketua KPK karena disangka terlibat kasus dugaan pemerasan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo rupanya bukan menjadi akhir polemik yang terjadi di lembaga antirasuah tersebut. KPK kini justru semakin terbelit polemik internal. Sedikitnya 93 pegawai di lembaga antirasuah itu diperiksa dalam sidang etik terkait dugaan pemerasan terhadap tahanan KPK.
Terakhir, polemik terjadi pada Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK dengan dugaan pelanggaran etik karena diduga berkomunikasi dengan pejabat Kementerian Pertanian untuk kepentingan mutasi salah satu pegawai di kementerian tersebut.
Laporan itu lalu berbuntut panjang. Ghufron justru melaporkan salah satu anggota Dewas KPK, Albertina Ho, ke Dewas KPK dengan dugaan penyalahgunaan wewenang. Albertina diadukan ke Dewas KPK terkait dengan tindakannya meminta hasil analisis transaksi keuangan pegawai KPK kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dewas sudah memeriksa Albertina dan berkesimpulan tidak ada pelanggaran etik yang dilakukan Albertina. Sementara itu, Ghufron akan disidang etik mulai 2 Mei 2024.
Saat dihubungi di Jakarta, Minggu (28/4/2024), Guru Besar Hukum Acara Pidana pada Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho, mengungkapkan, polemik yang terjadi internal KPK mengakibatkan marwah lembaga antirasuah itu dipertaruhkan. Menurut dia, KPK saat ini tidak tampak lagi sebagai lembaga yang dibentuk secara khusus untuk memperkuat penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi.
Dari sisi manajemen, tidak telihat kerja sama yang baik di antara para pimpinan KPK dalam memberantas korupsi. Dari sisi penindakan, KPK dinilai tidak memiliki fokus dalam mengungkap suatu perkara.
Baca juga: Efek Revisi UU KPK, Internal KPK Terus Bermasalah
“Tidak ada suatu target yang jelas. Ini yang menjadikan situasi penindakan dan pencegahan tindak pidana korupsi yang diamanatkan oleh KPK tidak optimal. Tidak mempunyai suatu strategi yang bagus dalam pengungkapan suatu perkara,” kata Hibnu.
Sebagai jalan keluarnya, Hibnu mengusulkan pimpinan KPK dan deputi yang tidak terlibat dalam polemik agar mengambil alih persoalan di internal KPK ini dengan mengevaluasi, khususnya dalam pemberantasan korupsi. KPK harus memiliki target penanganan perkara yang luar biasa.
Tidak ada suatu target yang jelas. Ini yang menjadikan situasi penindakan dan pencegahan tindak pidana korupsi yang diamanatkan oleh KPK tidak optimal. Tidak mempunyai suatu strategi yang bagus dalam pengungkapan suatu perkara
Hibnu, bahkan, menilai, kini KPK kalah dengan aparat penegak hukum lain dalam memberantas korupsi. Kejaksaan Agung, salah satunya. Lembaga penegak hukum yang kini dipimpin oleh ST Burhanuddin itu justru berani mengungkap kasus dugaan korupsi besar, seperti pengelolaan timah pada wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk 2015-2022 yang ditaksir merugikan negara hingga Rp 271 triliun.
Padahal, KPK hanya mengurusi persoalan korupsi, sedangkan Kejagung harus mengurusi tindak pidana umum dan khusus. Jika KPK terus-menerus tidak menunjukkan kinerjanya yang maksimal, KPK dikhawatirkan menjadi lembaga yang tidak diperhitungkan di mata publik. Karena itu, perlu ada evaluasi dengan mengembalikan fungsi KPK sebagai pemberantas korupsi.
Soliditas KPK
Dihubungi secara terpisah, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, mengatakan, polemik internal akan berdampak pada soliditas KPK. Sebab, sesama insan KPK justru saling curiga dan saling lapor.
Selain itu, polemik ini juga berdampak pada kinerja KPK. Alih-alih bahu-membahu meningkatkan kinerjanya dalam memberantas korupsi, baik dari sisi pencegahan maupun penindakan, KPK justru sibuk berpolemik untuk kepentingan pribadi.
Akibatnya, citra KPK akan semakin buruk. Sebab, publik tidak melihat kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Publik justru melihat berbagai polemik internal KPK yang tidak perlu terjadi. Alhasil, kepercayaan publik terhadap KPK pun semakin menurun.
Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas periode Desember 2023, citra baik lembaga KPK berada di angka 47,5 persen. Angka tersebut terendah dari 22 kali survei sejak Januari 2015. Padahal, pada survei Januari 2015, citra baik KPK pernah berada di angka 88,5 persen.
Dengan tingkat kepercayaan publik yang rendah terhadap KPK, maka akan berdampak pada pemberantasan korupsi. Masyarakat akan semakin menganggap KPK tidak berkinerja baik, bahkan tidak penting. Alhasil, masyarakat bisa meminta KPK dibubarkan.
Zaenur menegaskan, seharusnya insan KPK menghindarkan diri dari perbuatan yang melanggar kode etik dan menimbulkan potensi benturan kepentingan, apalagi dalam bentuk penyalahgunaan kewenangan. Ia berharap, Dewas KPK fokus memeriksa Ghufron. Sebab, dugaan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan Ghufron sangat berbahaya.
Dari sisi internal, KPK harus segera membenahi diri, salah satunya internalisasi kode etik di KPK. Sebab, banyak pelanggaran kode etik yang dilakukan pimpinan maupun pegawai KPK sehingga ini menjadi masalah yang sangat serius di internal KPK.
Baca juga: Internal KPK Bermasalah Lagi, Nurul Ghufron Berkomunikasi dengan Kementan
Sebelumnya, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri memastikan, seluruh kegiatan di KPK tetap berjalan meskipun ada dinamika di internal. Sebab, KPK merupakan sebuah sistem yang terus berjalan.