Pragmatisme Politik, Calon Tunggal Diprediksi Bakal Menjamur
Kemunculan pasangan calon tunggal saat pemilihan kepala daerah serentak 2024 diprediksi akan meningkat.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasangan calon tunggal bakal diprediksi kian meningkat di pemilihan kepala daerah serentak 2024 jika partai politik menjadikan pasangan calon tunggal sebagai strategi atau cara manjur untuk memenangkan pilkada. Bahkan, tren calon tunggal terus meningkat dari pilkada ke pilkada berikutnya. Kecenderungan tersebut justru menimbulkan kekhawatiran karena kehadiran calon tunggal, antara lain, dinilai jadi cerminan pragmatisme parpol.
Pilkada 2024 akan diselenggarakan secara serentak untuk pemilihan gubernur-wakil gubernur di 37 provinsi serta calon bupati-wakil bupati dan calon wali kota-wakil wali kota di 508 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Berdasarkan catatan Kompas, sejak pasangan calon tunggal pertama kali muncul di pilkada serentak 2015, jumlahnya terus meningkat di pilkada setelahnya. Pada Pilkada 2015, hanya ada tiga daerah yang menggelar pilkada dengan pasangan calon tunggal, lalu meningkat menjadi sembilan daerah di Pilkada 2017 dan 16 daerah pada Pilkada 2018. Terakhir, pada Pilkada 2020 ada 25 pilkada yang digelar dengan pasangan calon tunggal.
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, berpendapat, ada sejumlah faktor yang menyebabkan calon tunggal di pilkada muncul seperti regulasi yang mengatur pencalonan pilkada semakin ketat, mahalnya biaya politik, hingga kegagalan partai politik untuk menjalankan fungsi kaderisasi.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan calon tunggal di pilkada muncul seperti regulasi yang mengatur pencalonan pilkada semakin ketat, mahalnya biaya politik, hingga kegagalan partai politik untuk menjalankan fungsi kaderisasi.
”Sebenarnya masih banyak partai yang ingin melawan calon tunggal. Namun, karena ada regulasi yang ketat, mereka, partai politik itu, yang tak cukup perolehan kursi yang bisa menerima saja dan tidak mampu mendaftarkan kadernya ikut berkontestasi di pilkada,”” tutur Firman saat dihubungi, Senin (6/5/2024).
Meningkat karena pragmatisme
Firman memprediksi kehadiran calon tunggal pada Pilkada 2024 bakal lebih meningkat. Sebab, ada faktor pragmatisme partai politik yang membuat mereka ingin menang dengan mudah. ”Ya mereka ingin menang langsung. Calon tunggal membuka peluang menang jauh lebih besar daripada kalau ada lawan,” ungkap Firman.
Untuk dapat menekan kehadiran calon tunggal, kata Firman, caranya dapat menghapuskan ambang batas pencalonan kepala-wakil kepala daerah hingga menurunkan syarat dukungan dari calon perseorangan.
Merujuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, ambang batas pencalonan dari parpol minimal 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah dalam pemilu DPRD. Adapun untuk calon perseorangan, syaratnya berkisar 6,5 persen sampai 10 persen dari total daftar pemilih tetap.
”Keberadaan calon tunggal memang mencederai nilai-nilai demokrasi sebagai kompetisi yang inklusif dan berbasis gagasan,” tutur Firman.
Menurut Firman, mengharapkan banyaknya kehadiran calon perseorangan pada Pilkada 2024 juga sulit terwujud jika regulasi persyaratan dukungan masih berat untuk dipenuhi. Padahal, calon perseorangan bisa menjadi pilihan alternatif bagi masyarakat di tengah kondisi pragmatisme partai politik.
Keberadaan calon tunggal memang mencederai nilai-nilai demokrasi sebagai kompetisi yang inklusif dan berbasis gagasan.
”Jalur independen ini menghidupkan harapan bahwa pilkada akan lebih demokratis,” ujar Firman.
Keterbatasan modal dan jejaring politik
Sebelumnya, pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, Minggu (5/5/2024), memprediksi calon perseorangan pada Pilkada 2024 akan sepi peminat. Selain karena persyaratan yang berat, keterbatasan modal kapital dan jejaring politik kerap membuat mereka kesulitan bersaing dengan calon yang diusung koalisi parpol. Calon perseorangan juga tak punya kekuatan struktural seperti parpol.
Padahal, kehadiran calon perseorangan bisa menjadi opsi di tengah pragmatisme parpol yang aji mumpung dalam pencalonan pilkada. ”Partai kerap hanya berorientasi pada kemenangan sehingga kurang mau bekerja keras mengusung kader organik partai. Maka, calon perseorangan bisa menjadi alternatif pilihan politik bagi pemilih,” tutur Titi.
Partai kerap hanya berorientasi pada kemenangan sehingga kurang mau bekerja keras mengusung kader organik partai.
Jika merujuk pilkada sebelumnya, jumlah calon perseorangan yang mengikuti pilkada fluktuatif, tetapi cenderung menurun. Berdasarkan catatan Kompas, pada Pilkada 2020 yang digelar di 270 daerah, ada 61 pasangan calon perseorangan dengan persentase kemenangan 8 persen. Jumlah itu menurun dibandingkan dengan Pilkada 2018 yang diikuti 69 pasangan calon perseorangan dengan persentase keterpilihan 2,22 persen. Pada 2018, pilkada berlangsung di 171 daerah.
Kemudian pada Pilkada 2017 yang digelar di 101 daerah, ada 68 pasangan calon perseorangan atau turun hampir separuh dibandingkan dengan Pilkada 2015 yang mencapai 135 pasangan. Persentase keterpilihan calon perseorangan di Pilkada 2015 yang digelar di 269 daerah mencapai 9,63 persen.
Adapun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 yang mengatur tahapan dan jadwal Pilkada 2024, tahapan pilkada untuk jalur perseorangan telah dimulai sejak Minggu (5/5/2024). Dimulai dengan pengumuman penyerahan syarat dukungan bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah (5-7 Mei), lalu dilanjutkan penyerahan dukungan tersebut ke KPU kabupaten/kota atau provinsi tempat bakal calon berkontestasi pada 8-12 Mei 2024.