Meski Didukung Parpol Pengusung, Gerindra: Idenya Bukan untuk Akomodasi Kepentingan
Meski didukung semua parpol pengusung Prabowo-Gibran, revisi UU Kementerian Negara bukan ajang akomodasi kepentingan.
JAKARTA, KOMPAS – Semua partai politik pengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Dewan Perwakilan Rakyat sepakat mendukung gagasan merevisi Undang-Undang Kementerian Negara. Revisi UU ini tak terlepas dari upaya untuk menambah jumlah kementerian di kabinet mendatang. Partai menganggap penambahan kementerian ini sebagai sesuatu yang wajar karena Indonesia merupakan negara besar dan tuntutannya juga besar.
Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay saat dihubungi di Jakarta, Jumat (10/5/2024), mengatakan, keputusan merevisi Undang-Undang Kementerian Negara berada di tangan Prabowo sebagai presiden terpilih. Sebab, Prabowo dianggap yang paling memahami sejauh mana kementerian-kementerian yang ada sekarang mampu menjawab program-program yang ingin dijalankan selama lima tahun ke depan.
Terlepas dari itu, PAN sebagai salah satu partai pendukung Prabowo-Gibran menegaskan siap mendukung apa pun keputusan Prabowo, termasuk jika akhirnya ingin menambah kementerian dengan merevisi UU Kementerian Negara. Peluang untuk merevisi UU tersebut di sisa masa sidang ini pun sangat terbuka.
Baca juga: Penambahan Jumlah Menteri Masih Sebatas Wacana
”Kalau ada yang kurang-kurang dari apa yang sudah ada itu, tentu peluang untuk memperbanyak jumlah kursi menteri itu bisa sangat terbuka. Sebab, Indonesia ini, kan, juga negara luas, terdapat 275 juta rakyat,” ujar Saleh.
Masa jabatan anggota DPR periode 2019-2024 akan berakhir pada Oktober 2024. Hingga akhir masa jabatan itu, setidaknya masih tersisa dua masa sidang lagi. Untuk diketahui, Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2020-2024.
Kalau ada yang kurang-kurang dari apa yang sudah ada itu, tentu peluang untuk memperbanyak jumlah kursi menteri itu bisa sangat terbuka.
Saleh menegaskan, hingga saat ini, baik di Komisi II maupun Badan Legislasi DPR, belum ada pergerakan untuk merevisi UU Kementerian Negara. Semua masih menunggu kesiapan Prabowo. Lagi pula, jika UU tersebut ingin diubah, dasar dan alasan pengubahan juga harus jelas.
”Karena adanya perubahan itu, kan, harus ada dasarnya juga, bukan kita tiba-tiba membuka dan merevisi. Nanti juga bergantung pada Pak Prabowo karena dialah yang ingin menggunakan. Gimana kalau dia tidak merasa butuh (penambahan kementerian)? Nah, kalau ada kebutuhan terhadap itu, saya yakin partai-partai di DPR juga akan akomodatif,” ucap Saleh.
Wajar dan sah dilakukan
Kepala Badan Komunikasi Strategis Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra pun mengatakan, sejauh ini partainya belum mendengar adanya rencana revisi UU Kementerian Negara. Namun, jika benar nanti akan bergulir, menurut dia, itu adalah hal yang wajar dan sah-sah saja untuk dilakukan.
Demokrat melihat rencana menambah kementerian ini harus sesuai kebutuhan.
”Sebab, bagaimanapun yang menjadi ultimate goal-nya adalah masyarakat kita, seperti kemiskinan ekstrem bisa hilang, pertumbuhan ekonomi bisa tinggi, kemandirian pangan, kemandirian energi, serta ada beberapa program Prabowo lain yang sangat bermanfaat dan baik bagi bangsa dan negara,” ujar Herzaky.
Hal yang pasti, Demokrat melihat rencana menambah kementerian ini harus sesuai kebutuhan. Tujuannya harus diarahkan pada terwujudnya cita-cita dan tujuan bangsa, serta program-program prioritas Prabowo-Gibran.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung sependapat dengan Herzaky. Menurut dia, dimungkinkan sekali dan sangat wajar jika saat ini UU Kementerian Negara direvisi. Sebab, kementerian dan lembaga ke depan harus menyesuaikan dengan perkembangan dan tantangan zaman, bukan hanya untuk sekarang, melainkan juga 5-10 tahun ke depan.
”Tantangan yang dihadapi Indonesia, kan, makin dinamis. Dan, sekarang, RUU ini sudah menginjak 16 tahun, tentu harus ada penyesuaian-penyesuaian,” ucap Doli.
Wakil Ketua Umum Golkar ini juga tak menutup kemungkinan revisi UU Kementerian Negara bakal dibahas di dua sisa masa sidang ini. Namun, kepastian pembahasan RUU ini tergantung pada dua hal. Pertama, urgensi pembahasannya. Kedua, kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR.
”Kan (masa jabatan) kami masih sampai Oktober. Kami masih punya enam bulan. Saya kira kalau memang semua (DPR dan pemerintah) sepakat dan penting agar (UU Kementerian Negara) di-update, menurut saya, waktunya cukup,” tuturnya.
Ia berharap upaya merevisi UU Kementerian Negara perlu dilihat secara obyektif. Artinya, upaya merevisi UU ini jangan hanya dilihat untuk mengakomodasi kepentingan politik, tetapi lebih pada menyusun ulang struktur lembaga dan kementerian yang paling ideal ke depan.
”Mungkin kita perlu mengkaji (UU Kementerian Negara) lagi. Ini sudah 16 tahun lho struktur lembaganya sama, sementara tantangannya berbeda,” katanya.
Komisi II DPR pun, kata Doli, siap membahas RUU ini. ”Seharusnya pembahasan UU itu memang diserahkan ke komisi-komisi yang terkait dengan urusannya. Biasanya yang mengurusi pemerintahan seperti ini, kan, Komisi II,” ucapnya.
Kesalahan berpikir
Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman, sependapat dengan Herzaky dan Doli. Ia menilai wajar apabila jumlah kementerian diperbanyak. Sebab, Indonesia merupakan negara yang besar sehingga membutuhkan bantuan dari banyak pihak.
Menurut Wakil Ketua Umum Gerindra ini, semakin banyak kementerian justru baik bagi pemerintahan dan pelayanan publik. Dengan begitu, Indonesia memiliki target sekaligus tantangan yang besar untuk diraih.
Wajar kalau kita perlu mengumpulkan banyak orang, berkumpul dalam pemerintahan sehingga menjadi besar.
”Dalam konteks negara, jumlah yang banyak itu artinya besar. Buat saya, bagus. Negara kita, kan, negara besar. Tantangan kita besar. Target-target kita besar. Wajar kalau kita perlu mengumpulkan banyak orang, berkumpul dalam pemerintahan sehingga menjadi besar,” tuturnya.
Habiburokhman pun tidak membantah ketika ditanya soal kabar mengenai rencana Prabowo yang ingin membentuk 40 kementerian di kabinet mendatang. Namun, ia mengklaim ide itu muncul tidak hanya untuk mengakomodasi kepentingan partai politik pendukung Prabowo-Gibran. Menurut dia, penambahan kementerian semestinya tidak lantas dijadikan sebagai ajang mengakomodasi kepentingan politik.
”Ya itulah kesalahan cara berpikir. Tetapi, enggak apa-apa. Jadi masukan bagi kami,” ujar Habiburokhman.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengaku bingung dengan isu revisi UU Kementerian Negara yang beredar belakangan ini di publik. Namun, ia justru menganggap, isu revisi UU Kementerian Negara ini sebagai sebuah aspirasi. ”Justru belum ada (rencana revisi UU Kementerian Negara). Makanya, saya bingung. Jadi, ya, kami anggap saja itu (sebagai sebuah) aspirasi, masukan, begitu,” katanya.
Baca juga: Mahfud MD: Jumlah Kementerian Saat Ini Sudah Sangat Cukup
Ketua Harian Gerindra itu menegaskan, hingga saat ini Prabowo belum membahas wacana penambahan jumlah kementerian. Gerindra dan seluruh partai pengusung Prabowo-Gibran sedang mengkaji tugas-tugas kementerian dalam rangka keberlanjutan pembangunan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
”Sehingga, apa yang ditanyakan, bagaimana soal penambahan jumlah kementerian? Apakah akan dipertimbangkan? Itu belum sampai di situ. Jadi, kami belum membahas jumlah kementerian,” ucapnya.