Putusan MK, Pemilih Prabowo-Gibran Puas, Pemilih Anies-Muhaimin Tetap Kritis
Jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan, ketidakpuasan terhadap putusan MK hanya terjadi di pendukung Anies-Muhaimin.
Kemenangan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada 24 April 2024 setelah Mahkamah Konstitusi menolak secara keseluruhan permohonan perselisihan hasil pemilihan presiden.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas mencoba merekam bagaimana putusan MK tersebut dimaknai oleh responden berdasarkan pilihan capres-cawapres. Hasilnya, pemilih Prabowo-Gibran lebih banyak yang mengapresiasi. Sebaliknya, pemilih Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar cenderung tetap kritis.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Secara garis besar, baik pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD sama-sama menyatakan penerimaannya terhadap putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.
Anies menyatakan, dalam proses pilpres 2024 kali ini dirinya berkomitmen untuk menjaga prinsip peacefull transition of power dan memilih untuk menjadi bagian yang terus menjaga serta membangun mutu demokrasi di Indonesia. Begitu juga Ganjar yang mengapresiasi kinerja para hakim dan tetap menghormati proses panjang yang telah ditempuh dalam sengketa pilpres.
Mahfud MD pun menegaskan bahwa tidak akan ada lagi upaya-upaya hukum dari pihak Ganjar-Mahfud untuk menanggapi putusan MK tersebut sebab pilpres sudah selesai dari segi hukum.
Sikap cukup berbeda ditunjukkan oleh Muhaimin Iskandar yang menerima sekaligus memberi catatan kritiknya terhadap kinerja MK. Menurut dia, pernyataan Saldi Isra patut disorot karena mengingatkan pentingnya penegakan keadilan substansial, bukan sekadar keadilan prosedural.
Sikap penerimaan dan tanggapan tiap capres dan cawapres tentu memberikan pengaruh pandangan bagi para pemilihnya.
Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 23-25 April 2024, responden yang saat pemilihan presiden lalu memilih pasangan Prabowo-Gibran memiliki tingkat kepuasan paling tinggi terhadap putusan MK dibandingkan pemilih pasangan capres-cawapres lainnya. Lebih dari 80 persen pemilih Prabowo-Gibran merasa puas dan sangat puas.
Menariknya, 61 persen pemilih pasangan Ganjar-Mahfud pun turut merasa puas dengan hasil tersebut. Tingkat kepuasan terendah berasal dari pemilih Anies-Muhaimin, hanya seperempat persen. Sebagian besar pemilih Anies-Muhaimin tercatat cenderung tidak atau kurang puas dengan hasil putusan MK, setidaknya hingga 67 persen.
Secara keseluruhan, penerimaan publik terhadap putusan MK terbilang tinggi dan tentunya sebagian besar diakui oleh para pemilih Prabowo-Gibran.
Meskipun cenderung merasa tidak puas, lebih dari 60 persen pemilih Anies-Muhaimin turut merasa yakin bahwa putusan MK pada akhirnya dapat diterima oleh semua pihak. Hanya saja, para pemilih Ganjar-Mahfud menjadi terbelah, antara yang yakin dan tidak yakin terhadap penerimaan semua pihak atas putusan MK.
Persepsi masing-masing pemilih capres-cawapres nyatanya memiliki pola yang berbeda atas putusan MK kaitannya dengan pemenuhan rasa keadilan masyarakat. Lebih dari 60 persen pemilih Anies-Muhaimin merasa putusan tersebut belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sementara pemilih Ganjar-Mahfud kembali terbelah persepsinya antara yang sudah merasa terpenuhi rasa keadilannya dan yang merasa belum terpenuhi.
Bagaimanapun, putusan MK telah ditetapkan dan berlaku absolut atas dasar hukum. Hal yang patut dicermati selanjutnya ialah keseluruhan persepsi para pemilih pasangan capres-cawapres ini dapat menggambarkan orientasi politik terhadap pemerintahan selanjutnya yang dijalankan oleh Prabowo-Gibran.
Pemilih Anies-Muhaimin cenderung berpotensi menjadi kubu oposisi terhadap pemerintahan ke depan, sedangkan pemilih Ganjar-Mahfud tampaknya masih kurang solid untuk menjadi oposisi pemerintahan.
Baca juga : Publik Apresiasi Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres
Pemilih parpol
Formula yang kurang lebih sama juga dapat dilihat dari segmen masing-masing pemilih parpol terhadap putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.
Dengan merujuk pada hasil jajak pendapat yang sama, tingkat kepuasan terhadap putusan MK dapat disaring lagi berdasarkan pilihan parpol responden, terutama dari delapan parpol yang berhasil lolos parlemen.
Tingkat kepuasan yang tinggi datang dari para pemilih parpol yang berada dalam koalisi capres-cawapres nomor urut 2, yakni pemilih Partai Gerindra, Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat.
Namun, jika dibandingkan dengan dua partai lain, pemilih Partai Golkar memiliki tingkat kepuasan yang cenderung rendah, sekitar 56 persen. Sebaliknya, hampir seluruh responden yang memilih Partai Demokrat merasakan puas terhadap putusan MK.
Dari para pemilih parpol yang bergabung dalam koalisi capres-cawapres nomor urut 1, kepuasan terhadap putusan MK cenderung berada di tingkat yang sama.
Pemilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memiliki tingkat kepuasan sekitar 60 persen. Hanya pemilih Partai Nasdem saja yang terlihat terbelah antara puas dan tidak puas terhadap putusan MK.
Uniknya, putusan MK diterima secara puas oleh 61 persen pemilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Padahal, selama ini PDI-P disebut-sebut sebagai partai yang paling memungkinkan mengambil peran sebagai oposisi pemerintahan selanjutnya.
Hingga saat ini pun, keputusan PDI-P untuk menjadi oposisi masih menunggu pembahasan dalam Rapat Kerja Nasional PDI-P yang menurut rencana digelar akhir Mei 2024.
Baca juga : Dukungan Parlemen Tentukan Nasib Demokrasi
Oposisi
Dengan keluarnya putusan MK terhadap sengketa Pilpres 2024, proses selanjutnya ialah menunggu pelantikan pasangan Prabowo-Gibran untuk masa pemerintahan selanjutnya.
Bagi publik yang merasa tidak puas atau belum terpenuhi rasa keadilannya atas putusan MK, menjadi oposisi adalah jalan partisipasi politik selanjutnya. Oposisi pemerintahan tetap memegang peran penting dalam konteks demokrasi Indonesia.
Merujuk pada pandangan Ulil Abshar Abdalla, sejak menang dalam pilpres 14 Februari lalu, Prabowo sudah menampakkan gestur politik untuk mengajak semua pihak masuk dalam pemerintahan yang akan dipimpinnya nanti.
Menurut Ulil, sikap yang cenderung dibaca publik sebagai budaya harmoni ini justru menjadi ”kemunduran” budaya dialektis, yang menuntut daya kritis dalam jalannya pemerintahan. Kecenderungan ini, menurut Ulil, dimiliki oleh presiden-presiden Indonesia pasca-Reformasi (Kompas, 25/4/2024).
Memang benar, dalam politik terkenal adagium tidak ada musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Setidaknya, para tokoh dalam parpol masih memiliki kesempatan untuk memberi contoh bagi masyarakat tentang konsistensi dan makna martabat dalam berpolitik.
Pihak yang kalah masih dapat menjalankan peran sebagai oposisi yang menjadi penyeimbang dan kontrol atas jalannya pemerintahan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Parpol Mana Berani Jadi Oposisi?