Geopolitik Global Rentan Memperlemah Ketahanan Energi Indonesia
Tingginya kebutuhan impor komoditas minyak bumi membuat Indonesia rentan terpengaruh gejolak geopolitik dunia.
Situasi geopolitik dunia rentan berimbas pada kondisi makro ekonomi Indonesia. Tingginya kebutuhan impor komoditas minyak bumi membuat Indonesia mudah terpengaruh gejolak global, terutama ketegangan geopolitik yang melibatkan negara-negara produsen minyak. Status energi nasional yang berpredikat ”tahan” sejatinya sangat rentan.
Berdasarkan laporan Dewan Energi Nasional (DEN), hasil penilaian indeks ketahanan energi Indonesia pada tahun 2023 lalu sebesar 6,64. Nilai indeks yang mengacu pada data-data tahun 2022 itu menandakan bahwa ketahanan energi Indonesia secara umum dalam kondisi ”tahan”.
Status ”tahan” itu sudah berlangsung setidaknya sejak tahun 2016. Angka indeks ketahanan energi nasional selalu berada pada kisaran poin 6. Bila dirunut sejak kurun 2016-2022, indeks ketahanan energi nasional terus merangkak naik nilai trennya. Angka indeks pada tahun 2022 yang sebesar 6,64 itu merupakan yang tertinggi untuk sementara ini. Lantas, apa artinya capaian angka indeks tersebut bagi kondisi nasional?
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), ketahanan energi didefinisikan sebagai suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Untuk memantau kondisi ketahan energi tersebut, pemerintah melakukan penilaian secara berkala untuk melihat tingkat kedinamisannya. Penilaian ini dilakukan berdasarkan empat aspek pendekatan yang dikenal dengan istilah ”4 A”. Terdiri dari aspek affordability, accessibility, availability, dan acceptability. Ke-4 aspek ini dinilai oleh para expert judgement dari sejumlah pakar atau ahli di bidangnya. Misalnya, dari unsur pemerintahan, DEN, badan usaha sektor energi, universitas, dan lembaga atau organisasi terkait energi.
Dari penilaian tersebut dapat terlihat aspek-aspek mana saja yang perlu untuk segera dibenahi agar status ketahanan energi nasional dapat terus ditingkatkan. Semakin tinggi angka indeksnya, kondisi ketahanan energi nasional akan semakin baik dan tangguh.
Baca juga: Ketahanan Ekonomi Domestik Bendung Dampak Konflik Iran-Israel
Mengacu pada hasil pengukuran tahun 2022, keempat aspek yang dimonitor menunjukkan skor rata-rata per aspek sudah di atas poin 6 yang berarti ”tahan”. Status ”tahan” ini berada para rentang poin 6-8. Lebih dari 8 berarti ”sangat tahan” dan sebaliknya apabila ”kurang dari 6”, mengarah pada kondisi kerawanan. Rinciannya terdiri dari status ”kurang tahan” yang memiliki skor 4-6; ”rentan” dengan skor ”2-4”; dan ”sangat rentan” dengan perolehan poin ”kurang dari 2”.
Meskipun keempat aspek yang diukur tersebut berstatus rata-rata ”tahan”, apabila dikaji lebih dalam lagi, ternyata ada subaspek-subaspek yang kondisinya tergolong sangat rentan. Baik itu aspek affordability, accessibility, availability, ataupun acceptability semuanya memiliki subaspek yang tergolong cukup rentan.
Salah satu subaspek yang paling rentan adalah subaspek impor energi yang merupakan bagian dari aspek affordability. Dalam penjelasannya, availability didefinisikan sebagai ketersediaan energi dan sumber energi yang cukup bagi kebutuhan dalam negeri. Aspek ini dibobot setidaknya empat indikator. Terdiri dari cadangan dan produktivitas energi, impor energi, cadangan energi nasional, dan komitmen pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Dari keempat variabel pembobot aspek availability itu, hanya subaspek impor energi yang skornya di bawah 4, sedangkan untuk subaspek lainnya rata-rata berkisar poin 6-8. Skor subaspek impor energi yang sebesar 3,89 menandakan bahwa impor energi nasional dalam kondisi ”rentan”.
Impor energi
Skor impor energi yang rendah tersebut harus menjadi perhatian serius bagi pemangku kebijakan dan juga otoritas yang bertanggung jawab mengadakan suplai energi bagi masyarakat. Dari semua jenis energi yang dikonsumsi secara nasional, baik untuk pemerintah, industri, rumah tangga, maupun sektor jasa, komoditas minyak bumi merupakan bentuk energi yang sangat tinggi ketergantungannya terhadap luar negeri.
Berdasarkan data bp Statistical Review of World Energy 2022, produksi minyak bumi Indonesia pada tahun 2021 sebesar 692.000 barel per hari. Padahal, kebutuhan konsumsi produk-produk turunan minyak bumi per hari mencapai 1.471.000 barel sehari. Artinya, setiap hari terjadi defisit sekitar 770.000 barel dan kekurangan ini harus didatangkan dari impor sejumlah negara.
Tingginya ketergantungan impor minyak bumi yang lebih dari 50 persen tersebut membuat posisi Indonesia masuk kategori net importer. Posisi ini relatif sangat berisiko bagi kondisi makro ekonomi nasional. Pasalnya, harga komoditas minyak bumi berikut turunannya sangat rentan terpengaruh oleh kondisi makro dunia. Isu apa pun yang tengah terjadi secara internasional sangat rentan memicu sentimen pasar keuangan yang membuat harga minyak bumi dunia merangkak naik. Misalnya, isu ketegangan geopolitik, kelangkaan produk energi di pasar global, embargo ekonomi, hingga isu kebijakan moneter yang dilakukan negara-negara adidaya.
Sejumlah isu tersebut berpotensi mendorong harga energi dunia melonjak sehingga memberikan tekanan pada biaya-biaya distribusi barang dan jasa. Meningkatnya biaya transportasi ini menyebabkan harga barang dan jasa juga terapresiasi menjadi semakin mahal. Hal ini memicu inflasi yang menyebabkan daya beli konsumen menurun. Situasi demikian rentan menyebabkan perputaran uang semakin lamban dan memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara global.
Baca juga: Energi Fosil Terus Membayangi Gejolak Ekonomi Dunia
Untuk antisipasinya, setiap negara, terutama negara importir minyak bumi, lantas menerapkan sejumlah kebijakan untuk memproteksi negaranya agar tidak terjadi gejolak ekonomi yang memicu kontraksi ekonomi. Salah satu caranya ialah menyeimbangkan harga pasaran domestik dengan intervensi subsidi sehingga harga tetap stabil.
Bagi negara yang memiliki perencanaan dan tata kelola anggaran yang baik, gejolak harga energi dunia itu dapat terus diredam sesuai dengan proyeksinya tanpa memengaruhi alokasi anggaran lainnya. Namun, bagi negara yang relatif tidak siap dengan perubahan kondisi harga global yang melesat tinggi, ada kemungkinan memicu sentimen negatif dari masyarakat. Keterbatasan anggaran yang dimiliki dapat mendorong pemerintahan di suatu negara menerapkan pengurangan subsidi pajak demi menyelamatkan pertumbuhan ekonomi negaranya.
Dampaknya, masyarakat harus merasakan harga energi yang terus meningkat disertai peningkatan harga-harga secara umum lainnya. Hal ini pasti akan berimplikasi negatif bagi kemajuan suatu bangsa karena laju pertumbuhan ekonomi menjadi melambat dan bahkan mungkin minus akibat mahalnya harga-harga komoditas.
Konflik yang tengah terjadi di Timur Tengah saat ini, yakni ketegangan antara Israel-Palestina dan Israel-Iran, sangat rentan memicu peningkatan harga energi dunia. Eskalasi peperangan yang kemungkinan dapat meluas di kawasan Timur Tengah berpotensi memicu naiknya harga energi dunia secara signifikan. Dengan peran sentral negara-negara Timur Tengah sebagai produsen dan eksportir minyak bumi dan gas terbesar di dunia, ketegangan geopolitik di kawasan ini sangat berisiko bagi ketahan energi global. Bila ketahanan ini goyah akibat situasi geopolitik, akan terjadi turbulensi ekonomi yang sangat besar bagi negara-negara importir minyak di seluruh dunia, termasuk di dalamnya Indonesia.
Alternatif solusi
Oleh sebab itu, Indonesia harus segera meminimalkan ketergantungan impor energi dari asing, baik dalam bentuk minyak mentah, produk jadi (BBM), dan juga LPG. Ada sejumlah alternatif solusi untuk mengatasi hal tersebut.
Salah satunya mendorong produksi minyak bumi dan gas (migas) untuk meningkatkan suplai di dalam negeri. Dukungan regulasi yang tepat diharapkan dapat memikat investor eksplorasi migas lebih banyak lagi di Indonesia dan juga membuka peluang akuisis lapangan migas di luar negeri. Upaya ini akan meningkatkan cadangan migas nasional yang berperan untuk meningkatkan produksi energi domestik.
Langkah berikutnya ialah peningkatan kapasitas kilang pengolahan minyak dalam negeri berteknologi mutakhir sehingga dapat memproduksi minyak bumi lebih banyak dengan tingkat efisiensi tinggi. Jadi, akan semakin mengurangi impor minyak dalam bentuk jadi yang berharga lebih mahal dari minyak mentah.
Baca juga: Ancaman Nyata Kelangkaan Energi Fosil
Selain itu, dapat pula dengan terus mengembangkan pemanfaatan gas alam (LNG) untuk mengurangi ketergantungan LPG yang sangat tinggi dari asing. Hal ini memerlukan dukungan dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah agar proses pengembangan jaringan LNG untuk sektor komersial dapat berjalan optimal.
Terakhir, pemerintah juga harus mulai mendidik masyarakat dengan mengurangi subsidi energi untuk kepentingan sehari-hari. Pemerintah harus mampu menerapkan subsidi secara tepat sasaran sehingga beban keuangan negara tidak semakin berat. Di sisi lain, masyarakat menjadi semakin terdidik untuk mengonsumsi energi sesuai dengan status sosial ekonominya.
Dengan menerapkan sejumlah langkah tersebut, diharapkan ketahanan energi nasional kian meningkat sehingga kian jauh dari efek negatif kondisi global yang terus berubah, bergejolak, dan penuh ketidakpastian. (LITBANG KOMPAS)