Cegah Politik Uang, Nilai Transaksi Tunai di Perbankan Perlu Dibatasi
Oleh
DD01
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal perlu dipercepat. Sejak digagas pada 2014, proses pembahasan terganjal persoalan pembagian kewenangan sehingga belum selesai hingga hampir empat tahun. Regulasi itu dibutuhkan untuk mencegah praktik politik uang menjelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Kiagus Ahmad Badaruddin dalam Diseminasi Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal bertajuk ”Optimalisasi Penelusuran Aset Hasil Tindak Pidana melalui Regulasi Pembatasan Transaksi Uang Kartal, di Jakarta, Selasa (17/4/2018), mengatakan, RUU PTUK merupakan aturan yang membatasi nilai maksimum transaksi uang tunai dalam sistem perbankan.
Dalam acara yang juga memperingati ulang tahun PPATK itu, hadir pula Ketua Tim Penyusun RUU PTUK Yunus Husein, Deputi Gubernur Bank Indonesia Erwin Rijanto, Ketua DPR Bambang Soesatyo, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo. Adapun acara dimoderatori oleh Wakil Ketua PPATK Dian Ediana Rae.
Kiagus menambahkan, pembatasan transaksi uang tunai perlu dilakukan untuk mencegah tindak pidana pencucian uang yang merupakan bagian dari tindak pidana korupsi atau pendanaan terorisme. Selama ini, tindak pidana pencucian uang cenderung menggunakan uang tunai karena tidak bisa dilacak oleh sistem perbankan.
”Saya berharap rancangan ini akan segera menjadi undang-undang agar bisa mempersempit ruang gerak pelaku pidana,” kata Kiagus.
Sepanjang periode 2003-Januari 2018, PPATK telah menyampaikan 4.155 hasil analisis kepada penyidik. Sebanyak 1.958 hasil analisis terindikasi sebagai tindak pidana korupsi dan 113 hasil analisis terindikasi sebagai tindak pidana suap. Kedua tindak pidana itu dilakukan menggunakan uang tunai dalam pecahan rupiah dan pecahan mata uang asing serta cek perjalanan.
Agus menjelaskan, selama ini koruptor menggunakan uang tunai dalam transaksinya. Sebagaimana terjadi pada kasus Bupati Jombang, Jawa Timur, Nyono Suharli Wihandoko yang menggunakan uang sebesar Rp 25 juta dan 9.500 dollar AS untuk mengurus perizinan pengurusan jabatan di Pemerintah Kabupaten Jombang. Begitu pula Wali Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Adriatma Dwi Putra yang menerima suap Rp 1,3 miliar untuk melancarkan proyek pengadaan barang dan jasa pada Pemkot Kendari 2017-2018.
Yunus menjelaskan, dalam RUU PTUK dijelaskan bahwa batas maksimum akumulasi transaksi uang kartal di sistem perbankan dalam satu hari Rp 100 juta. Transaksi itu meliputi penarikan, pencairan, pembelian, pembayaran, pemberian, dan penjualan, menggunakan uang kertas dan uang logam baik pecahan rupiah maupun pecahan mata uang asing. Batas maksimum tersebut masih bisa berubah seiring dengan pembahasan yang belum usai.
Namun, tidak semua transaksi dengan nilai di atas Rp 100 juta dilarang. Terdapat beberapa pengecualian, antara lain transaksi yang dilakukan oleh penyelenggara jasa keuangan (PJK) dengan pemerintah dan bank sentral, penarikan uang tunai untuk pembaaran gaji, pembayaran pajak, pelaksanaan putusan pengadilan, biaya pengobatan, dan penanggulangan bencana alam.
”Mereka yang melanggar akan dikenai sanksi administratif dan perdata, yaitu batal demi hukum suatu perjanjian,” kata Yunus. Sanksi ini berlaku baik untuk pelanggar individu, korporasi, maupun pejabat negara.
Cegah politik uang
Menurut Bambang, kehadiran RUU PTUK sangat relevan dengan konteks Indonesia yang akan melaksanakan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Berbagai praktik politik uang masih kerap terjadi dalam pesta demokrasi.
”Menjelang Pilkada 2018, Pileg dan Pilpres 2019, permintaan uang biasanya naik,” katanya.
Bambang menjelaskan, di tingkat daerah, politik uang terjadi sejak awal calon kepala daerah mengajukan diri untuk menjadi calon dari salah satu partai politik. Mereka harus membayarkan sejumlah uang untuk mendapatkan dukungan dari parpol.
”Biayanya itu tidak pernah di bawah Rp 1 miliar, ada yang Rp 5 miliar, bahkan ratusan miliar,” kata Bambang. ”Biasanya pula tidak ada yang berani bertransaksi secara nontunai, pasti tunai, menggunakan uang asing agar lebih tipis,” katanya.
Setelah itu, calon kepala daerah masih akan melakukan politik uang ketika kampanye dan hari-H pilkada. Dalam dua agenda tersebut, mereka kerap menggunakan uang pecahan Rp 10.000, Rp 20.000, dan Rp 50.000. Untuk tingkat bupati atau wali kota, mereka menyiapkan 1 juta hingga 2 juta amplop berisi uang tersebut untuk dibagikan.
”Jadi, salah satu cara untuk mencegah praktik politik uang ini adalah menerbitkan UU PTUK. Jika bank berani pun semestinya ada larangan untuk menukarkan uang pecahan kecil,” kata Bambang.
Dia menambahkan, DPR akan memprioritaskan pembahasan RUU PTUK ketika diserahkan oleh pemerintah. Ia setuju bahwa RUU PTUK harus segera diterbitkan untuk mengurangi praktik korupsi dan politik uang. Namun, ia tidak bisa menjamin bahwa UU itu akan terbit sebelum Pilkada 2018 atau Pemilu 2019.
”RUU PTUK akan kami dahulukan dan tuntaskan, tinggal menunggu kesiapan drafnya dari pemerintah,” ujar Bambang.
Titik terang
Kembali bergulirnya pembahasan RUU PTUK merupakan titik terang bagi pencegahan tindak pencucian uang. RUU ini sudah digagas sejak pertengahan 2014, tetapi tidak kunjung selesai.
Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Karjono mengatakan, RUU telah disusun sejak 2014. Di samping inisiasi dari PPATK, pada Agustus 2014 pihak BI pun mendukung pembuatan regulasi ini untuk menanggulangi kejahatan siber yang menjadi-jadi. Oleh karena itu, pada 2015, Kemenkumham memasukkan RUU PTUK ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah 2015-2019.
”Pada periode 2015-2016, banyak hal yang perlu dibahas mengenai kewenangan dan membutuhkan waktu lama,” kata Karjono. Dalam hal ini, BI mengajukan beberapa koreksi atas isi RUU terkait kewenangannya sebagai bank sentral. Pembahasan ihwal kewenangan itu baru selesai pada Desember 2017 sehingga RUU baru bisa dikirim kepada presiden pada Januari 2018.
”Saat ini RUU PTUK sudah masuk ke Prolegnas 2018. Posisi terakhir sedang menunggu tanda tangan dari para menteri,” ujar Yasonna. Setelah tanda tangan dari para menteri lengkap didapat, RUU baru akan diserahkan kepada presiden yang nantinya dilanjutkan ke DPR.
Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto mengakui, BI memang mengajukan beberapa koreksi terkait dengan kewenangan sebagai pengatur dan pengawas sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Oleh karena itu, saat ini dalam Pasal 3 Ayat 4 RUU PTUK, BI bertindak sebagai penetap batasan nilai maksimum akumulasi transaksi uang kartal.
”Jika suatu saat kami merasa bahwa nilai transaksi maksimum Rp 100 juta terlalu tinggi, bisa kami turunkan. Tentunya setelah berkoordinasi dengan PPATK dan instansi terkait,” ujarnya.
Pada Pasal 9 Ayat 2, BI juga bertindak sebagai penetap pengubahan transaksi uang kartal yang dikecualikan setelah berkoordinasi dengan PPATK dan instansi terkait. Pada Pasal 14 hingga Pasal 17, BI disebutkan sebagai pengawas, penetapan regulasi, pemeriksaan, dan pengenaan sanksi dalam penyelenggaraan UU PTUK, kecuali dalam ranah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dilakukan oleh PPATK. Selain itu, pada Pasal 18, BI juga menjadi otoritas pemberi izin atas pembawaan uang kertas asing ke dalam dan atau keluar daerah pabean Indonesia.
Di samping itu, kata Erwin, koreksi juga dilakukan agar ketika UU PTUK dilaksanakan tidak menghambat aktivitas ekonomi masyarakat. Ia mencontohkan, pembatasan transaksi tunai perlu mempertimbangkan beberapa profesi di daerah yang bekerja secara kolektif dan transaksinya menggunakan uang lebih dari Rp 100 juta per hari.