BANJARNEGARA, KOMPAS – Lebih dari 350 tenong atau wadah berbentuk bulat dari anyaman bambu yang berisi makanan dikirab oleh warga Desa Kemranggon, Susukan, Banjarnegara, Jawa Tengah, Kamis (27/9/2018). Kirab itu digelar sebagai wujud syukur atas rezeki sekaligus perayaan memasuki bulan Muharam 1440 H serta peringatan bulan Suro.
“Saat bulan Suro, masyarakat sejak dulu melakukan ruwat bumi atau ruwat desa yang telah memberi rezeki kepada warganya,” kata Kepala Desa Kemranggon Andi Setiawan, Kamis, di Banjarnegara.
Para ibu berjalan berarak menyunggi tenongan sekitar pukul 10.00 menyusuri jalanan desa menuju lapangan. Mereka mengenakan kebaya dan juga kain jarik. Di dalam tenong tersebut terdapat 10 hingga 12 takir atau wadah makanan berbahan daun pisang. Makanan yang disajikan di dalam takir berupa nasi putih, lauk-pauk berupa ikan, telur, dan ayam, serta lalaban atau sayur-sayuran seperti kacang panjang juga timun. Ada pula kerupuk dan peyek kacang serta mi goreng.
Sesampainya di lapangan, tenong ditata di tengah-tengah dan kemudian mereka berdoa bersama. Setelah itu, mereka saling menukar takir dan membagikannya kepada sesamanya yaitu warga lainnya dan anak-anak SD yang baru saja pulang sekolah. Mereka pun kemudian makan bersama di sana. “Takir itu memiliki makna menata pikiran. Jadi di tahun baru ini kita menginstropeksi diri dan mengevaluasi apa yang hendak dilakukan ke depan,” tutur Camat Susukan Susanto.
Sudarti (61) warga dari RT 2/RW 5 menyampaikan, tradisi ini sudah berlangsung lama dan dia bersama anaknya menyiapkan takir sejak subuh agar dapat berbagi kemeriahan kepada sesama dalam kirab tenong ini. “Dulu biasanya takir dibuat per dusun, tetapi sekarang dilaksanakan bersama satu desa. Semoga semuanya menjadi lebih baik di tahun baru ini,” ujar Sudarti.
Kirab tenong ini merupakan rangkaian kegiatan Festival Ujungan. Rabu lalu, telah dilaksanakan pengambilan air suci dari mata air Pingit. Selanjutnya pada Jumat besok dilaksanakan ujungan setelah jam 12.00 siang. Ujungan merupakan tradisi untuk memohon hujan. Ujungan biasa dilakukan di atas sawah yang kering. Ujungan berupa tari sekaligus pertarungan antara dua orang lelaki dengan bersenjatakan rotan. Makna di balik ujungan itu adalah kontemplasi dengan alam. Dengan merasakan sakitnya terkena rotan, kita juga merasakan penderitaan alam. Selanjutnya pada Sabtu dan Minggu digelar pula kegiatan lomba dan atraksi budaya dari para murid sekolah dasar. Selain itu ada juga pertunjukan wayang kulit untuk menyemarakkan festival.