BANTUL, KOMPAS - Puluhan warga menggelar upacara labuhan di Pantai Parangkusumo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (25/10/2018) sore. Upacara itu wujud keprihatinan mereka atas aksi-aksi intoleransi yang marak.
Sebelumnya, mereka menemui jajaran Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta dilanjutkan lampah prihatin dengan berjalan mundur di Titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta.
Wakil Ketua Gerakan Masyarakat Yogyakarta Melawan Intoleransi (Gemayomi) Lestanto Budiman mengatakan, kebanggaan bernegara Pancasila yang menghargai keberagaman mulai luntur. Nilai-nilai itu belum sepenuhnya diterapkan dalam dalam kehidupan sehari-hari.
“Kesadaran (masyarakat) bernegara Pancasila di atas perbedaan suku, ras, agama, dan antargolongan belum diserap dalam kehidupan sehari-hari. Faktanya, masih ada sekelompok massa melakukan tindak kekerasan dan perusakan gelaran adat,” kata dia.
Salah satunya, perusakan oleh sekelompok orang terhadap persiapan upacara sedekah laut di Pantai Baru, Dusun Ngentak, Bantul, Jumat (12/10). Akibatnya, masyarakat membatalkan upacara ungkapan syukur para nelayan atas hasil laut yang mereka nikmati.
Upacara labuhan dimulai sekitar pukul 15.00. Para peserta labuhan yang mengenakan pakaian adat jawa berwarna putih. Ada pula sejumlah orang yang mengenakan pakaian peranakan, khas abdi dalem Keraton Yogyakarta.
Mereka mengawali prosesi upacara dengan berdoa bersama di Pendopo Cepuri Parangkusumo. Isi doa itu adalah memohon agar masyarakat dijauhkan dari perpecahan dan tetap menjaga persatuan. Setelah itu, mereka melanjutkan upacara dengan makan bersama nasi gurih dengan lauk suwiran daging ayam dan oseng-oseng tempe.
Sekitar pukul 15.30, mereka memulai arak-arakan dengan berjalan menuju bibir pantai. Barisan paling belakang membawa bendera merah dan putih. Barang yang bakal dihanyutkan (dilabuh) ke laut dibawa oleh orang-orang yang berada di depan barisan pembawa bendera. Barang-barang itu adalah hasil bumi, nasi tumpeng, dan dua karakter wayang, yaitu Sengkuni dan Dasamuka.
Pembina Gemayomi Esti Wijayati menuturkan, kedua karakter wayang itu menyimbolkan sifat buruk manusia. Dengan dihanyutkan ke laut, diharapkan sifat buruk manusia ikut terbuang.
“Itu karakter yang suka mengadu domba, memberikan informasi-informasi yang tidak benar, dan membuat perpecahan. Kami tidak menginginkan itu terjadi di bumi Indonesia,” kata Esti.
Usut tuntas
Saat bertemu aparat kepolisian, Lestanto memohon agar kasus perusakan sedekah laut diusut tuntas. Ia mengharapkan, masyarakat tak lagi takut menjalankan tradisi yang sudah berlangsung turun temurun.
Esti menyampaikan hal serupa. Ia menginginkan agar kejadian perusakan itu menjadi yang terakhir. Ia beranggapan, upacara sedekah laut merupakan salah satu bentuk keragaman budaya.
“Bineka Tunggal Ika salah satu pemaknaannya adalah berbeda-beda dalam menyikapi banyak hal, tetapi kita tetap Indonesia,” kata Esti.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY Komisaris Besar Hadi Utomo mengatakan, proses penyidikan kasus itu terus berlanjut. Sejumlah saksi terduga pelaku, yang jumlahnya tak mau disebutkan oleh polisi, sudah diperiksa. Namun, ia mengalami kendala karena masyarakat tidak mau diperiksa sebagai saksi.
“Ingat, kami hanya akan memproses fakta. Fakta yang terjadi adalah perusakan. Tetapi, ketika tidak ada yang menjadi saksi, sulit bagi polisi menentukan langkah selanjutnya,” kata Hadi.
Terkait hal itu, Esti, yang sempat menemui para korban perusakan, menyatakan, mereka merasa takut sehingga tak mau diperiksa. Masyarakat merasa tidak aman jika melanjutkan pemeriksaan kasus itu.