Nostalgia, Sehari Saja!
Nostalgia sungguh mahal harganya. Demi bisa kembali bernostalgia mengenang masa emas musik era ’90-an, kaum urban Jakarta dan sekitarnya tak sungkan merogoh kocek dalam-dalam di The 90s Festival yang digelar seharian penuh di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta, Sabtu (10/11/2018). Yang penting, bisa kembali ke masa di mana lagu-lagu indah menancap kuat di memori hingga hari ini tak tergantikan.
Sinar matahari yang mulai redup menjelang senja mengantar trio vokal Lingua yang terdiri dari Arie, Amara, dan Frans Mohede tampil di panggung The 90s Festival. Trio era 90-an yang dikenal dengan lagu-lagu seperti ”Bila Kuingat”, ”Jangan Kau Henti”, ”Tak Kan Habis Cintaku”, dan ”Mampu Bertahan” itu segera mengundang antusiasme penonton.
Penonton membeludak di bawah panggung hingga luber jauh ke belakang dan terpaksa rela menonton aksi Lingua hanya dari layar besar di kiri dan kanan panggung. Tetap, keasyikan menyaksikan aksi panggung trio ini tak berkurang. Seketika muncul kor massal penuh luapan rasa gembira. Wajah-wajah semringah bertebaran di segala sudut, ikut melantunkan lirik lagu, memancarkan aura bahagia. Sebagian penonton yang datang berkelompok menyanyi bersama, beberapa di antaranya saling bergandengan tangan.
”Tak kan habis cintaku kepadamu/Tak kan lelah aku menyayangimu/...” Begitu penggalan lirik ”Tak Kan Habis Cintaku” meluncur dari bibir penonton.
Tuntas Lingua, panggung diisi B3 yang digawangi Nola, Widi, dan Chyntia Lamusu, lalu disusul Java Jive. Penonton terus membeludak, enggan beranjak. Semua larut menikmati penampilan penyanyi-penyanyi yang kini kian sulit dicari aksi panggungnya. Itu karena sebagian sudah tak aktif lagi di dunia musik atau jadwal tampil mereka menyusut drastis.
Di panggung berbeda, saat duo penyanyi senior 2D (Dedi Dukun-Dian Pramana Poetra) muncul di panggung, lagu-lagu lawas seperti ”Semua Jadi Satu”, ”Aku Ini Punya Siapa”, hingga ”Melayang” seolah kembali bernyawa. Tak hanya penonton paruh baya saja, penonton usia langgas pun hafal, ikut menyanyi mengikuti lagu.
Pemandangan serupa terjadi di panggung-panggung lain yang antara lain menampilkan Protonema, Cherry Bomshell, Wayang, Sket, Bayou, Fathur-Nadila, hingga Kidnap Katrina. Apalagi saat The Moffats, band asal Kanada, dan kelompok vokal Blue asal Inggris tampil. Penonton tak beranjak sedikit pun dan larut dalam nostalgia massal.
The Moffats, yang baru saja merilis singel baru ”Secrets” sebagai tanda kembalinya mereka di jagat musik, dikenal dengan lagu-lagu antara lain ”Girl of My Dream” dan ”Miss You Like Crazy”. Sementara Blue, boy band asal Inggris, dikenal antara lain dengan ”Get Down on It” dan ”All Rise”.
Sembari menonton, penonton pun menjerit-jerit histeris menimpali setiap aksi yang ditampilkan musisi idola zaman mereka muda itu. ”Ya ampun, ini band idola saya banget zaman dulu. Senang banget bisa menonton mereka di sini,” jerit Amanda (39) yang ditemani sang suami.
Ninda (24) pun ikut larut dalam lantunan lagu-lagu The Moffats dan Blue. ”Kenal sedikit. Tetapi ya tahu sih lagu-lagu mereka. Dulu pas kecil pernah denger-denger juga,” ujarnya.
Menjelang malam, giliran Sheila on 7 mengguncang panggung lain. Band asal Yogyakarta itu menggebrak panggung dengan ”Bila Kau Tak Disampingku”, disusul ”J.A.P”, ”Sahabat Sejati”, ”Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki”, ”Itu Aku”, ”Tunggu Aku di Jakarta”, dan masih banyak lagi. Lewat tengah malam, Sheila on 7 menutup The 90s Festival.
Pecahan memori
Seharian, sejak gerbang dibuka ketika matahari tepat di atas kepala hingga tengah malam, The 90s Festival dimeriahkan oleh penampilan 21 band. Mereka tampil di empat panggung berbeda dengan irisan waktu yang diatur sedemikian rupa agar penonton tak kehilangan momen untuk menyaksikan semua penampil, tak harus terbirit-birit pindah dari satu panggung ke panggung lainnya.
Suasana ini terasa tipikal dengan festival serupa yang digelar tahun-tahun sebelumnya. Musisi-musisi yang berangsur ”senja” sebagian tampak masih lincah meliuk-liuk di atas panggung. Namun, lebih banyak yang tampak kepayahan di atas panggung. Vokal dan stamina yang tak pernah lagi diasah sudah pasti menjadi persoalan saat harus kembali tampil di panggung.
Begitu juga penonton. Di antara deras cucuran keringat, penonton paruh baya atau yang sudah berumur asyik berjingkrak menyusun lagi pecahan-pecahan nostalgia. Tak sedikit remaja yang juga terus melonjak-lonjak dengan stamina membuncah.
Ibu-ibu yang bayinya masih digendong hilir mudik di antara ingar bingar musik. Ada pula seorang bapak yang mendorong kereta anaknya susah payah melewati kerumunan penonton.
Qenny Allyano (39), salah seorang penonton, mengatakan, dari sisi musik, The 90s Festival terkonsep baik. ”Bagus. Tetapi masih kurang mewakili genre musik dasawarsa 1990-an, seperti britpop, grunge, dan indie,” katanya. Tipe-tipe musik itu, katanya, juga mewakili masa 1990-an.
Head Partnership Akselerasi Entertainment yang menyelenggarakan The 90 Festival, Arinda Mentari Putri, mengungkapkan, tahun ini, The 90s Festival mengambil tema ”Back to the Future”,terinspirasi dari film yang hit pada 1990-an.
Artis-artis yang tampil, ujarnya, tidak dipilih asal dan sembarangan, tetapi berdasarkan jajak pendapat. Tahun ini, Sheila on 7 dan Padi Reborn menjadi pilihan terbanyak. Meski begitu, bukan hal mudah untuk memenuhi jajak pendapat penonton. Tantangan terbesarnya adalah membujuk para musisi untuk tampil karena sebagian artis sudah tidak aktif lagi atau memiliki kesibukan lain.
Antusiasme penonton, menurut Arinda, terus meningkat. Tiket yang dijual secara daring bahkan sudah habis dua hari sebelum acara digelar. Meski begitu, ia enggan menyebut target penonton yang dipatok penyelenggara dan jumlah tiket yang terjual. Sebagai gambaran, harga tiket The 90s Festival sebesar Rp 550.000 untuk festival dan Rp 1,4 juta untuk kelas super festival.
Melihat antusiasme penonton, Arinda berharap The 90s Festival bisa menjadi acara nostalgia terbesar di Indonesia. Dia berjanji, setiap tahun akan menampilkan musisi yang beragam agar penonton tak jenuh.
Begitu pula dengan pernik- pernik nostalgia khas yang menyeret orang pada nostalgia di era ’90-an. Nintendo, game watch, majalah Gadis dan Aneka, sandal boling Daimatu, sepatu Kodachi, hingga jaket jins lusuh, dan celana monyet… Nostalgia, walau hanya sehari saja.