Liukan Arus Koma
Teater Koma sedang meliuk mengikuti arus zaman. Dalam pementasan lakon ke-154 bertajuk ”Mahabarata: Asmara Raja Dewa” kelompok ini tampil lebih milenial. Inovasi ini merupakan bentuk keluwesan pelaku seni dalam berdialog dengan zaman.
Hyang Ismaya, Hyang Manik Maya, Hyang Antaga, dan Hyang Manan berdialog dengan Hyang Jengger Kinanti, ayam raksasa yang ukuran kakinya saja sebesar manusia. Empat bersaudara, yang lahir dari sebutir telur Dewi Rekatawati dengan ayah Batara Tunggal, ini hendak menyombongkan diri dengan bertanya, lebih dulu mana telur atau ayam.
Itulah cuplikan adegan lakon garapan Teater Koma yang dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 16-25 November 2018.
Dialog antara keempat dewa dan ayam raksasa itu dibangun dengan imaji dua dunia. Keempat dewa hadir dalam bentuk manusia utuh di atas panggung, sedangkan ayam raksasa muncul dalam bentuk video yang ditembakkan ke layar jumbo di bagian belakang panggung. Interaksi kedua pihak meskipun tampak agak janggal, tetapi memberikan stimulasi imajinasi tersendiri.
Bagi masyarakat modern, yang biasa dengan video call atau bahkan berkonferensi lewat monitor laptop, dialog antara Hyang Manik Maya bersaudara dan Hyang Jengger Kinanti seperti mewakili fenomena keseharian. Inilah bentuk baru keluwesan Teater Koma dalam membaca zaman. Mereka akhirnya berani keluar dari kebiasaan yang sudah bertahun-tahun diulang di atas panggung.
Biasanya, teater yang lahir tahun 1977 ini memilih mengusung berjibun properti. Dalam lakon seperti Opera Kecoa, Republik Togog, atau Semar Gugat, Teater Koma menampilkan properti yang demikian kompleks dan ribet. Itu sudah biasa bagi mereka.
Dalam Mahabarata kompleksitas properti tadi banyak berkurang karena mereka memilih jalan milenial, yakni multimedia. Multimedia yang ditangani Deden Bulqini menjadi penyelamat kerumitan adegan. Apalagi dalam lakon ini banyak sekali adegan-adegan super-realistis seperti pertarungan para dewa atau proses kelahiran dewa dari sebutir telur. Dengan menggunakan multimedia, kerumitan itu menjadi sangat sederhana, tanpa kehilangan substansi cerita.
Bahkan, multimedia menjembatani visualisasi penonton terhadap dialog-dialog imajinatif para dewa. Ketika pemain berkisah tentang dunia antahberantah, multimedia membantunya dengan visual-visual surealistik yang keren.
Multimedia dalam lakon Mahabarata tidak melulu sebagai pemanis atau latar. Dia menjadi bagian penting dari cerita itu sendiri. Seperti kemunculan Hyang Jengger Kinanti tadi. ”Ini cara kami menjawab tantangan zaman,” kata Sutradara Teater Koma N Riantiarno.
Keelokan multimedia itu didukung oleh properti dan kostum yang menawan. Maka, lakon Mahabarata sungguh memanjakan mata.
Kendur
Meskipun elok secara visual, tetapi Mahabarata kendur pada naskah. Banyak sekali dialog yang tidak begitu substansial sehingga terkesan bertele-tele. Itu berdampak pada durasi pertunjukan yang mencapai empat jam. Bagi Teater Koma, durasi empat jam itu biasa lantaran memang begitu tradisi mereka pada hampir setiap lakon.
Akan tetapi, bagi sebagian penonton, durasi sepanjang itu, tanpa kekuatan dialog, cukup melelahkan, pun jika adegannya berkepanjangan. Misalnya, dialog Hyang Jengger Kinanti dan keempat dewa itu yang sampai 12 menit. Juga adegan taruhan antara Hyang Antaga dan Hyang Ismaya dalam menelan gunung es dan gunung api. Sepanjang pertunjukan diselipi sedikitnya 12 lagu. Satu lagu bisa enam menit. Lagu-lagu sebenarnya bisa dikurangi atau diganti dialog yang lebih ringkas.
Tentu saja tidak ada pertunjukan yang sempurna. Dengan perspektif itu, penonton dapat memaklumi segala kekurangan Mahabarata. Toh, masih banyak nilai lebih yang perlu diapresiasi.
Kelebihan lain dari pentas ini adalah keberanian Riantiarno menafsir ulang Mahabarata. ”Ini sumbernya dari Nusantara, sehingga imajinasi bisa ke mana-mana. Membuka ruang tafsir,” ungkap Riantiarno soal Mahabarata.
Di Nusantara, Mahabarata identik dengan lakon pewayangan. Wayang identik dengan Jawa. Jika bukan Solo, ya, Yogyakarta, atau Cirebon. Itu pula referensi yang biasa digunakan Riantiarno dalam menggarap lakon-lakon wayang di pentas teater.
Kali ini, dia menggabungkan banyak unsur budaya lokal di Nusantara, seperti Bali, Toraja, Bugis, dan Batak. Dengan demikian, asosiasi ketat wayang sebagai entitas yang identik dengan Jawa akan melonggar.
Mahabarata dikawal seorang narator yang disebut dalang. Adalah Idries Pulungan yang berperan sebagai dalang. Dia tampil dengan ikat kepala dari ulos dan membawa tongkat sejenis Tunggal Panaluan. Dalam budaya Batak, tongkat Tunggal Panaluan ini biasa dipegang tetua adat atau raja.
Riantiarno juga memberikan ruang bagi musik dari beragam daerah masuk dalam Mahabarata. Sesekali terdengar suara gondang dan serunai mengiringi narasi Dalang. Di lain waktu terdengar suara tambur dan gong yang biasa mengiringi barongsai beraksi. Dua jenis musik ini jelas sering absen dalam pertunjukan wayang. Namun, malam itu, Mahabarata tampil dalam kekayaan musik Nusantara.
Lewat Mahabarata, Teater Koma begitu luwes meramu kekayaan Nusantara. Juga luwes dalam membaca zaman.