Gerabah Sitiwinangun Hendak Berjaya Kembali
Kamis (22/11/2018), Kepala Desa (Kuwu) Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Brata Menggala dengan Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon PRA Arief Natadiningrat meresmikan peremajaan Desa Wisata Gerabah Sitiwinangun dengan pembukaan balai wisatawan Pancaniti, pendirian patung anjunan (pembuat gerabah), dan dua ruang pamer (terbuka dan tertutup) serta gerai gerabah di depan kantor Kuwu Sitiwinangun.
Dalam percakapan terungkap, Brata dan Arief ingin mengulang kembali sukses gerabah sebagai produk berkelas dengan pangsa pasar kelas menengah ke atas seperti pernah dilakukan almarhum Bonzan Eddy Prasetio, Sarjana Seni Rupa ITB, pada tahun 1990-an.
Dengan tehnik modern, Bonzan ”memuliakan” motif tradisional Cirebon pada gerabah, antara lain motif megamendung, wadasan, sulur kangkung, tali duri ikan, tumpal pilin, menader, dan melati. Sejumlah perajin dan seniman gerabah, seperti Nurjazi, Eka Budyatna, Sudaryono, Djaenuddin yang tergabung dalam Yayasan Soko Papat Cirebon, ikut gigih mengembangkan ornamen, motif, bentuk, dan warna gerabah Sitiwinangun.
Sasaran produk gerabah dengan sentuhan kaum akademisi ini awalnya cepat mendapat tempat di lingkungan kelas menengah dan atas. Bukan hanya di lingkungan rumah tangga, melainkan sampai ke lobi, dapur, dan ruang makan kantor pemerintah, swasta, hotel, dan kafe.
Wadasan (tempat air wudu), tempayan tempayan, jambangan, pot pot gigantik, memolo (ornament hiasan di atas atap bangunan), mangkuk, cawan, piring serta bermacam perangkat makan eksklusif lainnya tampil mewah dengan ornamen dan motif khas Keraton Pakungwati, Cirebon.
Tak ketinggalan produk patung patung gerabah berupa binatang rekaan Pakungwati berupa singa barong atau paksi naga liman, buroq, naga berkaki, serta stilisasi sejumlah hewan lain yang khas Cirebon. Ada pula patung-patung dari tokoh pewayangan, terutama patung-patung punakawan (Semar, Petruk, Bagong, dan Gareng).
Kemajuan desain gerabah tradisional yang mampu menembus lingkungan kelas menengah dan atas ini bahkan sempat menginspirasi sentra-sentra gerabah di Pagar Jurang-Mbayat-Klaten, Jawa Tengah, Plered-Purwakarta, Jawa Barat, serta Kasongan di Yogyakarta.
Produk plastik
Sudah ratusan tahun Sitiwinangun menjadi pusat gerabah terbesar di Kompleks Gerabah Buni yang membentang di pantai utara Jawa Barat sampai ke Cirebon. Apalagi setelah sentra gerabah Panjunan di Cirebon gulung tikar karena tuntutan perkembangan kota.
”Para perajin tak bisa lagi membakar gerabah di tempat terbuka karena dilarang pemerintah daerah,” kata Kadmiya (50), salah satu perajin gerabah Sitiwinangun yang ditemui, Senin (19/11/2018).
Sampai tahun 1950-an, gerabah masih menjadi bagian penting bagi masyarakat tradisional di pantai utara Jawa Barat, terutama Cirebon. ”Mas kawin keluarga mempelai pria kepada keluarga mempelai perempuan pun diberikan dalam bentuk satu perangkat dapur dari gerabah,” tutur Brata Menggala.
Gerabah Sitiwinangun, kata Brata Menggala, mencapai zaman keemasannya pada tahun 1960-an. Namun, kata Kadmiya, mulai surut di tahun 1990-an karena membanjirnya bermacam produk plastik di pasaran. Beruntung Bonzan dan kawan kawan hadir di saat sentra gerabah di Sitiwinangun nyaris gulung tikar.
Sayang, sepeninggal Bonzan dan kawan-kawan, sentra gerabah Sitiwinangun kehilangan gairahnya berproduksi. Relasi dengan konsumen pun satu demi satu tanggal. Kini, para perajin gerabah di Sitiwinangun kembali memproduksi gerabah kasar untuk memenuhi pasar masyarakat tradisional.
Ironisnya, sentra sentra gerabah yang awalnya terinspirasi kemajuan produk gerabah di Sitiwinangun kini justru berkembang dan mampu melayani pasar kelas menengah ke atas. Berdasarkan pengamatan Kompas, kini sentra kerajinan gerabah di Kasongan terunggul dalam hal melayani pasar menengah ke atas dibandingkan sentra gerabah di Plered dan Pagar Jurang. Ketiga sentra gerabah ini telah memiliki ciri produknya sendiri.
Kebutuhan tradisional
Nurwati (38) dan suaminya, Jayadi (38), pasangan pedagang gerabah yang ditemui terpisah di Sitiwinangun, Senin, mengakui, saat ini produk gerabah yang masih ramai pembeli tinggal kendil ari-ari, tempayan tempat empal gentong, pendaringan (tempayan tempat beras), tungku kecil untuk memasak kue basah serabi, dan sejumlah model tungku besar.
”Peringkat kedua terbanyak pembelinya adalah memolo (ornamen khas Jawa Barat yang dipasang di atas bangunan) dan topeng Cirebon. Topeng-topeng ini sebagai bahan prakarya kalangan siswa SD dan SMP untuk selanjutnya diwarnai atau dilukis,” tutur Nurwati saat ditemui dirumahnya di Blok Sentul, Desa Sitiwinangun.
Beberapa tahun terakhir ini, kata Jayadi, produk memolo bertambah. ”Biasanya untuk cungkup makam atau gapura makam, rumah, mushala, dan beberapa balai pertemuan desa,” ujarnya.
Menurut Nurwati, dalam sepekan, bibinya yang juga berdagang gerabah di depan rumahnya bisa menjual kendil ari-ari sampai 2.000 kendil, sementara tempayan tempat empal gentong terjual sampai 200 tempayan setiap bulan.”Kalau pendaringan, kami bisa melepas 1.000 tempayan setiap dua pekan. Dari tangan perajin, mereka bisa membuat 200 tempayan setiap dua pekan,” katanya.
Pembeli produk produk ini bukan cuma berasal dari Cirebon, melainkan juga datang dari Tasikmalaya, Bandung, Indramayu, Majalengka, dan Sumedang. Beberapa sentra gerabah di Cirebon, seperti sentra gerabah di Arjawinangun, Sindang Laut, Kedondong, dan Jebor, kata Nurwati, juga sering menitip jual ke sini.
Untuk produk gerabah halusan, gerabah hiasan, pot-pot besar, kursi, dan meja taman, kata Jayadi, ia membelinya dari Kasongan, Yogyakarta. ”Harus kami akui, produk Kasongan lebih unggul karena para perajinnya terus berinovasi dengan bermacam bahan nontanah,” katanya sambil menunjukkan satu set meja dan kursi taman gerabah yang dihiasi pecahan kaca. Pengembangan desain para perajin Kasongan pun terus dilakukan.
Ia kemudian menunjukkan gentong-gentong oval vas bunga yang dibalut anyaman rotan. ”Yang datang ke sini kebanyakan memang dari masyarakat tradisional. Namun, saat wisatawan dari luar Cirebon datang, mereka lebih banyak membeli produk gerabah dari Kasongan,” ujar Jayadi.
Menurut Kadmiya (50), Kasongan unggul di hampir semua lini, kecuali soal kekuatan produk. Sitiwinangun paling unggul karena bahan tanahnya paling baik. ”Melihat hal itu, para perajin Kasongan tidak membuat produk kebutuhan sehari-hari yang bersentuhan dengan api seperti kebanyakan produk-produk para perajin di Sitiwinangun,” katanya.
Produk gerabah di Plered, Purwakarta, Jawa Barat, katanya, unggul di pewarnaan. Perajin di sana dan perajin gerabah di Pagar Jurang, Bayat, Klaten, Jawa Tengah, unggul dalam soal finishing. ”Kalau produk gerabah di Plered ditandai dengan aneka warna cerah dalam produk produknya, maka produk gerabah di Pagar Jurang ditandai dengan pilihan warna coklat, nyepuh (tua),” ujar Kadmiya.
Menurut dia, sebenarnya para perajin di Sitiwinangun mampu melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan perajin gerabah di Kasongan, Plered, Pagar Jurang, ataupun perajin gerabah di Bali.
”Yang masih menjadi kesulitan besar para perajin di Sitiwinangun adalah pasar untuk kelas menengah dan atas seperti pernah dirintis almarhum Bonzan. Kami belum mampu melakukan riset pasar, pengembangan pasar, pengembangan desain untuk pasar menengah ke atas. Padahal, kami sudah beberapa kali melakukan studi banding ke sana. Sejumlah pameran dan pendampingan dari kementerian dan dinas terkait pun sudah dilakukan,” kata Kadmiya.
Ia berpendapat, produk gerabah di Sitiwinangun memiliki banyak ornamen keraton yang berpotensi mengungguli sentra-sentra kerajinan gerabah di daerah lain. Selain itu, Cirebon memiliki bahan tanah yang bagus untuk produk gerabah. ”Kalau sudah menyangkut pasar menengah ke atas, biaya produksi kan lebih tinggi. Kalau gagal, kami rugi,” ujar Kadmiya.
Ia berharap, kerja sama meremajakan Desa Wisata Gerabah Sitiwinangun antara Kuwu Sitiwinangun dan pihak Keraton Kasepuhan bisa memecahkan masalah ini.
”Saya berharap jaringan bisnis sultan dengan kalangan pengelola hotel, dan restoran, properti, dan sejumlah pengusaha lainnya di Cirebon mampu meningkatkan dan menciptakan pasar bagi para perajin gerabah di Sitiwinangun. Apalagi beliau kan pemilik ornamen ornamen keraton. Dengan demikian, kami, para perajin, bisa belajar lebih banyak dari beliau,” ujar Kadmiya.
Sebelumnya, Arief menjelaskan, di Sitiwinangun pernah bekerja 1.000 perajin. Namun, tahun 2016 tinggal 30 perajin. Melihat kemerosotan produksi dan tenaga perajin, Arief berinisiatif menjalin kerja sama dengan Kuwu Sitiwinangun sejak tahun 2016. ”Sekarang sudah ada 70 perajin dengan produksi yang meningkat 100 persen,” katanya.
Pemasaran
Di tengah peresmian peremajaan Desa Wisata Sitiwinangun, Kamis lalu, Brata Menggala mengatakan, untuk menggairahkan kembali produksi gerabah di lingkungannya, lembaganya antara lain telah melakukan pelatihan warga perajin dengan kalangan akademisi Departemen Seni Rupa ITB sepanjang Oktober lalu. PT Telkom pun, katanya, telah menawarkan bantuan dana produksi dan pelatihan.
”Kami juga telah menyiapkan website untuk promosi. Di Balai Pancaniti kami siapkan tim kesenian dan guide untuk menyambut dan mendampingi wisatawan. Para guide juga kami siagakan di dua ruang pamer dan ruang penjualan produk gerabah kami. Warga Sitiwinangun lewat perangkat desa juga sudah kami latih ramah dan terampil menyambut wisatawan,” kata Brata Menggala.
Nah, yang masih menjadi PR bagi para pemangku kepentingan desa wisata gerabah ini adalah mendirikan gapura selamat datang di jalan masuk tepi jalan raya. Sebab, papan penunjuk arah yang terpasang di jalan masuk desa wisata gerabah ini berukuran kecil. Sudah beberapa kali rombongan wisatawan terlewat melintas. Jalan masuk pun sebaiknya diperlebar.
Akan lebih baik jika pinggiran jalan masuk tersebut dihiasi oleh sesuatu yang khas, misalnya dengan deretan hiasan dari gerabah yang bisa berupa tempayan, wadasan, atau patung. Jangan lupa, lampu-lampu penerangan jalan.