Suriname Berpotensi untuk Studi Budaya Diaspora Jawa
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Kedekatan hubungan Indonesia dan Suriname sangat berguna untuk melestarikan tradisi Jawa di Suriname. Penduduk Suriname keturunan Jawa atau Jawa-Suriname di Suriname sekitar 73.000 orang.
DEPOK, KOMPAS — Penelitian budaya diaspora Jawa di Suriname menarik untuk dikembangkan karena melihat budaya Jawa yang kerap diasosiasikan sebagai budaya adiluhung dan edi peni sebagai budaya yang juga milik rakyat kecil. Hal ini memberi keragaman dan kekayaan pada pemahaman kebudayaan Jawa dan kebudayaan Nusantara secara umum untuk memperkuat nilai kebangsaan.
Hal tersebut dibahas dalam diskusi ilmiah berjudul ”Diaspora Jawa di Suriname” di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (29/11/2018).
Diskusi yang diselenggarakan program studi Sastra Jawa ini menghadirkan narasumber Direktur Amerika II Kementerian Luar Negeri yang membidangi wilayah Amerika Latin dan Karibia, Julang Pujianto, serta Sarmoedjie, perwakilan komunitas repatriat Jawa asal Suriname.
”Penelitian budaya Jawa Kerakyatan belum banyak dilakukan, apalagi yang berlokasi di luar wilayah Indonesia,” kata dosen program pendidikan Sastra Jawa UI, Darmoko, yang juga bertindak sebagai moderator diskusi.
Ia menjelaskan, selama ini budaya Jawa identik dengan budaya Keraton Mataram yang kini terbagi di Solo dan Yogyakarta. Budaya Jawa Keraton sangat mengagungkan kehalusan budi pekerti dan terkenal sebagai wujud peradaban yang adiluhung.
Akan tetapi, di sisi lain, juga ada rakyat jelata yang dinilai termarjinalkan oleh budaya keraton tersebut. Budaya rakyat ini juga memiliki sistem kepercayaan, mitos, seni musik dan pertunjukan, bahasa, serta sistem sosial tersendiri.
Menurut Darmoko, mulai bermunculan ekspresi budaya Jawa Kerakyatan seperti festival budaya di Blora dan Banyuwangi. Contoh lainnya ialah pengenalan batik ke masyarakat Indonesia secara luas. Dulu batik yang dikenal hanya dari Yogyakarta dan Solo yang merupakan bagian dari tata busana kaum ningrat. Sekarang, batik rakyat jelata seperti dari Pekalongan, Lasem, dan Madura juga merambah pasar.
”Rakyat seolah mengatakan bahwa meskipun mereka tidak berdarah ningrat, bukan berarti mereka rendah. Ini untuk membuktikan mereka juga ada dan lestari di dalam peta budaya Jawa secara umum,” tutur Darmoko.
Jawa-Suriname
Sarmoedjie mengatakan, bagi komunitas Jawa-Suriname, pertunjukan seni seperti ludruk, wayang kulit, wayang orang, dan gamelan masih sering dilakukan. Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa tidak resmi di negara yang terletak di benua Amerika Selatan itu.
Bagi komunitas Jawa-Suriname, pertunjukan seni seperti ludruk, wayang kulit, wayang orang, dan gamelan masih sering dilakukan.
Menurut data Biro Pusat Statistik Suriname tahun 2012, terdapat 73.000 penduduk Jawa-Suriname. Jumlah itu setara 13,7 persen dari total penduduk 558,368 jiwa. Suku bangsa lainnya adalah India-Suriname, Afro-Suriname, Tionghoa-Suriname, dan suku-suku bangsa asli benua Amerika Latin.
Orang Jawa datang ke Suriname sebagai tenaga kerja di perkebunan selepas negara yang merupakan jajahan Belanda itu melarang adanya perbudakan. Proses pengiriman tenaga kerja Jawa ke Suriname berlangsung selama 50 tahun, yaitu dari tahun 1890 hingga 1939. Total ada 32.956 orang yang dikirim. Mereka berasal dari Keresidenan Kedu yang mencakup wilayah Yogyakarta, Purworejo, Magelang, dan Boyolali. Selain itu, juga ada beberapa dari Jawa Barat dan Madura.
”Tahun 1950-an, 20 tahun sebelum Suriname merdeka pada 25 November 1975, banyak orang Jawa-Suriname memutuskan pulang ke Indonesia. Tujuannya untuk membangun Tanah Air,” ujar Sarmoedjie yang meninggalkan Suriname pada tahun 1954 ketika ia berusia 11 tahun. Meskipun begitu, mereka tetap berhubungan dekat dengan kerabat yang memutuskan tinggal di Amerika Selatan maupun yang pindah ke Belanda.
Ia menjabarkan, kedekatan hubungan Indonesia dan Suriname di satu sisi sangat berguna untuk melestarikan tradisi Jawa yang ada di Suriname dan membuat komunitas Jawa-Suriname bangga kepada identitas nenek moyang mereka. Di sisi lain, hal ini juga berguna untuk mengenalkan komunitas Jawa-Suriname kepada identitas kebangsaan Suriname yang bersatu.
”Masyarakat Suriname sangat tersegregasi berdasarkan kelompok etnis. Berbeda dengan bangsa Indonesia yang merangkul perbedaan sebagai pemersatu bangsa. Semangat Bineka Tunggal Ika ini yang perlu dipelajari oleh masyarakat Suriname. Walaupun nenek moyang mereka dari berbagai belahan bumi, mereka adalah satu bangsa yang semestinya bersatu untuk kemajuan negara,” tutur Sarmoedjie.
Festival Indonesia
Julang Pujianto mengungkapkan, Kedutaan Besar Indonesia di Paramaribo, ibu kota Suriname, setiap tahun mengadakan Festival Indonesia. Festival ini diikuti oleh kegiatan Malam Indonesia di kota-kota lainnya. ”Festival dan malam Indonesia selalu menarik minat warga Suriname, tidak hanya dari diaspora Jawa,” ucapnya.
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga memberikan beasiswa kepada para mahasiswa Suriname, untuk jenjang S-1, S-2, dan beasiswa seni. Indonesia juga rutin mengirim ustaz serta para pelatih tari, musik tradisional, dan pencak silat untuk mengajar di Suriname.