Daya Beli Merosot, Konsumsi Masyarakat di Awal Tahun Terhambat
Kalau daya beli masyarakat baik-baik saja, semestinya pertumbuhan ekonomi di awal tahun ini bisa lebih dari 5,11 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebagai motor utama perekonomian cenderung melambat pascapandemi. Daya beli masyarakat mengalami tekanan bertubi-tubi akibat kenaikan harga kebutuhan pokok dan pendapatan yang stagnan. Ke depan, diperlukan strategi baru untuk mengungkit daya beli kelas menengah dan mengontrol inflasi.
Melemahnya daya beli dan konsumsi masyarakat itu tampak dari data pertumbuhan ekonomi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) awal pekan ini. Meskipun sepintas ekonomi tumbuh solid di angka 5,11 persen sepanjang triwulan I tahun 2024 (Januari-Maret), konsumsi rumah tangga sebagai ”tulang punggung” ekonomi tumbuh tidak optimal.
Sepanjang Januari-Maret 2024, konsumsi masyarakat hanya tumbuh 4,91 persen secara tahunan. Angka tersebut memang lebih tinggi dari triwulan IV-2023 yang tumbuh 4,47 persen dan triwulan I-2023 yang sebesar 4,53 persen. Namun, pertumbuhan konsumsi itu masih di bawah laju pertumbuhan ekonomi atau level ”normal” 5 persen.
Baca juga: Ekonomi Tumbuh, tetapi Belum Stabil dan Berkualitas
Sejumlah faktor musiman seperti momen Ramadhan, pemilihan umum, dan persiapan hari raya Lebaran yang terjadi di sepanjang Januari-Maret tidak signifikan mengerek konsumsi masyarakat ke atas 5 persen.
Menurut peneliti ekonomi makro dan keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Riza Annisa Pujarama, konsumsi masyarakat yang tidak ”tertolong” oleh faktor-faktor temporer itu menunjukkan adanya masalah yang lebih mendasar pada daya beli masyarakat.
”Ada banyak momentum yang sebenarnya bisa meningkatkan konsumsi rumah tangga. Kalau daya beli masyarakat masih baik-baik saja, seharusnya pertumbuhan ekonomi kita di awal tahun ini bisa lebih dari 5,11 persen,” ujarnya dalam diskusi virtual, Selasa (7/5/2024).
Riza mengatakan, sepanjang triwulan I-2024 ini daya beli masyarakat tertekan oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, terutama pangan. Mengutip data BPS, inflasi komponen harga bergejolak (volatile food) yang menunjukkan kenaikan harga pada komoditas pangan memang terhitung tinggi, bahkan memberikan andil inflasi terbesar pada periode Januari-Maret 2024.
Kalau daya beli masyarakat baik-baik saja, seharusnya pertumbuhan ekonomi kita di awal tahun ini bisa lebih dari 5,11 persen.
Pada Januari 2024 inflasi komponen harga bergejolak adalah 7,22 persen secara tahunan, naik menjadi 8,47 persen pada Februari 2024, dan kembali meroket ke 10,33 persen pada Maret 2024. Komoditas yang menyumbangkan inflasi terbesar adalah beras, daging ayam ras, cabai merah, telur ayam ras, bawang putih, dan tomat.
Sementara itu, ketika harga barang-barang naik, pendapatan masyarakat cenderung stagnan. Akhirnya masyarakat cenderung menahan belanjanya di awal tahun. Hal itu tampak dari kinerja sejumlah sektor seperti pakaian, alas kaki, yang biasanya tumbuh pesat saat Ramadhan dan menjelang Lebaran, tetapi pada triwulan I-2024 pertumbuhannya melambat.
Peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus, mengatakan, laju inflasi pangan itu jauh lebih tinggi melampaui rata-rata pertumbuhan pendapatan masyarakat. Sebagai gambaran, rata-rata upah buruh selama periode Februari 2023-2024 hanya naik 3,27 persen.
”Kenaikan upah tidak sampai 5 persen, tetapi inflasi kelompok barang pangan ada di atas 5 persen. Sementara sebagian besar pendapatan pekerja, sampai 80 persen, itu habis digunakan untuk belanja pangan,” ujarnya.
Baca juga: Anomali Lebaran 2024: Masyarakat Lebih Menahan Konsumsi
Pemerintah telah menyiapkan sejumlah kebijakan untuk mengungkit daya beli masyarakat selama triwulan I-2024. Misalnya, lewat penyaluran bantuan sosial yang masif serta kebijakan menaikkan gaji aparatur sipil negara (ASN) dan membayar tunjangan hari raya. Akibat berbagai kebijakan itu, belanja pemerintah pada Januari-Maret tumbuh pesat hingga 19,9 persen.
Namun, berbagai kebijakan itu tetap tidak berdampak signifikan mengerek konsumsi. ”Semestinya fungsi belanja pemerintah itu bisa menjadi stimulus. Bukan sekadar mengeluarkan uang APBN, melainkan juga harus bisa menggerakkan sektor ekonomi lain. Ini menjadi tantangan ke depan untuk memikirkan kebijakan lain yang lebih efektif menjaga daya beli dan mengendalikan inflasi,” katanya.
Digempur pascapandemi
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga memang telah mengalami tren melambat pascapandemi Covid-19. Sebagai perbandingan, pada tahun 2018-2019, perlambatan konsumsi di bawah 5 persen biasanya hanya terjadi pada satu triwulan saja di sepanjang tahun. Konsumsi masih mampu tumbuh setara atau di atas pertumbuhan ekonomi.
Namun, selepas pandemi, konsumsi rumah tangga semakin jarang mencapai 5 persen. Konsumsi pada 2022-2023 hanya mencapai 5 persen pada triwulan II dan III, tetapi merosot di bawah laju pertumbuhan ekonomi pada triwulan I dan IV. Pola yang sama kembali terulang di awal tahun 2024 ini.
Daya beli masyarakat selama tiga tahun terakhir digempur bertubi-tubi oleh kenaikan harga kebutuhan pokok.
Menurut Riza, hal itu terjadi karena daya beli masyarakat selama tiga tahun terakhir digempur bertubi-tubi oleh kenaikan harga barang. Mulai dari kenaikan harga bahan bakar minyak pada 2022, harga minyak goreng pada 2021-2022, gejolak harga pangan yang fluktuatif di tahun 2023 sampai awal 2024, serta peningkatan harga barang lainnya.
Di sisi lain, masyarakat kelas menengah juga mesti menyisihkan uangnya untuk membayar tagihan lain seperti kewajiban membayar pajak, cicilan, kredit, yang akhir-akhir ini juga mengalami kenaikan akibat ketidakpastian ekonomi. ”Itu mengapa konsumsi rumah tangga semakin sulit tumbuh di atas 5 persen karena masyarakat sudah dihajar oleh bertubi-tubi tekanan selepas Covid-19,” ujarnya.
Strategi baru
Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan, konsumsi rumah tangga akan terus mengalami tekanan selama daya beli masyarakat dan inflasi tidak terjaga. ”Jika tren inflasi tidak turun, daya beli akan terus mengalami tekanan dan pertumbuhan ekonomi kita pun cenderung tidak akan sustain,” katanya.
Oleh karena itu, dibutuhkan terobosan kebijakan baru untuk menopang dan mengungkit daya beli masyarakat. Menurut Ajib, pemerintah tidak bisa lagi hanya mengandalkan cara konvensional seperti penyaluran bansos. Apalagi, ke depan, tekanan terhadap daya beli masyarakat akan banyak dirasakan oleh kalangan kelas menengah.
Baca juga: Banyak Gejolak di Awal Tahun, Daya Tahan Ekonomi Indonesia Diuji
Salah satunya, rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025. Menurut dia, itu akan semakin menambah tekanan baik bagi dunia usaha maupun masyarakat yang akan menanggung kenaikan harga barang.
”Kalau pemerintah tidak memberikan insentif yang tepat sasaran, pertumbuhan ekonomi kita (tahun ini) hanya akan berkisar di bawah target 5,2 persen,” kata Ajib.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah akan mengantisipasi beberapa risiko global yang harus dihadapi ke depan. Risiko itu antara lain arah kebijakan pengetatan moneter Amerika Serikat yang bisa berdampak pada pelemahan rupiah dan kenaikan harga barang di dalam negeri, eskalasi tensi geopolitik di berbagai kawasan, serta disrupsi rantai pasok global.
”Pemerintah akan terus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap potensi dampak dinamika global atas ekonomi domestik dan kondisi fiskal. APBN akan terus dioptimalkan sebagai shock absorber untuk menjaga daya beli masyarakat dan momentum pertumbuhan ekonomi,” katanya.