”The Queen of Pantat” Melata dari Desa ke Desa
Dikisahkan, perempuan empu kehidupan yang melata dari desa ke desa menjadi perempuan perkasa.
Dari sebuah lukisan berjudul ”The Queen of Pantat”, diperbincangkan sosok pedangdut Inul Daratista. Ia dinilai menjadi salah satu tokoh perempuan perkasa dan selaras dengan yang diperjuangkan Kartini. Ia menjadi perempuan empu kehidupan yang melata dari desa ke desa.
Lukisan itu karya Zipit Supomo dengan media cat akrilik di atas kanvas berukuran 150 cm x 130 cm berangka tahun pembuatan 2003. Karya ini ada di antara 56 koleksi Bentara Budaya yang dipamerkan di Bentara Budaya Art Gallery Lantai 8 Menara Kompas, Jakarta, bertajuk Per-empu-an: Sosok Perempuan di Mata Seniman.
Pameran koleksi lukisan tentang perempuan yang dibuat para seniman ternama pada 1941-2019 tersebut dalam rangka merayakan Hari Kartini. Pameran ini diselenggarakan 24 April-31 Mei 2024.
”Dalam lukisan ’The Queen of Pantat’ itu memang tidak menyebut nama Inul Daratista. Akan tetapi, karya ini turut terpilih untuk dipamerkan dengan merujuk anggapan sosok Inul Daratista ada dalam lukisan tersebut,” ujar kurator pameran Frans Sartono, Rabu (24/4/2024) malam, menjelang pembukaan pameran itu di Bentara Budaya Jakarta.
Zipit Supomo melukis seorang perempuan berkaus tanktop ketat berwarna merah menyala yang sedikit tersingkap di bagian pinggul belakang. Ia membawa sebuah mikrofon dan berpose berjoget dengan goyang pantatnya. Di belakang lukisan sosok perempuan ini terdapat banyak gambar siluet berukuran kecil. Lukisan-lukisan siluet itu menampakkan aneka goyang pantat yang kemudian mengingatkan ”goyang ngebor” yang pernah disematkan pada kekhasan gaya Inul Daratista di panggung.
Frans menceritakan, di era 2002-2003 bersama Bre Redana pernah mewawancarai Inul dan menuliskannya untuk harian Kompas. Di masa itu, Inul mulai dilirik manggung di stasiun-stasiun televisi di Jakarta. Sebelumnya, Inul sebagai penyanyi dangdut asal Pasuruan, Jawa Timur, hanya dikenal di seputaran Jawa Timur. Ada yang merekam video pementasannya dengan goyang ngebor di banyak tempat. Rekaman itu digandakan dan banyak diperjualbelikan. Inul pun mulai dikenal.
Baca juga: Kiprah Petarung Kehidupan, dari Balik Dinding Istana hingga Tepi Sawah
Frans melukiskan Inul dengan kiasan melata dari desa ke desa. Ketika itu Inul menyanyi dangdut dari satu panggung ke panggung berikutnya, dari satu desa ke desa berikutnya. Bahkan, dalam sehari Inul bisa manggung di enam lokasi secara berturutan.
”Pada waktu itu Inul manggung di sana-sini untuk mendapatkan uang demi mewujudkan keinginannya untuk membuatkan warung di rumah ibunya,” ujar Frans.
Istilah melata dari desa ke desa diambil Frans bersama Efix Mulyadi sebagai kurator pameran, dari puisi berjudul ”Perempuan-perempuan Perkasa” karya penyair Hartoyo Andangjaya. Berikut nukilan puisi itu.
Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta,
siapakah mereka..
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota..
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa..
Tanpa judul
Perempuan perkasa juga digambarkan di sebuah lukisan tanpa judul karya Danarto (1940-2018). Lukisan dengan media campuran di atas kanvas berukuran 150 cm x 170 cm itu berangka tahun pembuatan 2013. Ada sosok perempuan di hadapan seekor monster yang menyeringai dengan taring dan lidah yang menjulur.
”Lukisan perempuan itu mengingat tokoh komik perempuan yang heroik, Sri Asih. Ia sosok perempuan perkasa dari komik yang pernah ada di Indonesia,” ujar Frans.
Danarto seorang sastrawan yang dikenal menjadi pelopor sastra realisme magis. Ia banyak menuangkannya ke dalam karya sastra berupa cerpen dan naskah drama. Akan tetapi, pendidikan sebuah akademi seni rupa pernah ditempuhnya di Yogyakarta. Danarto kemudian pernah menjadi dosen di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan aktif juga di dunia teater.
”Pada tahun 2013 Danarto datang sendiri ke Bentara Budaya Jakarta dan membawa lukisan ini,” ucap Frans.
Karya lukisan Danarto berikutnya juga ditampilkan di pameran ini. Lukisan itu berjudul ”Buroq” (2007), dengan media campuran di atas kanvas berukuran 100 cm x 150 cm. Lukisan Danarto memang dikenal bergaya ilustratif.
”Dari lukisannya yang tanpa judul, sosok perempuan yang dilukiskan terkesan misterius. Saat ini masih ditelusuri kemungkinan narasi yang dibangun oleh Danarto pada waktu itu,” kata Frans.
Dari 56 lukisan koleksi Bentara Budaya yang dipamerkan, karya tertua dibuat pada 1941, berjudul ”Putri Mangkunegara VII” karya Soebanto. Karya terbaru berjudul ”2019: Ambrosia” karya Harindavati. Rentang waktunya 78 tahun.
Frans Sartono dan Efix Mulyadi menjabarkan catatan kuratorial yang diberi judul Per-empuan: Petarung Kehidupan Penuh Welas Asih. Nukilan puisi ”Perempuan-perempuan Perkasa” karya penyair Hartoyo Andangjaya membayangi proses seleksi koleksi lukisan yang ingin dipamerkan.
Di situ ada kemiripan dengan semangat perjuangan RA Kartini dan disuguhkan menjadi lanskap pergumulan perempuan di Indonesia. Di sejumlah karya tampak jejak juang perempuan di balik tembok keraton hingga perempuan desa dengan sawah-sawahnya. Ada perempuan desa hingga para sosialita di gemerlap kota. Dari penari tayub di pelosok desa hingga penari goyang di panggung hiburan.
Dari para bakul di pasar-pasar hingga para pekerja migran di negeri orang. Jika diperhatikan dari karya koleksi yang ditampilkan, secara umum para pelukis generasi old master mempunyai pandangan ideal tentang perempuan adalah sosok ibu, pengayom, penyayang, dan istri setia.
Disebutkan lukisan ”Istri” karya Soedibio. Di situ digambarkan sosok perempuan sebagai pejuang pembela keluarga, pencari nafkah bagi keluarga atau breadwinner. Seperti ini dijumpai pula pada karya Batara Lubis dan Ipe Ma’aruf.
Generasi setelah para senior berikutnya banyak memotret perempuan dalam berbagai fungsi dan peran dengan segala problematika hidup yang luas dan kompleks. Mereka hidup di tengah merebaknya pemikiran tentang peran ganda, identitas, persamaan hak, dampak industrialisasi, hubungan antarwarga yang makin renggang. Ada kesepian khas masyarakat modern dan lain sebagainya.
Diskriminasi
Menampilkan inspirasi sosok perempuan-perempuan perkasa berguna bagi upaya membendung diskriminasi bagi perempuan yang masih berlangsung sampai sekarang. Ilham Khoiri selaku General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corporate Communication Kompas Gramedia, menuangkan hal itu ke dalam sambutan pameran sekaligus catatan pendamping untuk kuratorial.
”Di banyak tempat, posisi perempuan terdesak, terpinggirkan, atau tersubordinasi di bawah kendali lelaki,” ujar Ilham.
Baca juga: Menyemai Harapan Patung Publik
Tak jarang, perempuan justru didorong untuk hanya bergulat dengan urusan domestik atau rumah tangga. Energi dan waktu perempuan tersedot memenuhi tuntutan domestik, tidak sempat mengembangkan di luar yang lebih besar. Lelaki cenderung memiliki keleluasaan untuk mengembangkan diri dan berperan lebih besar dalam kehidupan.
”Diskriminasi terhadap perempuan terjadi pada hampir semua bidang kehidupan,” ucap Ilham.
Ilham menukil kisah Raden Ajeng Kartini (1879-1904), putri Bupati Jepara Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat. Hingga usia 12 tahun Kartini belajar di Europeesche Lagere School (ELS) atau setingkat sekolah dasar. Ia lantas dipingit dan tinggal di rumah saja.
Kartini mengungkap banyak kegelisahan atas berbagai bentuk diskriminasi yang dialami perempuan pada masanya. Perempuan tidak bisa menempuh pendidikan tinggi, dijodohkan pada lelaki yang tak dikenal, dan tertekan oleh sistem sosial yang patriarkis. ”Kartini kemudian mendorong emansipasi kaum perempuan agar mendapatkan hak-hak dan perlakuan sebagaimana diperoleh kaum lelaki,” kata Ilham.
Perjuangan Kartini tidak mengenal batas akhir. Perempuan-perempuan perkasa terus bermunculan menerjang arus diskriminasi. Perjuangan itu patut dikenang dan dirayakan bersama.