Risiko Kanker Meningkat pada Usia Muda, Deteksi Dini Perlu Lebih Gencar
Kanker pada usia muda kian meningkat karena faktor risiko di masyarakat semakin besar. Deteksi dini harus digencarkan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kasus kanker pada usia muda semakin banyak dilaporkan. Selain karena kesadaran akan deteksi dini yang membaik, faktor risiko di masyarakat juga semakin meningkat. Edukasi dan deteksi dini perlu terus ditingkatkan serta memperluas fasilitas pelayanan kesehatan, khususnya layanan kanker.
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Aru Wisaksono Sudoyo mengatakan, kasus kanker dilaporkan semakin meningkat. Bahkan, angka kanker diperkirakan tidak akan mengalami penurunan sampai 100 tahun ke depan. Besarnya faktor risiko di masyarakat menjadi salah satu penyebabnya.
"Kita tidak bisa menyangkal bahwa faktor risiko kanker dari lingkungan dan gaya hidup semakin besar sehingga risiko terkena kanker menjadi lebih cepat. Itu sebabnya, kasus kanker semakin banyak ditemukan pada usia muda,” katanya di sela-sela perayaan Hari Ulang Tahun Ke-47 Yayasan Kanker Indonesia di Jakarta, Selasa (23/4/2024).
Kasus kanker yang meningkat di usia muda, ujar Aru, salah satunya ditemui pada kasus kanker usus besar. Sebelumnya, kasus kanker usus besar yang ditemukan pada usia 40 tahun ke bawah hanya sekitar 10 persen. Namun, saat ini, kasus kanker pada usia di bawah 40 tahun sudah mencapai 30 persen.
Selain itu, mengutip hasil penelitian yang diterbitkan dalam jurnal akses terbuka BMJ Oncology pada 5 September 2023, kasus kanker pada kelompok usia dewasa muda di bawah 50 tahun meningkat signifikan. Pada 2019, diagnosis kanker baru di kalangan usia di bawah 50 tahun berjumlah 1,82 juta orang atau meningkat 79 persen dibandingkan angka tahun 1990.
Penelitian itu juga menemukan, sebanyak 1,06 juta orang berusia di bawah 50 tahun meninggal karena kanker pada tahun 2019. Jumlah itu meningkat 28 persen dibandingkan angka pada tahun 1990.
Risiko kanker dari lingkungan dan gaya hidup semakin besar sehingga risiko terkena kanker menjadi lebih cepat.
Aru menuturkan, gaya hidup modern yang tidak sehat dinilai menjadi faktor risiko utama yang menyebabkan kasus kanker semakin meningkat di masyarakat, terutama pada kelompok masyarakat usia muda. Masyarakat kini lebih banyak terpapar makanan cepat saji. Selain itu, aktivitas fisik juga semakin rendah. Risiko tersebut semakin diperburuk dengan kebiasaan merokok.
”Jadi, kita tahu bahwa faktor makanan saja itu risiko (kanker) mencapai 35 persen. Belum lagi rokok sebesar 30 persen dan kurang olahraga juga. Jadi, memang dunia kita ini sangat mendukung pertumbuhan kanker,” tuturnya.
Deteksi dini
Menurut Aru, edukasi mengenai risiko kanker perlu diperkuat. Diharapkan, masyarakat bisa lebih sadar akan faktor risiko kanker sehingga perubahan gaya hidup bisa menjadi lebih baik. Selain itu, deteksi dini juga harus ditingkatkan.
Menurut dia, deteksi dini merupakan upaya konkret dalam penanganan kanker serta pencegahan kanker agar tidak semakin memburuk. Deteksi dini harus lebih digencarkan di tengah risiko kanker yang semakin besar di masyarakat.
Pengobatan pada kanker sudah lebih baik dengan kemajuan teknologi. Namun, angka kesembuhan akan lebih tinggi jika kanker bisa ditemukan lebih dini pada stadium awal. Perawatan yang diberikan pada stadium akhir membutuhkan terapi yang lebih rumit dengan pembiayaan yang lebih besar.
Jika tidak ada intervensi yang lebih efektif melalui pencegahan dan deteksi dini, beban kesehatan di masyarakat dalam penanganan kanker akan semakin tinggi. Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 2023 menunjukkan, kanker merupakan penyakit berbiaya katastropik terbesar kedua setelah jantung. Biaya untuk kanker mencapai Rp 5,9 triliun dengan 3,8 juta kasus. Sementara pada jantung, beban biayanya Rp 17,6 triliun untuk sekitar 20 juta kasus.
”Kanker ini biayanya besar karena sebagian besar ditemukan pada stadium lanjut. Jika dibandingkan dengan jantung, biaya kanker lebih besar karena kasusnya juga tidak sebesar jantung. Selain itu, kanker yang ditemukan pada stadium akhir memiliki tingkat kesembuhan yang kecil dengan biaya yang mahal. Karena itu, deteksi dini sangat penting,” tuturnya.
Kelompok menengah
Dalam kesempatan yang sama, Ketua YKI Cabang DKI Jakarta sekaligus anggota staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo, Nadia Ayu Mulansari, mengatakan, deteksi dini kanker perlu difokuskan pula pada kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah. Sebab, kesadaran mengenai risiko kanker sudah baik pada kelompok tersebut, tetapi sering kali tidak diiringi dengan kesadaran untuk deteksi dini.
”Kelompok middle (ekonomi menengah) ini biasanya tidak terbiasa ke puskesmas, sementara untuk datang ke rumah sakit juga jarang kecuali ada keluhan. Mereka (kelompok ekonomi menengah) juga sudah sibuk dari Senin sampai Sabtu, sementara juga harus mengurus rumah tangga, jadi tidak sempat atau tidak sadar untuk deteksi dini,” ujarnya.
Hal tersebut, menurut Nadia, membuat layanan deteksi kanker yang sekalipun sudah tersedia di puskesmas masih kurang menjangkau kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah. Pelayanan deteksi dini pun perlu diperluas dengan mendekatkan fasilitas deteksi dini di perkantoran atau instansi pemerintah.
”Kami dari YKI DKI sudah mencoba menyediakan layanan deteksi dini sekaligus edukasi soal kanker di perkantoran bagi karyawan dan anggota keluarganya. Ternyata, peminatnya cukup banyak. Jadi, mereka sebenarnya ada kesadaran, tetapi kurang mau meluangkan waktu untuk melakukan pemeriksaan,” kata Nadia.