Revitalisasi Museum Tidak Sebatas Merenovasi Bangunan
Revitalisasi museum diperlukan untuk mengoptimalkan fungsinya, tetapi tidak mengabaikan pelestariannya.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Revitalisasi museum tidak sebatas merenovasi bangunan agar lebih estetik. Revitalisasi mencakup pembenahan berbagai aspek untuk mengoptimalkan fungsi museum, mulai dari melestarikan warisan budaya, mengedukasi masyarakat, hingga sebagai sarana rekreasi.
Sejumlah bangunan Museum Benteng Vredeburg di Yogyakarta direnovasi dalam proyek revitalisasi sejak awal Maret 2024. Revitalisasi yang menelan anggaran sekitar Rp 50 miliar ini ditargetkan rampung pada Juni mendatang.
Selain merenovasi bangunan, sejumlah layanan pengunjung, salah satunya program edukasi, juga ditingkatkan. Hal ini merupakan bagian dari transformasi museum yang dikelola Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya atau Indonesian Heritage Agency (BLU MCB/IHA).
Penanggung Jawab Unit Museum Benteng Vredeburg M Rosyid Ridlo mengatakan, museum tersebut membuat sejumlah program layanan baru, seperti pemetaan video (video mapping), relief digital, dan air mancur menari. Penambahan layanan ini diharapkan mengoptimalkan fungsi museum sebagai sarana edukasi dan rekreasi.
”Jadi, tidak hanya merenovasi gedung atau bangunan, tetapi juga mengembangkan program-program baru. Tujuan revitalisasi adalah mengoptimalkan fungsi museum,” ujarnya saat memandu kunjungan media ke Museum Benteng Vredeburg, Sabtu (27/4/2024).
Museum Benteng Vredeburg menempati lahan seluas sekitar 46.000 meter persegi. Lokasinya strategis karena terletak di dekat titik nol kilometer Yogyakarta dan Jalan Malioboro yang menjadi tujuan wisata utama.
Museum ini menyimpan lebih dari 7.000 benda bersejarah. Bangunannya juga merupakan cagar budaya yang pertama kali dibangun pada 1760. Benteng ini semula diberi nama Rustenburg atau benteng peristirahatan. Sementara Vredeburg berarti benteng perdamaian.
Sejarah perjalanan benteng tersebut nantinya dapat disaksikan pengunjung lewat pemetaan video berdurasi 8-10 menit. Layanan ini rencananya diluncurkan setelah revitalisasi selesai pada Juni mendatang.
”Video mapping akan ditampilkan di tembok sisi barat dengan panjang sekitar 90 meter. Ini menjadi bagian dari program edukasi sekaligus meningkatkan interaksi dengan pengunjung,” ucapnya.
Dongkrak pengunjung
Dengan skema BLU, pengelolaan museum menjadi lebih leluasa, termasuk untuk bekerja sama dengan berbagai pihak. Hal ini membuat sumber pemasukan menjadi lebih banyak, tidak hanya mengandalkan tiket masuk.
Saat ini tarif tiket masuk ke museum sebesar Rp 2.000 untuk anak-anak dan Rp 3.000 untuk dewasa. Jika pengunjung rombongan 20 orang atau lebih, harga tiket menjadi Rp 1.000 untuk anak-anak dan Rp 2.000 untuk dewasa. Adapun harga tiket untuk wisatawan mancanegara sebesar Rp 10.000.
Rosyid menuturkan, pengunjung Museum Benteng Vredeburg pada 2023 mencapai 512.000 orang. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan sekitar 400.000 pengunjung.
Sejarah perjalanan benteng tersebut nantinya dapat disaksikan pengunjung lewat pemetaan video berdurasi 8-10 menit. Layanan ini direncanakan diluncurkan setelah revitalisasi selesai pada Juni mendatang.
Revitalisasi museum dengan penambahan berbagai layanan diharapkan dapat mendongkrak jumlah pengunjung. ”Di tahun ini, karena Maret-Mei museum ditutup, pengunjung ditargetkan 450.000 orang. Untuk tahun depan, kami optimistis bisa mencapai 700.000 pengunjung,” katanya.
Pengelolaan Museum Benteng Vredeburg juga akan mengoptimalkan fungsinya sebagai ruang publik komunal. Untuk mengakomodasi kebutuhan publik, museum akan menyediakan ruang anak, toko merchandise, tempat kerja bersama atau coworking space, dan kafe.
Pelestarian
Rosyid menambahkan, revitalisasi museum tetap mengedepankan aspek pelestarian. Oleh karena itu, prosesnya juga melibatkan berbagai pihak, termasuk arkeolog untuk memastikan perlindungan cagar budaya tidak diabaikan.
Konsultan pelestarian cagar budaya, Ari Setyastuti, mengatakan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya harus selaras dengan pelestariannya. Renovasi bangunan bukan didasarkan pada aspek keindahan semata.
”Jika ada bagian cagar budaya yang rusak, tidak serta-merta dicopot untuk diganti dengan yang baru. Justru harus dikonservasi dengan berbagai metode. Namun, jika kerusakannya sudah parah dan berpotensi membahayakan pengunjung, bisa dicari alternatif lain,” ujarnya.
Transformasi museum dan cagar budaya menerapkan konsep reimajinasi yang meliputi aspek reprogramming dengan fokus pada pembaruan kuratorial dan koleksi, redesigning yang bertujuan merenovasi bangunan dan ruang agar aman dan nyaman, serta reinvigorating atau berfokus pada penguatan kelembagaan profesionalisme dan peningkatan kompetensi. Ketiga hal itu memiliki program strategi masing-masing.
”Kami berkomitmen untuk mengubah persepsi dan fungsi tradisional museum, menjadikannya ruang komunal yang dinamis guna mendorong interaksi antara pengunjung dan museum itu sendiri,” ujar Pelaksana Tugas Kepala MCB Ahmad Mahendra.
Selain Museum Benteng Vredeburg, BLU MCB yang berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga mengelola 17 museum lainnya dan 34 cagar budaya. Beberapa di antaranya adalah Museum Nasional, Galeri Nasional Indonesia, Museum Batik Indonesia, Museum Prasejarah Semedo Tegal, dan Museum Prasejarah Sangiran.
Ada juga Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi, Candi Borobudur, Candi Prambanan, Situs Gunung Padang, Situs Leang Timpuseng, dan Benteng Duurstede. Lokasinya tersebar di sejumlah wilayah, seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Maluku.