Ketika Guru Diajak Menjadi Agen Toleransi
Antusiasme guru untuk memperkuat penghargaan pada keberagaman terus dibangun. Ruang perjumpaan dimulai dari guru.
Indonesia dikenal sebagai negara plural dan beragam, terutama dari agama dan budaya. Namun, penerimaan pada keberagaman tidak otomatis menjadi keyakinan dan perilaku warga dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, membuka ruang perjumpaan secara sadar pada keberagaman terus diupayakan.
Membuka ruang perjumpaan pada penganut agama dan budaya berbeda mulai dilakukan di dunia pendidikan melalui dialog dengan orang lain yang berbeda. Perjumpaan ini diyakini dapat meretas prasangka dan steorotipe yang selama ini didapat dari anggapan orang lain di kelompok sama,
Untuk itu, 35 guru dari sejumlah daerah di Jawa Timur pada 3-5 Mei 2024 berkumpul di sebuah hotel di Surabaya.
Para pengajar tersebut berasal dari sekolah umum, sekolah agama Kristen, dan madrasah, jenjang pendidikan anak usia dini, sekolah dasar, sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan (SMA/SMK).
Mereka sudah mengikuti pelatihan daring literasi keagamaan lintas budaya (LKLB) yang digagas Institut Leimena. Lalu mereka mendapat penguatan dalam Upgrading Workshop LKLB ”Pengembangan Program dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Memperkokoh Kebebasan Beragama dan Supremasi Hukum”.
Baca juga: Ruang Perjumpaan yang Meluruhkan Prasangka
Ruang perjumpaan bagi guru berbeda agama, budaya, dan mata pelajaran ini jauh dari prasangka. Para guru mengemukakan pengalaman dan pandangan tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan dan supremasi hukum, termasuk cara bersikap pada orang yang tak percaya Tuhan atau atheis.
Tidak hanya belajar di ruang hotel, para guru juga diajak mengunjungi rumah ibadah. Ketika berkunjung ke Gereja Kristen Abdiel Gloria, banyak guru Muslim yang pertama kali masuk ke dalam gereja.
Seorang perempuan guru yang berhijab terlihat tanpa ragu melangkahkan kaki ke gereja, termasuk masuk ke ruang ibadah dan berfoto dengan latar belakang salib yang besar.
Berjumpa dan berdialog
Para guru dibagi dalam kelompok kecil untuk bisa berdialog dengan pendeta. Mereka boleh bertanya apa pun, termasuk hal sensitif. Dalam LKLB, bertanya langsung kepada tokoh agama berbeda dengan keyakinan membuka ruang perjumpaan untuk memahami agama orang lain dari penganutnya.
Hal ini bertujuan untuk membangun kompetensi komparatif atau membandingkan sehingga dapat memahami dan menghargai keyakinan agama lainnya.
Guru mata pelajaran fikih di Madrasah Tsanawiyah Negeri Surabaya Khusnul khotimah bertanya bagaimana orang Kristen mengajari anak kecil memahami agama. Seperti di Islam, sejak kecil anak diajar mengaji.
Pendeta Sien Liong yang menemani salah satu kelompok guru dengan hangat menjelaskan di gereja ada ibadah untuk anak kecil yang dinamakan Sekolah Minggu. Lalu, ada ibadah untuk anak remaja, pemuda, dan orang dewasa.
Diungkapkan juga bahwa orang Kristen berdoa tidak mengenal waktu, kapan saja bisa berdoa. Sementara di Islam, ada shalat lima waktu yang sudah ditetapkan waktunya.
Baca juga: Kesadaran Guru pada Keberagaman Diperkuat
Diskusi pun berlanjut, termasuk membahas doktrin atau keyakinan agama Kristen. Guru Pendidikan Agama Islam di SMA Muhammadiyah 1, Surabaya, Andika Ikhwan Syaifullah tanpa ragu menanyakan apa hubungannya Yesus Kristus yang disalib dengan penebusan dosa manusia bagi umat Kristen.
Sebaliknya, ketika berkunjung ke Masjid Jenderal Sudirman, para guru Kristen tanpa ragu melangkahkan kaki ke ruang aula dan tempat ibadah. Guru perempuan Kristen kemudian menggunakan hijab untuk menghormati aturan bagi perempuan saat berada di masjid.
Diskusi digelar didampingi tokoh agama Islam. Deprianus Gulo, guru Pendidikan Agama Kristen di SMA Kristen Gloria, merasa jawaban membantunya memahami Islam lebih baik. Berbagai hal yang membuatnya salah paham terjawab saat berdialog langsung dengan pemuka agama Islam.
”Saya tanya tentang rukun Islam, salah satunya ibadah haji. Bagaimana dengan orang miskin yang untuk hidup sehari-hari saja sulit, tapi di salah satu rukun Islam ada ibadah haji, yang biayanya tidak murah. Saya mendapat penjelasan langsung bahwa bagi yang tidak mampu, tidak wajib untuk pergi haji,” tuturnya.
Guru Kristen lainnya ada yang menanyakan mengapa umat Islam saat ini memperdebatkan apakah boleh atau tidak mengucapkan selamat hari Natal untuk umat Kristen. Ada juga yang menanyakan mengapa ada umat Islam yang tak mau bersalaman tangan dengan orang berbeda jenis kelamin.
Padahal, dari pengalamannya dulu pada masa kecil, teman-teman Muslimnya biasa saja mengucapkan selamat Natal atau bersalaman tangan dengan teman muslim laki-laki.
Abdul Rozak, Wakil Ketua Pimpinan Muhammadiyah Cabang Mubeng, menjawab ketentuan itu ada dalam ajaran Islam. Namun, untuk membangun hubungan sosial yang damai dengan orang lain di sekitarnya yang berbeda, umat Islam juga mengucapkan selamat hari raya agama lain.
Membawa ke ruang kelas
Seusai mengikuti kegiatan yang mengusung semangat LKLB, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta supremasi hukum, para guru diajak untuk mengimplementasikannya di ruang kelas.
Tidak hanya guru agama yang dapat mengajarkan literasi keagamaan dan penghormatan pada keberagaman. Para guru juga dapat mengajarkan hal tersebut pada mata pelajaran lainnya.
Ruang aula hotel yang jadi tempat belajar dan refleksi guru pada hari terakhir disulap menjadi sebuah ruang kelas. Kegiatan microteaching menjadi latihan guru dari mata pelajaran berbeda untuk menginspirasi pembelajaran di ruang kelas sesuai Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dirancang.
Guru Ilmu Pengetahun Sosial (IPS) Terpadu di SMP Kristen Gloria, Kristiani Gintarti, mengajarkan materi pemberdayaan masyarakat, terutama untuk pengelolaan keuangan. Para siswa diajak untuk berpendapat tentang pengelolaan keuangan di berbagai agama untuk memberdayakan warga.
Guru lain yang diminta berperan menjadi siswa maju ke depan kelas, menempelkan secarik kertas di papan tulis tentang pendapat mereka. Muncullah istilah zakat, wakaf, hingga infak dari sudut pandang agama Islam. Dari sudut pandang agama Kristen muncul istilah perpuluhan.
Guru Pendidikan Agama Islam di SMA Muhammadiyah 1, Gresik, Eka Rohmatun Naziah, memanfaatkan tema musyawarah untuk mengajak siswa memahami perbedaan dan menerima keberagamaan, hingga berkolaborasi. Kelas dimulai dengan menampilkan sebuah gambar ada bangunan masjid, domba, dan orang berkelahi.
”Di sebuah kampung yang mayoritas Islam Muhammadiyah sudah ada masjid. Lalu, ada kelompok Nahdlatul Ulama sebagai pendatang yang juga ingin membangun masjid di kampung tersebut,” kata Eka.
Kemudian kelompok mayoritas tidak dapat menerima sehingga terjadi perdebatan dan perkelahian. ”Bagaimana pendapat kalian untuk mengatasi masalah ini? Kelompok dibagi menjadi yang pro dan kontra,” tuturnya.
Tuhan menciptakan manusia itu berbeda dan semua itu baik.
Di Kelompok Bermain-Taman Kanak-kanak, Prisca Tatuningtyas, Guru Sekolah Kristen Gloria Surabaya, memakai materi belajar Diriku, keluargaku untuk mengajarkan keberagaman. Kelas bilingual dimulai dengan menyetel Youtube menampilkan video nyanyian Sekolah Minggu berjudul ”Mentega dan Roti”.
Para guru yang berperan sebagai siswa diminta berdiri dan menyanyi bersama sambil mengikuti gerakan yang dicontohkan guru di depan kelas. ”Kau temanku, ku temanmu, kita selalu bersama, seperti mentega dengan roti... seperti celana dengan baju…” demikian para siswa menyanyi dengan gembira.
Aktivitas kelas pun dilakukan beragam, mulai dari berdiskusi, meminta pendapat siswa, hingga menggambar. Ketika ada teman yang menyebut teman lain si gendut. Prisca dengan lembut mengingatkan siswa supaya tidak mengolok teman-temannya karena berbeda fisik.
”Tuhan menciptakan manusia itu berbeda dan semua itu baik,” pesan Prisca menutup kelas.
Koordinator Program Alumni Institut Leimena Daniel Adipranata mengatakan, pelatihan LKLB dilakukan sejak tahun 2021 dan diikuti lebih dari 8.000 guru dari sejumlah daerah. Di beberapa kota, salah satunya Surabaya, dilakukan workshop penguatan, yang sudah memasuki angkatan ke-13.
”Antusiasme guru untuk belajar luar biasa. Mereka tidak diinstruksikan, tapi ikut sendiri dari informasi dari yayasan atau sekolah. Program ini tak hanya teori, tapi ada dialog serta pendampingan dari fasilitator pada guru agar para guru mampu membuat RPP yang bisa diaplikasikan pada berbagai mata pelajaran,” ujarnya.
Para guru berperan penting memperkenalkan keberagaman kepada siswa. Pengalaman berinteraksi dengan orang berbeda agama dengan nilai-nilai yang diajarkan di LKLB diharapkan membuat guru mampu mengajarkan keberagaman pada mata pelajaran apa pun.
Sementara itu, Direktur Institut Leimena Matius Ho memaparkan, melalui LKLB, para guru diajak memahami literasi keagamaan yang inklusif, yang tidak hanya mendalami agama sendiri, tapi terbuka juga untuk memahami agama lain dari pemeluknya. Dengan demikian, diharapkan terbangun toleransi dan kemampuan berkolaborasi
Literasi keagamaan tak bicara satu agama untuk membangun kepercayaan agar prasangka pada kelompok agama lain bisa didialogkan dengan tokoh agama berbeda. ”Dimulai dari Islam dan Kristen, nanti terus diperluas dengan kelompok agama lain,” ungkapnya.
Matius menambahkan, LKLB diimplementasikan dengan memperkuat kompetensi pribadi, yakni memahami agama sendiri, khususnya relasi dengan sesama manusia yang berbeda.
Ada juga kompetensi komparatif untuk memahami agama lain dari penganutnya sendiri, serta kompetensi kolaboratif untuk memahami bagaimana bisa bekerja sama atau berkolaborasi dengan saling menghargai perbedaan.
Penguatan LKLB di kalangan guru ini juga didukung Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Direktur Kerja Sama HAM Kementerian Hukum dan HAM Harniati menyambut baik program bagi guru lewat LKLB.
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam perspektif hukum dan HAM bagi pendidik. Hak kebebasan beragama dijamin konstitusi sehingga menjadi tugas negara melindungi hak kebebasan setiap orang dalam beragama dan beribadat
”Pemahaman masyarakat terhadap pentingnya relasi antara supremasi hukum dan kebebasan beragama sebagaimana dilindungi konstitusi adalah modal penting bagi kemajuan bangsa Indonesia,” tutur Harniati.