Soal Pengendalian Antibiotik, Pemerintah Melemahkan Kebijakannya Sendiri
Perubahan aturan akreditasi menggugurkan kewajiban rumah sakit menjalankan program pengendalian antibiotik.
JAKARTA, KOMPAS — Pengendalian antibiotik di rumah sakit yang semula bersifat mandatory atau wajib kini terabaikan. Situasi ini akibat dari perubahan aturan oleh pemerintah terkait akreditasi rumah sakit. Sejumlah rumah sakit yang memiliki akreditasi bagus kenyataannya belum menjalankan program pengendalian resistensi antimikroba atau PPRA secara serius.
Di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, Tim Investigasi Harian Kompas melihat sertifikat akreditasi RSUD Depati Hamzah terpasang di dinding bangunan, Senin (26/2/2024). Sertifikat itu diberi keterangan nilai paripurna yang ditandai simbol lima bintang dan berlaku mulai 30 November 2022 sampai 29 November 2026.
Baca juga: Banyak Dokter Masih Serampangan Meresepkan Antibiotik
Sementara di sebuah tembok bangunan rumah sakit, sisa kegiatan akreditasi masih terlihat dari sebuah spanduk berisi kumpulan berbagai tanda tangan. Judul spanduknya, ”Komitmen Bersama Akreditasi RSUD Depati Hamzah 2022”.
Saat proses akreditasi, di rumah sakit terdapat ruangan untuk Komite Program Pengendalian Resistensi Antimikroba. Komite PPRA ini sebelumnya tak punya kantor. Namun, tiba-tiba kantornya muncul jelang akreditasi.
Saat akreditasi kami ada, nih, ruangan PPRA. Muncul tiba-tiba. Setelah renovasi, ada pindah-pindah ruangan terus ruangan PPRA itu dirobohkan dan enggak ada gantinya sampai sekarang.
Di rumah sakit ini, PPRA sebagai strategi untuk mengontrol dan mengendalikan antibiotik belum optimal. Ini diakui Ratna. ”Sekarang belum ada lagi kegiatan PPRA, terus terang saja,” katanya.
Di Boyolali, Jawa Tengah, Rumah Sakit Umi Barokah juga menyandang predikat akreditasi paripurna dari Komite Akreditasi Rumah Sakit. Dalam laporan kegiatan PPRA RS Umi Barokah tahun 2023 yang diterima Kompas, tercatat bahwa pemantauan kepatuhan untuk pelaksanaan PPRA belum berjalan.
Baca juga: Resep Antibiotik di Rumah Sakit Tanpa Pengawasan
Dalam laporan yang sama, dilampirkan sejumlah kendala, antara lain, belum adanya dukungan anggaran yang nyata dari manajemen rumah sakit. Disebutkan pula belum ada sarana yang mendukung pelaksanaan analisis pola kualitatif, pola mikroba, dan pola resistensi.
Dukungan anggaran kita sudah minta, tetapi memang belum karena masih antre.
RSUD Bung Karno di Surakarta, Jawa Tengah, pun belum menjalankan PPRA yang ideal kendati menyandang akreditasi paripurna. Dalam salah satu laporan periode Agustus-Oktober 2022 yang diterima Kompas, disebutkan bahwa tim komite pengendalian belum memiliki ruangan khusus untuk melaksanakan fungsinya. Hal itu dipandang belum perlu dianggarkan khusus karena pekerjaan tim PPRA dapat dilaksanakan di ruangan masing-masing.
Selain itu, program forum kajian penyakit infeksi terintegrasi pun tampak absen selama periode Agustus-Oktober 2022 di RSUD Bung Karno. Padahal, salah satu tugas tim PPRA adalah menyelenggarakan forum kajian kasus pengelolaan penyakit infeksi seperti diamanatkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 8 Tahun 2015.
Baca juga: Mempertanyakan Kebiasaan Dokter Meresepkan Antibiotik
DY, seorang apoteker di RSUD Bung Karno, menuturkan, ada kendala kekurangan sumber daya manusia untuk melaksanakan PPRA. Kesibukan terkait pengendalian antibiotik hanya baru berjalan saat menjelang akreditasi. ”SDM ada, SK ada, orang-orangnya ada, tetapi semua prioritas ke layanan harian. Mungkin juga budaya kita. Biasanya baru sibuk ketika akreditasi. Kecenderungan itu ada,” ucap DY.
Program nasional
Akreditasi menjadi penting karena sebagian besar rumah sakit membutuhkan itu untuk kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Ada jenjang mulai dari akreditasi tingkat dasar, tingkat madya, tingkat utama, hingga tingkat paripurna. Rumah sakit berlomba agar bisa mengejar akreditasi paripurna.
Permenkes No 8/2015 mengamanatkan setiap rumah sakit harus menjalani Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA). Meski begitu, dalam akreditasi rumah sakit saat ini, PPRA tidak lagi menjadi aspek wajib karena perubahan kebijakan pemerintah terkait program nasional (prognas).
Aturan terbaru tentang akreditasi rumah sakit itu tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1128/2022 tentang Standar Akreditasi Rumah Sakit. Disebutkan, penyelenggaraan PPRA tidak lagi masuk ke dalam Kelompok Program Nasional. Keberadaan PPRA menjadi ”tenggelam” dimasukkan ke dalam Kelompok Pelayanan Berfokus, Subkelompok Pelayanan Kefarmasian dan Penggunaan Obat (PKPO).
Disebutkan, penyelenggaraan PPRA tidak lagi masuk ke dalam Kelompok Program Nasional.
Ini berbeda dengan aturan lama yang mengacu ke Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1.1 Tahun 2020 dari Komite Akreditasi Rumah Sakit. Dalam aturan lama itu, PPRA dimasukkan ke dalam prognas. Masuknya PPRA ke dalam prognas menjadikannya unsur wajib dan berpengaruh penting pada akreditasi.
Baca juga: Sakit Sedikit, Jangan Lari ke Antibiotik
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kemenkes Anis Karuniawati menilai, hilangnya PPRA dari unsur prognas berpengaruh signifikan dalam sektor pengawasan. ”Ya (berpengaruh). Manajemen rumah sakit juga pasti berpikir untuk apa mengerjakan hal itu apabila tidak diwajibkan,” tuturnya.
Pelaporan
Menariknya, RSUD Bung Karno yang belum menjalankan PPRA secara ideal termasuk dalam daftar 152 rumah sakit yang rutin melaporkan kegiatan PPRA ke Kemenkes. Sejauh ini, Kemenkes hanya mendata 152 rumah sakit dari sekitar 3.000 rumah sakit di Indonesia yang harus melaporkan pelaksanaan PPRA selama periode 2020-2023.
”152 rumah sakit tersebut melaporkan PPRA sebagai bagian dari tugas komite pengendalian di rumah sakit. Setelah dicek, banyak rumah sakit tipe A yang belum menyampaikan laporan," ucap Ketua Tim Kerja Mutu Pelayanan Kesehatan Fasyankes Lainnya Kementerian Kesehatan AW Praptiwi.
Baca juga: Rumah Sakit Menghemat Biaya dari Pengendalian Antibiotik
Di sisi lain, Kompas mendatangi sejumlah rumah sakit yang melaksanakan PPRA dengan optimal, tetapi malah tidak tercantum dalam daftar Kemenkes berisi 152 rumah sakit yang melaporkan PPRA. Dua rumah sakit itu antara lain Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus dan Rumah Sakit Telogorejo Semarang di Jawa Tengah. Keduanya adalah rumah sakit yang justru patuh melaksanakan program PPRA.
Pelaksanaan PPRA di Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus berjalan sejak 2018 dengan sistem pelaporan yang terdigitalisasi untuk mengaudit peresepan antibiotik rawat jalan. Tim komite PPRA rumah sakit itu memiliki sekretaris, pelaksana harian, koordinator pelatihan, koordinator surveilans, hingga koordinator untuk tim PGA.
Pada kedatangan Kompas, Senin (12/2/2024), Komite PPRA RS Mardi Rahayu memiliki ruangan yang didedikasikan khusus untuk audit penggunaan antibiotik di rumah sakit. Setiap permintaan antibiotik dari dokter masuk secara digital dan dievaluasi oleh anggota staf auditor. Data antibiotik apa saja yang telah digunakan bisa dimonitor dan dilihat secara periodik. RS ini mengadopsi sistem regulasi antimikroba sistem prospektif secara elektronik atau E-Raspro untuk mengaudit antibiotik. Hal tersebut memudahkan pemantauan antibiotik, terutama di rawat inap.
Baca juga: Bakteri-Kebal Perenggut Nyawa Kita
Direktur Utama RS Mardi Rahayu Pudjianto mengakui, pelaksanaan PPRA itu semula untuk mengejar akreditasi rumah sakit. Komite PPRA mendapat dukungan penuh secara anggaran dan operasional dari pihak manajemen. ”Sejak komite masuk dalam struktur organisasi rumah sakit, penganggaran terhadap rencana kerja telah otomatis mendapat dukungan dari manajemen,” ujarnya.
Ketua Tim Komite PPRA RS Mardi Rahayu Henry memandang, pada akhirnya program itu mendukung prinsip perlindungan dan keselamatan pasien (patient safety). ”Kalau seandainya pemberian antibiotik tidak bijak, tidak tepat, apa pasien bisa sembuh? Pasti tidak. Karena itu, kami menilai ini baik dan kami teruskan,” tuturnya.
Baca juga: Menkes: Pekerjaan Rumah Kita Masih Banyak
Kompas juga menemukan pelaksanaan PPRA yang baik di RS Telogorejo Semarang, Selasa (13/2/2024). Komite PPRA setempat yang berjalan sejak 2016 itu memiliki ruang kerja bersama komite pencegahan dan pengendalian infeksi rumah sakit. Dari salah satu sisi dinding ruangan, terpampang alur kerja evaluasi penggunaan antibiotik di rumah sakit.
Tim komite PPRA rutin melaporkan penggunaan antibiotik periode bulanan dan tahunan. Tim juga tampak mengaudit hasil peta kuman atau antibiogram dari laboratorium mikrobiologi klinik secara periodik. Hal itu berguna sebagai dasar penyusunan dan pembaruan pedoman penggunaan antibiotik (PPAB) empirik di rumah sakit.
Direktur Utama RS Telogorejo Alice Sutedjo Lisa menuturkan, berjalannya PPRA di rumah sakit itu tidak lepas dari kemauan manajemen yang ingin mengejar akreditasi tertinggi. Upaya mengejar pelaksanaan PPRA ditempuh meski awalnya tidak mudah. Sebab, penolakan dari dokter yang belum sadar tentang resistensi antibiotik saat itu masih tinggi.
Dukungan kami tak kurang-kurang. Direktur terjun sendiri, kita paham auditnya bagaimana. Mengupayakan hasil ini bisa sampai ke dokter.
Laporan rutin
Baik RS Mardi Rahayu maupun RS Telogorejo mengirimkan laporan rutin pelaksanaan PPRA setiap tahun lewat alamat surel resmi ke Kemenkes. Mereka menyampaikan kritik bahwa Kemenkes tidak memberikan umpan balik terhadap laporan yang telah diupayakan oleh komite di rumah sakit.
Ini beban laporan satu tahun, kami kirim setiap tahun awal bulan. Setelah kita kirim tidak ada respons. Kami tidak tahu apa yang kami kirim itu benar atau tidak.
Terkait itu, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono mengakui, elemen PPRA dan PGA saat ini bukan sebagai syarat mutlak akreditasi rumah sakit. Akibatnya, ada rumah sakit yang sudah terakreditasi paripurna, tetapi PPRA di rumah sakit itu belum berjalan.
”Ke depan akan kita perbaiki sistemnya. Bahwa akreditasi rumah sakit itu yang di dalamnya ada PPRA menjadi akreditasi mutlak yang harus ada di rumah sakit,” ujarnya menutup wawancara.