Etika Pejabat Publik di Era Media Sosial
Ironis, tidak sedikit pejabat negara melanggar peraturan dan etika dengan perbuatan penyalahgunaan wewenang. Pelanggaran etika juga dilakukan keluarga terdekat. Pengguna medsos bisa berperan sebagai pengawas etika.
Beberapa hari terakhir ini kita disuguhi berita mengenai perilaku anak salah satu pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang membuat anak petinggi Anshor mengalami koma sampai saat ini.
Dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) disebutkan harta kekayaan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) itu mencapai Rp 56 miliar. Tak sampai di situ. Kegemaran istri pejabat itu mengoleksi tas mewah ratusan juta rupiah juga disoroti.
Hanya berselang beberapa hari, melalui media sosial kita juga disuguhi informasi perilaku Dirjen Pajak dan Kepala Direktorat Bea Cukai (DBC) Yogyakarta yang gemar mengoleksi motor gede Harley Davidson dan kendaraan mewah lain. Ironisnya terjadi pada pejabat tinggi DJP dan DBC Kementerian Keuangan yang notabene sudah melaksanakan reformasi birokrasi dan renumerasi semenjak tahun 2015.
Persoalan etika pejabat publik bukan hal yang baru muncul, melainkan sudah menjadi masalah krusial, dan terjadi baik pada pejabat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang merupakan penyelenggara negara.
Baca juga : Eko Darmanto Klarifikasi Harta Kekayaan, Penelusuran Utang Perlu Perhatian KPK
Baca juga : Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Bergulir
Dari sisi pengertian, etika merupakan ilmu tentang baik dan buruknya perilaku, hak dan kewajiban moral, sekumpulan asa atau nilai-nilai yang berkaitan dengan akhlak, nilai mengenai benar atau salahnya perbuatan atau perilaku yang dianut masyarakat.
Dari segi etimologi, etika berasal dari bahasa yunani, ethos, yang berarti ’watak kesusilaan’ atau ’adat’. Etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada. Jadi, etika ini salah satu tolok ukur dalam menilai tindakan yang berhubungan dengan moralitas, seperti korupsi, susila, dan penyimpangan lain.
Indonesia sendiri, sejak berdirinya negara ini sebagai negara merdeka, sudah memiliki falsafah dan dasar negara yang terdapat dalam Pancasila dan UUD NRI 1945.
Keduanya mengatur pengelolaan negara, termasuk perilaku aparatur negara, boleh atau tidaknya perilaku dalam konteks nilai dan asas bernegara. Pancasila dan UUD NRI 1945 tidak hanya mengandung norma hukum, tetapi juga norma etika, tidak sekadar menjadi panduan hukum, tetapi juga menjadi panduan etika.
Begitu pula dalam konteks ajaran agama. Dalam Islam, pemakaian istilah etika disamakan dengan akhlak. Keduanya sama-sama membahas mengenai baik atau buruknya tingkah laku manusia.
Sisi perbedaannya adalah etika menentukan baik buruknya manusia, dengan tolok ukur akal pikiran. Sementara akhlak menentukannya dengan tolok ukur ajaran agama (Badroen, 2006). Tapi, keduanya pada dasarnya memiliki kesamaan yang bersifat universal, saling memperkuat satu dengan yang lain.
Bahkan, peraturan terkait etika penyelenggaraan negara sendiri sudah sangat lengkap, diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dimulai dari UUD NRI 1945; Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; lalu UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; dan UU No 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian; UU No 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Ironisnya, ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah dibangun sedemikian rupa, memuat etika pejabat negara, cenderung dilanggar oleh pejabat itu sendiri dengan perbuatan melanggar hukum, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semuanya bermuara pada penyalahgunaan wewenang hingga merugikan keuangan negara.
Pelanggaran etika itu tak hanya dilakukan oleh pejabat itu sendiri, tetapi juga menular ke keluarga terdekat, terutama istri dan anaknya.
Pelanggaran etika itu tak hanya dilakukan oleh pejabat itu sendiri, tetapi juga menular ke keluarga terdekat, terutama istri dan anaknya. Seharusnya ketika seseorang menjadi pejabat publik, ruang publiknya semakin membesar, tetapi sebaliknya ruang privatnya semakin mengecil (Iman, 2022).
Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemimpin dalam menegakkan etika publik dan hukum bagi pejabat publik ke depan. Bagaimana mungkin kita berharap untuk menegakkan hukum jika etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tak berfungsi sama sekali. Agama semarak di mana-mana, tapi akhlak, adab, dan etika tak jadi prioritas dalam proses terbentuknya kualitas dan integritas perilaku warga bangsa (Asshiddiqie, 2018).
Dengan kata lain, etika seharusnya mengajarkan pada manusia dan menekankan setiap individu bagaimana mengikuti dan mengambil ajaran moral atau bagaimana seseorang bisa mengambil sikap dan memastikan tindakan apa pun yang ditempuh dengan senantiasa bersandarkan pada nilai-nilai moral (Chakim, 2014).
Media sosial sebagai pengawas etika publik
Keberadaan media sosial yang merujuk pada teknologi digital memiliki potensi untuk membuat semua orang saling terhubung dan melakukan interaksi, produksi, dan berbagi pesan satu dengan yang lain (BK Lewis, 2010).
Pengguna medsos ternyata juga efektif dalam memainkan peran sebagai pengawas etika publik bagi pejabat negara dan keluarganya yang melanggar etika. Lebih jauh, pengguna medsos, seperti Twitter, Facebook, dan Instagram, akan menginvestigasi lebih jauh terkait dengan kebiasaan yang dilakukan keluarga pejabat tersebut. Mulai dari rumah yang ditempati, hobi yang sering dilakukan, hingga koleksi barang-barang mewah yang dimiliki keluarga.
Rasanya kita bisa berharap banyak terhadap pengawasan yang dilakukan masyarakat melalui medsos terhadap etika publik pejabat penyelenggara negara ketimbang inspektorat yang dimiliki lembaga masing-masing.
Banyak kasus yang akhirnya terbongkar ketika informasi yang disembunyikan tersebar luas melalui medsos sehingga penegak hukum pada akhirnya mengusut kasus tersebut hingga tuntas, walaupun itu melibatkan pejabat di lingkungan penegak hukum itu sendiri.
Pengguna medsos ternyata juga efektif dalam memainkan peran sebagai pengawas etika publik bagi pejabat negara dan keluarganya yang melanggar etika.
Namun, di sisi lain, kita juga mesti berhati-hati dalam mendapatkan informasi yang bersumber dari medsos, perlu dilakukan cek silang kebenarannya. Kemampuan literasi masyarakat juga perlu ditingkatkan, untuk meningkatkan kualitas dan akses informasi yang diperoleh dari media sosial. Maka, dengan sendirinya masyarakat akan menyaring informasi yang akan digunakan dan disebarluaskan.
Jebakan penyalahgunaan medsos akhirnya menyebabkan banyak warga tersandung kasus hukum.
Kita sebenarnya memiliki banyak lapisan dalam menjaga etika publik para pejabat penyelenggara negara, mulai dari etika yang berlaku di masyarakat, standar akhlak yang terdapat dalam agama, hingga ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, standar etika itu sering diacuhkan dan tidak dipakai. Begitu pula keberadaan para pengawas atau inspektorat sering tak cukup berfungsi.
Lahirnya media sosial bisa menjadi instrumen baru untuk mengawasi etika dan perilaku publik. Keberadaan media sosial sangat efektif dalam membantu mengawasi etika publik para pejabat penyelenggara negara. Banyak kasus yang akhirnya terbongkar setelah tersebar luas di media sosial.
Namun, di sisi lain, kita tetap harus terus membangun kesadaran dan literasi yang kuat bagi masyarakat dalam menggunakan medsos secara sehat, informatif, dan berkualitas.
Handi Risza,Wakil Rektor Universitas Paramadina