Indonesia akan melewati kesempatan memetik bonus demografi mulai 2035. Tanpa penanganan tengkes, peluang itu bisa lewat.
Oleh
SIWI NUGRAHENI, PENGAJAR FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
·3 menit baca
Salah satu tantangan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas adalah memerangi tengkes atau stunting. Data Kementerian Kesehatan menyebutkan, prevalensi tengkes di Indonesia pada 2023 adalah 21,6 persen, masih di atas standar WHO yang menetapkan angkanya di bawah 20 persen. Pemerintah menargetkan angka prevalensi tengkes turun menjadi 14persen pada 2024.
Tulisan saya di kolom ini tentang tengkes (Menggunting ”Stunting” di Perdesaan, Kompas, 2 Agustus 2022), menjabarkan bahwa persoalan tengkes berawal dari tiga hal, yaitu tidak mampu, tidak tahu, dan/atau tidak mau. Untuk mengurai ketiganya, kata kuncinya adalah kolaborasi semua pihak yang berkepentingan.
Liputan Kompas yang terbit per 17 Desember 2023 tentang cerita sukses penanganan tengkes di Provinsi Nusa Tenggara Barat seperti memberi bukti bahwa memang kerja sama semua pihak adalah kunci utama mengatasi tengkes. Dan, ini dibuktikan di provinsi tersebut.
Melalui intervensi spesifik dan intervensi sensitif, berbagai pihak bahu-membahu mengurai masalah penyebab tengkes. Bukan hanya pemerintah dan organisasi masyarakat, seperti PKK, yang terlibat, penanganan tengkes di NTB juga melibatkan pihak swasta.
Hasilnya, angka prevalensi tengkes di NTB terus mengalami penurunan, dari 23,33 persen pada 2020 menjadi 16,84 persen pada 2021. Pada 2023, angkanya turun menjadi 13,49 persen, melewati target nasional angka prevalensi tengkes yang dicanangkan pemerintah.
Cerita penanganan tengkes dengan semangat gotong royong juga saya temukan di Desa Sumberejo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Ibu-ibu PKK yang mengurus posyandu memang menjadi ujung tombak penanganan tengkes di desa tersebut. Namun, di balik itu ada peran banyak pihak.
Dalam melakukan pendampingan pada keluarga balita yang menjadi sasaran penanganan tengkes, ibu-ibu PKK memastikan asupan makanan bergizi dan suplemen, yang bahannya ada di desa mereka. Ibu-ibu tersebut tidak hanya menyediakan makanan bernutrisi, tetapi bahkan memproduksi makanan tersebut.
Ibu-ibu anggota PKK Desa Sumberejo memiliki peternakan ayam yang dikelola secara bersama-sama. Yang unik adalah ayam-ayam tersebut diberi pakan khusus sehingga menghasilkan telur organik yang kaya kandungan omega 3.
Kegiatan beternak ayam berawal dari hibah uang kepala desa kepada kelompok ibu-ibu PKK, yang yang kemudian dibelikan 60 ekor ayam sebagai cikal-bakal peternakan bersama tersebut. Hasil telur dari peternakan bersama ini dibagikan kepada anak-anak balita dalam rangka program pemberian makanan tambahan (PMT) setiap kali ada kegiatan penimbangan di posyandu.
Khusus untuk 16 anak balita yang menjadi sasaran penanganan tengkes juga dibagikan satu botol kapsul suplemen berisi 40 kapsul Hi-omega untuk dikonsumsi setiap hari selama 40 hari. Komposisi isi kapsulnya adalah ekstrak minyak kacang sacha inchi dan minyak ikan gabus. Sacha inchi adalah salah satu komoditas dari Desa Sumberejo.
Dua minggu sekali dilakukan evaluasi pada 16 anak balita tersebut. Sementara orangtua mereka mendapat arahan selanjutnya. Hasilnya, delapan dari 16 anak balita yang menjadi sasaran penanganan tengkes sudah mentas dari status tengkes.
Keberhasilan posyandu Melati mengentaskan para anak balita dari kondisi tengkes tidak hanya berkat perjuangan ibu-ibu PKK yang menggawangi Posyandu Melati. Sukses ini juga tak lepas dari pihak-pihak di luar mereka dengan perannya masing-masing.
Tak hanya pak kades yang memberikan modal awal usaha peternakan, tetapi ada juga peternak ayam yang mengajari ibu-ibu beternak dan memperkenalkan mereka pada pakan khusus untuk menghasilkan telur ayam bergizi tinggi.
Ada pula para petani sacha inchi dan pengusaha yang membuat kapsul Hi-omega. Mereka disatukan oleh semangat bekerja sama mengatasi tengkes dengan berbasis bahan-bahan lokal, yang murah, mudah didapat serta dijamin kualitasnya.
Indonesia akan melewati jendela kesempatan memetik bonus demografi mulai tahun 2035. Namun, jika prevalensi tengkes saat ini tidak dicari solusinya, bukan tak mungkin kesempatan tersebut akan terlewat.
Alih-alih bonus demografi, jumlah besar penduduk berusia muda justru akan menjadi beban. Untuk mencegah hal ini terjadi, gotong royong semua pihak harus dilakukan. Provinsi NTB dan Desa Sumberejo sudah membuktikannya. Pepatah yang mengatakan ”it takes a village to raise a child” sepertinya menemukan wujudnya di NTB dan di Sumberejo.