Respons para petinggi universitas di AS atas unjuk rasa pro-Palestina menunjukkan ambiguitas dalam isu Palestina-Israel.
Oleh
REDAKSI
·1 menit baca
Ada perdebatan soal hak kebebasan bicara dan keamanan kampus dalam unjuk rasa pro-Palestina di banyak universitas di AS. Ada ambiguitas di institusi akademik AS.
Dalam sepekan terakhir, unjuk rasa pro-Palestina di sejumlah universitas di Amerika Serikat menyita perhatian dunia. Aksi itu sebenarnya sudah berlangsung beberapa bulan sejak serangan kelompok Hamas ke Israel, 7 Oktober 2023, yang kemudian dibalas gempuran membabi buta Israel ke Gaza. Namun, baru belakangan unjuk rasa tersebut menjadi perhatian global, menyusul semakin meluasnya aksi dukungan untuk Palestina di kampus-kampus seantero AS.
Unjuk rasa dukungan pada Palestina itu digerakkan mahasiswa di banyak universitas elite dan bergengsi, termasuk di kampus yang selama ini masuk kelompok Ivy League. Orasi-orasi dan berbagai atribut pro-Palestina menjadi pemandangan dominan di Columbia University, New York University, University of California, Harvard University, Yale University, hingga Massachussetts Institute of Technology (MIT).
Masifnya unjuk rasa di kampus-kampus tersebut membuat pengelola universitas dan Pemerintah AS kewalahan. Pejabat kampus sampai memanggil aparat kepolisian yang menangkapi puluhan hingga ratusan pengunjuk rasa. Di Columbia University, motor gerakan aksi pro-Palestina saat ini, perkuliahan tatap muka terpaksa dihentikan dan dialihkan secara daring (Kompas, 24 April 2024).
Seperti diberitakan The New York Times, unjuk rasa pro-Palestina itu juga diikuti para mahasiswa Yahudi. Di kampus Columbia dan Yale University, mereka merayakan jamuan makan malam di hari pertama Pesakh (Paskah Yahudi) sambil mengenakan kafiyeh, syal, dan atribut-atribut Palestina lainnya di kemah-kemah yang didirikan sejak unjuk rasa digelar.
Tuntutan mahasiswa bervariasi di kampus-kampus itu. Mereka, antara lain, menuntut agar para pengelola universitas-universitas tersebut menghentikan hubungan dengan perusahaan-perusahaan pemasok senjata ke Israel. Mahasiswa juga menuntut mereka menghentikan dana riset dari Israel untuk proyek-proyek yang menopang militer Israel dan agar mereka lebih transparan soal dana-dana dari Israel.
Unjuk rasa pro-Palestina tersebut di satu sisi memperlihatkan suara sebagian publik AS, yang tidak selalu sejalan dengan kebijakan pemerintah, dalam isu Palestina-Israel. Di sisi lain, peristiwa itu juga membuka mata dunia, bagaimana lembaga-lembaga akademik di AS menangani isu-isu yang membelah publik negara itu, seperti konflik Palestina-Israel.
Sorotan khusus ditujukan pada keputusan Rektor Columbia University Minouche Shafik memanggil aparat kepolisian untuk membubarkan pengunjuk rasa tersebut dengan alasan aksi pro-Palestina telah mengancam keamanan kampus. Di negeri yang menjunjung tinggi kebebasan berbicara, tindakan itu dianggap tabu. Apalagi, keputusan tersebut dipengaruhi tuduhan bahwa unjuk rasa itu sebagai tindak antisemitisme.
”Para pejabat (universitas) seharusnya tidak mencampuradukkan kritik terhadap Israel dengan kasus antisemitis dan ujaran kebencian sebagai dalih untuk membungkam pandangan politik yang tak mereka sukai,” kata Donna Lieberman, Direktur Eksekutif New York Civil Liberties Union (Associated Press, 24/4/2024).
Sejak perang Hamas-Israel meletus, posisi institusi-institusi akademik di AS dalam isu Palestina-Israel menjadi sorotan. Dua rektor di Harvard dan Pennsylvania University mundur di tengah tekanan publik dan politisi di Kongres yang tak puas dengan pandangan keduanya menyikapi isu genosida Israel.
Pada Januari 2024, editorial New York Times (NYT) juga menyoroti kasus penulis isu Palestina-Israel, Nathan Thrall, yang dipaksa menandatangani perjanjian bahwa ia tak akan memboikot Israel saat diundang menjadi pembicara di University of Arkansas, tahun lalu. Upaya pemerintah membatasi kebebasan berpendapat atau mendikte pikiran menjadi ancaman yang harus jadi perhatian serius warga AS, tulis NYT.
Pelapor Khusus PBB untuk Palestina Francesca Albanese melalui media sosial X melontarkan sindiran terkait tindakan yang diambil universitas-universitas di AS dan Eropa dalam menyikapi aksi-aksi solidaritas pada Palestina: ”Pelajaran apa yang ingin disampaikan universitas-universitas dan pemerintah Barat kepada anak muda dan mahasiswa mereka saat mereka menyerang nilai-nilai dan hak asasi yang katanya jadi fondasi masyarakat Barat?”