Tuhan dalam Politik
Demokrasi itu sakral. Kekuasaan itu titipan Tuhan bagi manusia, ada risiko tanggung jawab secara vertikal- horizontal.
Apakah Tuhan berpolitik? Tentu saja tidak. Sejauh ini belum ditemukan teks-teks agama yang menyebut Tuhan bermain politik. Lagi pula untuk apa Tuhan bermain politik? Ia Maha Kuasa. Otoritasnya tak bisa ditawar. Kekuasaannya absolut. Tak butuh pengakuan. Justru manusialah yang butuh mengakui kekuasaan Tuhan atas nama keimanan dan kepercayaan.
Meskipun demikian, Tuhan sering dilibatkan di dalam persoalan-persoalan politik. Pandangan politik yang berbasis religiositas meyakini, Tuhan adalah Zat Mutlak yang determinatif dan otoritatif di dalam memberikan mandat kekuasaan.
Keterpilihan seseorang menjadi pemimpin pada berbagai level baik kerajaan, negara, maupun lembaga sosial politik lainnya sering dikaitkan dengan soal ”kewahyuan” dari Tuhan. Di situ Tuhan diyakini berkarya di dalam nasib dan karier seseorang. Wahyu dalam konteks keterpilihan kepemimpinan bisa dimaknai sebagai ”anugerah tertinggi” yang mengandung petunjuk dan amanat.
Baca juga: Kepemimpinan Agama
Pandangan sekuler
Pandangan berbasis sekularisme dan agnotisme menganggap, politik itu persoalan duniawi yang berurusan hanya dengan manusia. Tuhan tidak cawe-cawe. Karena itu pula Tuhan tidak perlu atau tidak seharusnya dilibatkan.
Manusia bukan kanak-kanak abadi yang harus disuapi dan dititah atau bisa berjalan dalam mengatasi semua masalah. Manusia membangun eksistensinya lewat berpikir, bekerja, dan berkarya. Tanpa Tuhan.
Demokrasi merupakan sistem politik dan sosial hasil pencarian dan eksplorasi para pemikir sekuler Barat. Mereka difasilitasi para penguasa modal yang juga sekuler untuk menciptakan sistem yang bisa menandingi sistem monarki dan teokrasi.
Dua sistem pemerintahan dan sosial itu mereka anggap tidak menguntungkan masyarakat secara politik, ekonomi, dan budaya. Lalu ditemukan sistem demokrasi yang bermakna dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demokrasi yang mengutamakan kebebasan dan kesetaraan sosial pun akhirnya diterima secara kolektif. Ia juga dijalankan dan diwujudkan di sejumlah negara. Termasuk di negara yang benar-benar sekuler dan yang ”setengah sekuler dan setengah religius”, seperti Indonesia; yang lebih nyaman menyandang predikat ”negara Pancasila”.
Pemilihan presiden
Di dalam praktik demokrasi di Indonesia, para aktor demokrasi tak melepaskan diri dari campur tangan Tuhan meskipun demokrasi berwatak sangat sekularistik. Ini erat kaitannya dengan mayoritas warga negara Indonesia yang bertuhan dan menganut agama sesuai keyakinannya.
Melibatkan Tuhan di dalam politik juga terjadi di dalam pemilihan presiden. Para kandidat yang berkontestasi/berkompetisi dalam pilpres berusaha selalu bersandar pada Tuhan baik melalui berbagai ritus agama maupun cara-cara lain.
Ada juga yang menempuh laku spiritual, misalnya berziarah ke makam para leluhur atau orang-orang suci demi penguatan batin. Mereka percaya, ziarah bisa mendekatkan diri pada Tuhan, selain kulo nuwun kepada para tokoh leluhur bangsa. Budaya spiritual ini menunjukkan sikap etik.
Tak ketinggalan asketisme puasa dan gelar doa bersama. Dengan semua cara itu, para capres dan cawapres berupaya menggetarkan langit. Mengetuk pintu Tuhan demi mendapatkan hujan rahmat.
Upaya melibatkan Tuhan di dalam politik dilandasi keyakinan bahwa untuk bisa menjadi presiden, orang harus mohon izin dan rida (persetujuan/restu) Tuhan. Tuhan adalah penentu setiap takdir dan kepastian manusia. Adapun rakyat yang akan memilih para capres dan cawapres dipahami sebagai entitas sosial yang bergerak atas kuasa Tuhan. Karena itu, lahir istilah ”suara rakyat, suara Tuhan”.
Di dalam praktik demokrasi di Indonesia, para aktor demokrasi tak melepaskan diri dari campur tangan Tuhan meskipun demokrasi berwatak sangat sekularistik.
Pandangan lain yang berbasis budaya lokal (misalnya Jawa) menekankan seseorang terpilih menjadi presiden karena ia mendapatkan ”wahyu keprabon” dari Tuhan dengan dukungan para leluhur dan orang-orang suci.
Ada pandangan yang mengatakan ”wahyu keprabon” bisa ”didapat” melalui berbagai upaya spiritual dan amal sosial. Logikanya, pelbagai nilai kebaikan dan kebenaran yang dipancar seseorang dalam laku spiritual bergerak dan menjalin koneksi dengan gelombang ilahiah, hingga turunlah radha-Nya.
Ada juga pandangan yang meyakini ”wahyu keprabon” tak bisa dicari dan diburu. ”Wahyu keprabon”-lah yang aktif bergerak untuk menemukan ruang dalam jiwa manusia yang dinilai pantas untuk dipilih, yakni jiwa yang bersih dan jauh dari pamrih duniawi dan ambisi tak terkontrol. Jiwa bersih itu terkait dan terikat dengan watak arif, kecerdasan akal/batiniah, kemampuan, dan tanggung jawab untuk menjalani laku altruistik yang bermakna dan bernilai bagi banyak orang.
Artinya, para tokoh yang memiliki potensi dan daya aktualisasi kebaikan dan kemuliaan serta kapasitas kemampuan berpeluang untuk ”terpilih” jadi pemimpin negara. Tentu saja hal ini didukung rekam jejak yang bersih dari berbagai penyimpangan etik dan moral.
Terkait dengan ”kewahyuan Tuhan”, kekuasaan harus dipahami sebagai amanat, titipan Tuhan pada manusia yang terpilih untuk menciptakan ”surga” di bumi, yakni kehidupan yang bersandar pada nilai-nilai ilahiah (dimensi vertikal) dan nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan, dan peradaban (dimensi horizontal).
Artinya, seorang pemimpin harus mampu ”menuhan” atau berorientasi pada sifat-sifat Tuhan dan ”memanusia” atau berpedoman pada nilai-nilai ideal kemanusiaan, yang turunannya adalah keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, dan kedamaian.
Karena kekuasaan merupakan titipan Tuhan bagi manusia, otomatis selalu ada risiko tanggung jawab, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, pemimpin wajib memancarkan nilai-nilai profetik. Adapun secara horizontal, pemimpin wajib memuliakan nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan, kemajemukan, dan kesejahteraan.
Baca juga: Pemimpin Republik
Pemimpin semestinya tidak leda-lede (semaunya), ngawur, ceroboh, selalu merasa paling benar, keras kepala, kemaruk, kikir, dan hanya mementingkan keluarga/kelompoknya. Pemimpin berkarakter buruk tidak memiliki nilai-nilai profetik di dalam menjalankan kekuasaan.
Jika itu terjadi, ia tidak hanya berdosa secara sosial, tetapi juga secara spiritual (ilahiah). Secara sosial, ia kehilangan kepercayaan dan legitimasi dari publik. Adapun secara spiritual, ia pun ditinggalkan oleh wahyu yang datang dari Tuhan. Tuhan pun mencabut amanat-Nya.
Hati-hatilah dengan kekuasaan. Kekuasaan itu sakral. Di dalam sejarah terbukti, para penguasa yang melakukan desakralisasi kekuasaan akhirnya jatuh dan terbanting.
Indra Tranggono, Praktisi Budaya dan Esais