Dampak Putusan MK, Politisasi Bansos Dikhawatirkan Merajalela di Pilkada
Pascaputusan MK, dikhawatirkan metode politisasi bansos dan politisasi aparat terulang pada pilkada November mendatang.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap seluruh dalil yang diajukan tim hukum pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang kalah dalam Pemilu 2024, termasuk di antaranya soal politisasi bantuan sosial atau bansos dan pelanggaran terhadap netralitas aparatur negara, dikhawatirkan memicu persepsi boleh melakukan kecurangan untuk meraup suara mayoritas pemilih oleh kalangan para kontestan politik dan juga publik.
”Nanti kecurangan itu menghasilkangap suara yang sangat jauh. Kalau penghitungan suara selesai, selisih suaranya jauh, tinggal dibangun persepsi dan opini bahwa sebaiknya ini kita selesaikan dengan baik. Pemilu sudah selesai, demi efektivitas, demi stabilitas, demi keamanan, ya ini dimaafkan saja. Kita melangkah ke depan,” kata peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, dalam diskusi ”Peluncuran Hasil Pemantauan Perselisihan Hasi Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi”, Rabu (24/4/2023).
Pada Senin (22/4/2024), MK sebelumnya menolak permohonan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang meminta pembatalan keputusan Komisi Pemilihan Umum mengenai penetapan hasil rekapitulasi suara nasional pemilihan presiden-wapres dan pemilu legislatif. Seluruh dalil yang diajukan, baik terkait independensi penyelenggara pemilu, keabsahan pencalonan presiden dan wakil presiden, bantuan sosial, mobilisasi/netralitas pejabat/aparaturnegara, prosedur penyelenggaraan pemilu, dan pemanfaatan aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap), ditolak oleh MK dan dinyatakan tak terbukti.
Terkait dengan manipulasi dan politisasi bansos, Fadli mengatakan, ternyata para pemohon sengketa pilpres tidak berhasil meyakinkan mayoritas hakim MK soal politisasi bansos. MK juga menyatakan hal tersebut tidak berpengaruh pada perolehan suara. Karena itu, ia khawatir metode politisasi bansos tersebut serta politisasi aparat terulang pada pelaksanaan pilkada serentak mendatang.
Larangan pejabat publik
Oleh karena itu, ia menyarankan agar pejabat publik di level tertentu, termasuk kepala daerah, tidak boleh turut serta membagikan bansos. Penyaluran bansos dapat dilakukan oleh lembaga/kementerian/dinas terkait atau melalui pejabat pemerintahan desa. Larangan menyalurkan bantuan sosial tersebut perlu dilakukan dalam rentang waktu satu tahun atau satu setengah tahun menjelang pelaksanaan pemilihan, baik tingkat nasional maupun daerah.
”Karena kalau mau berharap kontrol dari lembaga perwakilan dalam proses penyelenggaraan negara, itu susah. Engggak jalan. Kan, itu juga yang terjadi di proses Pemilu 2024,” ucap Fadli.
Hal senada diungkapkan pula oleh Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati. Menurut dia, putusan MK dapat dipandang ”seolah-olah” membiarkan politisasi bansos dan pencalonan (dalam proses pemilihan) yang dilakukan secara dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokratis. ”Ini bisa (dipandang) dibiarkan dan bisa dipraktikkan baik itu di pilkada nanti maupun pemilu-pemilu selanjutnya,” katanya.
Peneliti Perludem lain, Heroik Pratama, mengungkapkan, ada aturan di dalam Undang-Undang Pilkada yang secara spesifik melarang kepala daerah petahana mengeluarkan kebijakan strategis, seperti memindahkan pejabat dan juga menyalahgunakan keuangan daerah. Namun, dalam realitasnya, penganggaran bansos dilakukan sebelum tahapan pemilu dimulai. Seperti terjadi dalam Pilkada Sumatera Selatan, pendistribuasiannya dilakukan ketika ada momentum pemilihan kepala daerah. ”Kemudian, ada personalisasi dana publik,” kata Heroik.
Ini yang saya kira menjadi satu titik rawan yang perlu diantisipasi ke depan, yaitu mengenai penyalahgunaan sumber daya negara dalam konteks-konteks politik.
Dalam konteks Pilkada 2024, Heroik mengungkapkan hal-hal yang patut diwaspadai dan menjadi titik rawan, yaitu majunya para penjabat kepala daerah dalam pilkada setempat. ”Ini yang saya kira menjadi satu titik rawan yang perlu diantisipasi ke depan, yaitu mengenai penyalahgunaan sumber daya negara dalam konteks-konteks politik,” katanya.
Saat ini, relatif sulit untuk mengharapkan adanya revisi aturan main di tengah tahapan pilkada yang sudah berlangsung. MK dalam putusan sengketa pilpres merekomendasikan adanya perbaikan-perbaikan terhadap UU Pemilu sekaligus bisa juga dilakukan terhadap UU Pilkada.