Menyoal Kuantitas dan Kualitas di Tengah Wacana Kabinet Gemuk
Toponimi kabinet berasal dari kabinet lemari—atau ruang kecil di lemari—yang semestinya tidak diisi banyak orang.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara di Makassar, Sulawesi Selatan, akhir April 2024, merekomendasikan perlunya penataan ulang nomenklatur kementerian. Seolah bertentangan dengan jumlah kementerian yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, asosiasi itu mengusulkan menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 41.
Usulan menggelembungkan jumlah kementerian itu pun menuai kritik di tengah situasi politik akomodatif yang dipilih calon presiden terpilih pada Pemilu 2024, Prabowo Subianto. Menarik untuk dikulik, apa saja sebenarnya dampak dari penggelembungan kementerian itu?
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies Arya Fernandes, pada 3 Agustus 2019, lima tahun silam, pernah mengkritik keras kebijakan Presiden Joko Widodo yang merangkul rivalnya saat kontestasi Pilpres 2019, yaitu Prabowo Subianto.
Kala itu, seusai pertemuan hangat di stasiun mass rapid transit (MRT), Prabowo yang sebelumnya adalah lawan politik Jokowi kemudian dirangkul masuk ke koalisi pemerintahan.
Menyusul pertemuan keduanya, sejumlah politikus Partai Gerindra, yang menjadi pengusung pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, pun masuk dalam koalisi ”gemuk” pemerintahan. Mereka mendapatkan jatah kursi menteri.
Sebut saja, Prabowo yang menjadi Menteri Pertahanan sejak 2019 sampai sekarang. Berikutnya Sandiaga Uno menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, walau belakangan pindah ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Selanjutnya Edhy Prabowo mendapat kursi di Kementerian Kelautan dan Perikanan sebelum tersandung kasus korupsi ekspor benur.
Demokrasi mati suri
Kritik yang ditulis Arya Fernandes kala itu adalah keputusan Jokowi membentuk koalisi gemuk yang terdiri dari koalisi 01 plus Gerindra, PAN, dan Demokrat akan mendominasi sekitar 90 kursi di parlemen. Hal itu disayangkan karena akan menciptakan kiamat politik di parlemen dan demokrasi menjadi mati suri karena tak signifikannya partai oposisi.
Koalisi yang gemuk, disebut Arya, tak memberikan jaminan akan membuat pemerintahan stabil. Sebab, koalisi gemuk bakal mengakibatkan tarik ulur kepentingan antara partai dan Jokowi sebagai kepala negara serta kepala pemerintahan.
Sinkronisasi terhadap program dan kebijakan pemerintah juga akan menghadapi kesulitan karena harus bernegosiasi tentang program dengan partai koalisi. Koalisi gemuk juga sarat bagi-bagi kursi kekuasaan.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang Feri Amsari, Selasa (7/5/2024), berpandangan, nomenklatur kementerian yang sudah ditetapkan diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dinilai telah mencakup seluruh kegiatan dan urusan kenegaraan.
Sehubungan dengan hal itu, ide untuk membuat nomenklatur baru, seperti Kementerian Urusan Makan Siang Gratis, pun dipertanyakan. Hal ini disebabkan sebenarnya urusan tersebut bisa dikelola Kementerian Sosial.
”Apa sulitnya (mempertahankan) nomenklatur tetap supaya tidak ada pemubaziran anggaran? (Bahkan hal) Yang paling penting sebenarnya penyederhanaan jumlah menteri. Sebab, logika menambah kementerian pasti ada transaksi lain (bagi-bagi kue kekuasaan) ketika pembahasan,” kata Feri.
Feri menambahkan, jika Prabowo-Gibran menargetkan jumlah kementerian, menjadi 40 misalnya, partai lain yang merasa tidak mendapatkan jatah bisa protes. Alhasil, jumlah kementerian bisa semakin menggelembung.
Padahal, boleh jadi, esensi dari kementerian baru itu tidak penting dan signifikan bagi publik. Selama ada regulasi UU No 39/2008, belum pernah ada fenomena kekurangan menteri.
”Bayangkan betapa banyak pemubaziran yang terjadi kalau kemudian kita mengubah undang-undang,” ujar Feri.
Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia Eko Prasojo juga menyebut bahwa salah satu dampak dari menggendutnya nomenklatur kementerian adalah tidak efektif dan efisiennya pemerintahan yang sebenarnya urusannya lebih banyak didelegasikan ke daerah (desentralistis).
Ruang fiskal APBN saat ini hanya tersisa sekitar 17 persen untuk belanja langsung bagi masyarakat. Jika ruang fiskal yang sempit itu masih dipotong untuk urusan rutin kementerian, tentu anggaran yang sampai ke publik akan semakin kecil.
Menanggapi hal itu, Feri mengatakan, penambahan nomenklatur kementerian tentu akan berdampak pada semakin beratnya beban anggaran negara. Apalagi, kebutuhan negara juga melonjak dengan pembangunan megaproyek seperti Ibu Kota Nusantara (IKN).
Indonesia juga memiliki banyak utang luar negeri. Dengan demikian, menambah beban untuk anggaran kementerian menjadi langkah yang tidak logis dan rasional.
”Ada catatan sejarah pada masa lalu di mana pembentukan kabinet di era Presiden Abdurrahman Wahid itu menelan biaya besar karena penggantian nomenklatur. Dari hal sederhana mengubah atau menambah biaya kop surat saja bisa menghabiskan dana miliaran,” kata Feri.
Peneliti senior yang kini menjadi Anggota Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi, Syamsuddin Haris, pada 11 Mei 2015 pernah menyebut bahwa perombakan kabinet memang menjadi isu politik yang begitu sensitif dalam kehidupan bangsa.
Pada era Kabinet Persatuan (1999-2001), Presiden Gus Dur begitu sering memberhentikan para menteri, dengan alasan yang kurang jelas. Langkah Gus Dur tersebut menimbulkan kekecewaan parpol pendukung yang menterinya dicopot.
Pengalaman traumatis
Hal itu pula yang menjadi salah satu alasan Gus Dur diberhentikan oleh MPR atas usul DPR hasil Pemilu 1999 karena dipicu perombakan kabinet yang tidak mengenal aturan. Perombakan kabinet ala Gus Dur itu akhirnya menjadi pengalaman traumatis bagi parpol pendukung pemerintah.
Feri menambahkan bahwa toponimi kabinet pemerintahan berasal dari kabinet lemari atau ruang-ruang kecil di dalam lemari. Karena itu, semestinya, di dalam ruang kecil tidak ada banyak orang.
Toponimi kabinet pemerintahan berasal dari kabinet lemari atau ruang-ruang kecil di dalam lemari. Semestinya, di dalam ruang kecil tidak ada banyak orang.
Sebab, jika ada banyak orang dalam ruang kecil, suasana akan menjadi terlalu panas dan sumpek. Dengan falsafah itu, kabinet adalah ruangan kecil yang berisi sejumlah kecil orang kepercayaan penguasa.
”Aneh jika kabinet diisi orang banyak. Itu menyalahi asal kata, sejarah, dan menyalahi prinsip pemerintahan yang efektif. Jadi, kalau ada yang mau membuat gemuk kabinet, (maka) artinya tujuannya beda dengan asas-asas pemerintahan yang baik,” kata Feri.