Ujian Konsistensi PKS sebagai Partai Oposisi
Posisi oposisi dan koalisi bisa silih berganti. Akankah PKS mempertahankan statusnya selama ini sebagai partai oposisi?
Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan hasil perolehan suara partai politik peserta Pemilu 2024. Partai Keadilan Sejahtera berhasil meraih 12.781.353 suara atau 8,42 persen. Menurut hasil simulasi Litbang Kompas, diperkirakan PKS akan memperoleh 53 kursi di Senayan.
Perolehan suara PKS pemilu kali ini meningkat sekitar 1,28 juta suara dibandingkan Pemilu 2019. Pada pemilu lima tahun lalu, perolehan suara PKS 11.493.663 suara atau 8,21 persen. Dengan jumlah tersebut, PKS mendapat 50 kursi bagi wakilnya di parlemen pusat.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pada Pemilu 2019 itu, PKS menjadi salah satu partai yang mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden berpasangan dengan Sandiaga Uno. Namun, pasangan ini kalah.
Terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua pada saat itu, PKS kembali memosisikan diri berada di luar pemerintahan, sebagai oposisi. Sikap ini diambil sesuai dengan amanat dari Majelis Syura. Praktis, PKS menjadi oposisi selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Sikap oposisi PKS ini tampak jelas dalam kebijakan-kebijakan besar yang diambil oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Hal itu terlihat dari sikap kritis terhadap Undang-Undang Cipta Kerja dan pemindahan ibu kota negara yang baru ke Kalimantan. Termasuk dalam pembahasan UU Kesehatan yang menimbulkan kontroversi.
Pemilu 2024 merupakan keikutsertaan PKS yang keenam dalam kontestasi politik. Dalam perjuangannya, PKS yang cikal-bakalnya adalah Partai Keadilan, meniti jalan yang tidak mudah. Sempat tidak lolos ke parlemen saat mengikuti pemilu pertama kali tahun 1999, PKS perlahan merangkak menjadi partai papan tengah jajaran partai-partai politik yang diperhitungkan secara nasional.
Pilihan politik sebagai oposisi yang dijalani, terbukti membawa dampak elektoral yang cukup memadai bagi PKS. Peningkatan suara bisa diraih. Hal itu tidak terlepas pula sebagai dampak dari partai ini mengusung pasangan calon presiden-calon wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang memproklamasikan diri sebagai barisan perubahan bersama Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa.
PKS lekat dengan sosok Anies Baswedan. Barisan perubahan ini jelas berseberangan dengan Presiden Jokowi dan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang didukungnya kuat menyuarakan keberlanjutan apa yang dilakukan Presiden Jokowi.
Baca juga : PKS Berpeluang Unggul di Jakarta
Godaan oposisi
Godaan untuk tidak lagi menjadi oposisi tentu ada. Meski demikian, keputusan untuk tetap menjadi oposisi atau berkoalisi dengan pemerintah kembali akan diputuskan oleh Majelis Syura PKS.
Namun, tantangan politik yang dihadapi sekarang dan ke depan semakin tidak mudah. Kekalahan terus-terusan dalam mendukung capres-cawapres tentu menjadi bahan evaluasi untuk mengambil langkah strategis ke depan dalam memperluas pengaruh partai.
Apalagi presiden terpilih Prabowo Subianto mencoba menjalankan politik merangkul lawan. Sementara PKS bukan sepenuhnya lawan bagi Prabowo. Ada jejak persahabatan lama dan cukup panjang yang terjalin antara PKS dan Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo.
Selain pernah berkoalisi dengan Gerindra mengusung Prabowo Subianto sebagai capres pada Pemilu 2014 dan 2019, PKS bersama Gerindra juga berkoalisi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 mengusung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur.
Koalisi ini berhasil mengantarkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno menjadi Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. Meskipun pada tahun 2018, tidak sampai setahun menjabat, Sandiaga mundur dari jabatan wakil gubernur dan mendampingi Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden yang berlaga melawan presiden petahana.
Di luar koalisi PKS dengan Gerindra di ajang nasional dan DKI Jakarta, PKS juga beberapa kali berkoalisi dengan Gerindra di pilkada tingkat provinsi dan kabupaten atau kota.
Di pilkada serentak tahun 2018, misalnya, PKS berkoalisi dengan Gerindra (juga partai lainnya) untuk memenangkan posisi gubernur di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara.
Dari lima provinsi tersebut, PKS dan Gerindra berhasil memenangkan pasangan calonnya di Sumatera Utara (Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah) dan Kalimantan Timur (Isran Noor-Hadi Mulyadi).
Di tingkat kabupaten atau kota, PKS dan Gerindra juga pernah membangun koalisi mendukung pasangan calon dalam kompetisi pilkada serentak tahun 2020 di 86 wilayah (Kompas.id, 25/9/2020). Beberapa di antaranya di Kota Binjai, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Bukittinggi, Kabupaten Semarang, Kota Surabaya, Kabupaten Karangasem, dan Kabupaten Sumbawa Barat.
Di banyak wilayah lain, PKS dan Gerindra tak jarang berseberangan. Dinamika politik memang begitu cair di berbagai tataran. Pola yang terjadi di pusat bisa sama dan bisa juga berbeda di tingkat wilayah yang lebih rendah, tergantung pada kekuatan dan komunikasi antarpartai.
Itu pula sebabnya perubahan status antara beroposisi atau berkoalisi bisa dan mudah berubah. Contoh terdekat yang segar dalam ingatan kita adalah Partai Demokrat, yang sebelumnya seiring sejalan dengan PKS sebagai oposisi di parlemen, masuk ke pemerintahan Presiden Jokowi menjelang pergantian kepemimpinan.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia membutuhkan oposisi di dalamnya untuk menjaga demokrasi tetap sehat dengan dilakukannya checks and balances. Oposisi akan menjadi alat kontrol dan kekuatan penyeimbang agar kekuasaan tidak menjadi semena-mena.
Keberadaan partai oposisi di negara demokrasi itu penting. Seperti yang dikatakan oleh ilmuwan politik Amerika Serikat, Robert Dahl, bahwa tidak adanya partai oposisi dapat dilihat sebagai bukti kuat tidak adanya demokrasi.
Oleh sebab itu, butuh kekuatan dan keberanian untuk menjadi oposisi. Namun, jika PKS mampu konsisten sebagai oposisi, sikap itu tidaklah buruk, bahkan sama terhormatnya dengan pemerintah itu sendiri. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : "Exit Poll" Litbang Kompas : Pemilih PKS Paling Loyal