Mengelola Air untuk Keberlangsungan Kehidupan
Air menjadi komponen vital yang harus dijaga kelestariannya guna mendukung keberlangsungan kehidupan.
Ajang World Water Forum atau Forum Air Dunia 2024 mengingatkan kembali betapa pentingnya manfaat air bagi segenap umat manusia dan makhluk hidup di seluruh jagat raya. Air menjadi komponen vital yang harus dijaga kelestariannya guna mendukung keberlangsungan kehidupan ini. Oleh karena itu, konservasi dan pengelolaan air menjadi keniscayaan yang harus dilakukan oleh semua pihak.
Presiden Joko Widodo pada saat membuka forum tersebut mengemukakan bahwa tanpa air, tidak akan ada perdamaian, kehidupan, dan makanan. Hanya 1 persen dari 72 persen permukaan air pada bumi yang dapat diakses serta dimanfaatkan untuk air minum dan sanitasi. Air harus dikelola dengan baik karena setiap tetesnya sangat berharga (Kompas.id, 20/5/2024).
Pernyataan Presiden Joko Widodo di hadapan sejumlah delegasi internasional di Bali itu menegaskan pentingnya aksi nyata yang inklusif dan berkelanjutan untuk dilakukan oleh semua negara, tanpa terkecuali.
Setidaknya ada tiga prinsip yang diutarakan oleh Presiden Joko Widodo dalam forum yang digelar pada 18-25 Mei itu. Ketiga prinsip tersebut adalah menghindari persaingan dan mendorong pemerataan; mengedepankan kerja sama inklusif, termasuk penggunaan teknologi dan pembiayaan inovatif; serta menyokong perdamaian dan kemakmuran bersama. Ketiganya dapat dicapai dengan kolaborasi.
Baca juga: Mengelola Air sebagai Sumber Kehidupan
Pemerataan dan kerja sama itu sangatlah penting karena nyatanya di seluruh dunia terjadi perbedaan tata kelola air sehingga perlu bantuan dari negara-negara yang lebih maju. Dengan demikian, air dapat dimanfaatkan secara optimal untuk berbagai kepentingan ekonomi, tetapi juga aman bagi kesehatan serta mendukung kebersihan.
Tata kelola pemanfaatan air yang tidak optimal dapat berdampak buruk bagi kesehatan dan juga menyebabkan kematian. Berdasarkan laporan Bank Dunia, semakin rendah tingkat ekonomi suatu negara, maka risiko kematian akibat penggunaan air yang tidak aman, sanitasi yang buruk, serta kurangnya kebersihan akan semakin tinggi. Pada tahun 2019, kematian rata-rata di seluruh dunia akibat hal ini mencapai 18 jiwa per 100.000 orang.
Jika dipilah-pilah berdasarkan tingkat ekonomi suatu negara, maka negara berpenghasilan tinggi memiliki risiko kematian paling rendah, yakni kurang dari empat orang per 100.000 penduduk. Terpaut cukup banyak dengan negara berpenghasilan menengah sekitar 19 orang dan sangat jauh ketimpangannya dengan negara berpendapatan rendah yang mencapai 41 orang per 100.000 populasi.
Tingginya angka kematian di negara berpenghasilan rendah itu disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya karena masyarakat yang menggunakan layanan air minum yang dikelola secara aman masih sangatlah minim, yakni pada 2023 hanya 28 persen dari total populasi di negara bersangkutan. Besaran ini terpaut sangat jauh dengan rata-rata global yang sudah mencapai 72 persen dari total populasi dunia.
Selain itu, penggunaan air untuk kepentingan domestik rumah tangga di negara-negara berpendapatan rendah juga masih sedikit. Pada tahun 2020, konsumsi airnya hanya 7 persen dari seluruh air yang diambil untuk berbagai kepentingan. Besaran ini terpaut hampir dua kali lipat dengan rata-rata dunia yang sebesar 13 persen. Semakin minim konsumsi air untuk kepentingan domestik, maka tingkat kebersihan di setiap rumah tangga kemungkinan semakin rendah. Masyarakat di negara miskin yang memiliki sarana sanitasi dan dilengkapi sabun rata-rata hanya 21 persen dari seluruh populasi. Dengan demikian, masyarakat setempat relatif mudah terserang berbagai jenis penyakit dan bakteri.
Faktor berikutnya yang rawan mengancam kesehatan masyarakat di negara berpenghasilan rendah adalah pencemaran yang terjadi di sektor pertanian. Pada tahun 2020, jumlah air yang diambil manfaatnya untuk sektor agraris ini mencapai 90 persen dari seluruh air yang dikelola. Selain mengurangi jatah untuk kepentingan domestik rumah tangga, masifnya penggunaan air ini juga berpotensi mencemari lingkungan. Penggunaan pupuk dan pestisida untuk pertanian membuat air yang terlarut dan yang mengendap di tanah berisiko terkontaminasi zat kimia berbahaya.
Baca juga: Forum Air Dunia dan Penyelamatan Danau
Dengan berbagai hal yang relatif sangat terbatas, mulai dari minimnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan, tata kelola pemerintahan yang belum baik, serta minimnya anggaran negara untuk membenahi infrastruktur, maka risiko kesehatan yang mengancam jiwa masyarakat sangatlah tinggi.
Karena itu, Presiden Dewan Air Sedunia Loic Fauchon meminta kepada semua delegasi untuk memegang tujuh komitmen. Di antaranya mengajak delegasi bergabung dalam koalisi ”Uang untuk Air” yang akan dipresentasikan pada konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa berikutnya dan mencakup pembatalan utang air bagi negara-negara termiskin. Dengan demikian, negara-negara miskin dapat meningkatkan layanan penyediaan air yang aman bagi semua penduduknya. Selain itu, dengan beban yang kian ringan, negara-negara berpendapatan rendah itu dapat turut mengakselerasi upaya mitigasi perubahan iklim dan juga pengelolaan air limbah.
Pemanfaatan air di Indonesia
Berdasarkan data Bank Dunia, tingkat kematian akibat pemanfaatan air yang tidak aman serta sanitasi yang tidak bersih di Indonesia mencapai 19 orang per 100.000 populasi. Angka ini relatif sama dengan rata-rata kematian global.
Relatif masih tingginya angka risiko kematian itu disebabkan adanya perbedaan karakteristik antara wilayah perdesaan dan perkotaan. Kawasan rural cenderung masih minim memanfaatkan layanan air untuk kebutuhan minum yang tergolong aman. Hanya 34 persen populasi desa yang sudah mengonsumsi air dalam kategori aman. Untuk kawasan perkotaan umumnya sudah mengonsumsi air minum yang tergolong higienis. Sebanyak 88 persen masyarakat perkotaan sudah terbiasa mengonsumsi air bersih ini.
Baca juga: Buka Forum Air Sedunia, Jokowi Beberkan Ancaman Krisis Air
Untuk sarana sanitasi dan keperluan kebersihan, antara masyarakat desa dan kota relatif sudah sama, yakni tingkat kesadarannya sudah tinggi. Hal ini terindikasi dari banyaknya warga masyarakat yang memiliki sarana sanitasi dilengkapi air dan sabun sudah lebih dari 75 persen dari total populasi masing-masing.
Dari kedua hal tersebut, terlihat bahwa faktor risiko yang mengancam kesehatan dan nyawa masyarakat cenderung mengarah pada pemanfaatan air untuk konsumsi di perdesaan yang sebagian belum aman. Hal ini salah satunya dipicu oleh penggunaan air untuk keperluan pertanian yang mencapai 85 persen dari seluruh konsumsi air. Masifnya konsumsi air untuk keperluan agraris ini menimbulkan dampak bagi lingkungan karena zat kimia untuk pemupukan terlarut hingga ke sungai dan juga mengendap di tanah sehingga berimbas pada kualitas air di kawasan itu.
Namun, seiring berjalannya waktu, banyaknya perubahan tata guna lahan, industrialisasi, permukiman, dan pertanian yang kian intensif menggunakan zat kimia menimbulkan degradasi lingkungan yang berdampak pada penurunan kualitas air.
Berdasarkan laporan Direktorat Pengendalian Pencemaran Air Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK menunjukkan bahwa kualitas air di Indonesia berada pada rentang tercemar kategori ringan hingga sedang. Tidak ada satu pun provinsi di Indonesia memenuhi standar baku mutu dengan nilai indeks kualitas air (IKA) lebih dari 70. Rata-rata berada di bawah skor indeks 65. Provinsi yang memiliki skor IKA paling rendah pada tahun 2023 adalah Jakarta dan Yogyakarta. Di kedua provinsi ini, nilai IKA-nya masing-masing berada pada skor 40-an yang menandakan tercemar kategori ringan-sedang.
Indeks kualitas air adalah nilai yang menggambarkan kualitas air yang merupakan nilai komposit parameter kualitas air dalam suatu wilayah pada waktu tertentu. Dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), nilai IKA dapat mendukung tujuan nomor 6, yaitu ”Air Bersih dan Sanitasi Layak”. IKA dihitung berdasarkan penghitungan status mutu air dengan metode indeks pencemaran sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 27 Tahun 2021 tentang Indeks Kualitas Lingkungan Hidup. Baku mutu air yang digunakan adalah baku mutu air kelas 2 (Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 Lampiran VI) dengan delapan parameter untuk kualitas air sungai yang dihitung, yaitu BOD, COD, TSS, DO, T-fosfat, Fecal coli, pH, dan nitrat. Sementara untuk parameter kualitas air danau ada 10 parameter , yaitu BOD, COD, TSS, DO, T-fosfat, Fecal coli, pH, kecerahan, klorofil-a, dan total nitrogen.
Baca juga: Krisis Demokrasi Perparah Krisis Air
Skor indeks yang relatif tidak memenuhi baku mutu itu sejalan dengan status mutu air sungai di Indonesia yang rata-rata mengalami pencemaran. Pada tahun 2023, jumlah sungai yang memenuhi standar baku mutu hanya 21 persen. Selebihnya, 78 persen mengalami pencemaran ringan hingga sedang dan 1 persen sisanya tercemar skala berat.
Hal tersebut perlu menjadi perhatian bersama, terutama bagi para pemangku kebijakan untuk menyediakan teknologi yang mampu mengoptimalkan pemanfaatan air permukaan dan sekaligus mereduksi pencemarnya. Di sisi lain, para pihak pencemar, seperti rumah tangga, industri, jasa, dan pertanian, perlu melakukan langkah mitigasi guna mengurangi sampah, limbah, ataupun polutan lain yang membahayakan lingkungan. Jika perlu, sediakan sarana pengolahan limbah secara komunal dan lakukan pemrosesan terlebih dahulu sehingga beban pencemaran lingkungan yang ditanggung sungai kian ringan.
Semakin bersih kualitas air permukaan yang bersumber dari air sungai dan air tanah, diharapkan semakin meningkat juga kualitas kehidupan. Air dapat dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, menghidupi pertanian, serta menggerakkan roda perekonomian nasional. (LITBANG KOMPAS)