Di Balik Langit, Kau Akan Bahagia
Ia merunut-runut korelasi antara hidup dan uang. Cari uang untuk hidup? Hidup untuk cari uang?
Setelah dua puluh tahun menjadi manusia robot, tubuhnya berubah menjadi serpihan debu pada suatu siang menjelang sore. Kasur di dalam kamar kosnya penuh dengan debu tubuhnya. Ia ingin sekali bangkit dari tidurnya karena ia harus berangkat kerja. Namun, ia sama sekali tak bisa bangkit.
Ia masuk sif sore hari itu. Tidak masuk kerja tanpa pemberitahuan akan membuat dirinya dipecat. Sebulan yang lalu, ia sudah mendapat surat peringatan ketiga dari atasannya. Jam di dinding kamarnya yang retak-retak dan dipenuhi jalur semut menunjukkan pukul 15.35. Tisu-tisu kotor berserakan di tepi kasur. Ia harus tiba di kantor tidak lewat dari pukul 16.00. Perjalanan dari indekos menuju kantornya memakan waktu paling cepat setengah jam. Tetapi, ia tidak bisa bangkit. Ia sama sekali tidak punya tenaga untuk mengembalikan wujud tubuhnya, seperti yang dilakukan Manusia Pasir dalam cerita Spiderman.
Nyawanya masih berada di atas kasur itu meskipun kini ia berbentuk debu. Menjadi debu tak kurang sialnya dibanding bermetamorfosis menjadi kecoa seperti yang dialami Gregor Samsa. Ia mencoba berteriak meminta tolong. Ia berharap teriakannya dapat didengar oleh penghuni kamar sebelah. Tapi, ia segera sadar bahwa tidak mungkin teriakannya dapat didengar, sementara tak ada suara yang terdengar dari dalam kamarnya. Ia menyesal telah mengunci pintu kamarnya. Beberapa menit berselang, ia teringat pada apa yang dikonsepsikannya sebagai Tuhan dan ia mencoba meminta pertolongan. ”Tuhan,” ia memelas, ”tolong kembalikan wujudku. Tidak masalah jika aku harus menghabiskan hidupku sebagai manusia robot.”
Sadar bahwa lolongannya sia-sia, ia mulai menangis. Tentu tak ada air mata yang membasahi kasurnya. Debu yang berserakan di atas kasur itu tetap kering.
Ketika tangisnya berhenti, jam sudah menunjukkan pukul 16.15. Kini sudah terlambat. Ia mencoba mengingat apa saja yang telah dilakukannya. Pada pukul 12.00, ia menyapu kamarnya yang berukuran 3 meter x 4 meter persegi dan berlantai ubin kusam yang menyerupai semen. Debu di permukaan lantai kamarnya cukup tebal dan banyak ketika dikumpulkan ke dalam pengki. Debu itu bercampur dengan berhelai-helai rambutnya yang rontok. Ia mengira Tuhan mengutuknya karena telah menyapu debu di kamarnya dan membuangnya.
Sesaat kemudian, bagian lain dari dirinya juga bersuara, dan terjadilah senandika antara dirinya yang satu dan entitas dirinya yang lain.
”Bukan karena itu kau menjadi debu!”
”Jadi karena apa?”
”Ingat, dalam beberapa bulan terakhir, kau sering memikirkan rencana bunuh diri. Kau lelah menjalani hidup. Kau muak diatur-atur atasanmu, dimarahi, dibentak-bentak, bergegas ke kantor, dan melawan kemacetan. Merangkap jadwal makan dan menahan selera ini itu demi menabung tak seberapa. Jangankan rumah, membeli ponsel baru pun kau tak sanggup. Dan yang paling parah, kau tak sanggup membayangkan harus berapa lama kau menjalani hidup seperti itu.”
”Bukan berarti aku ingin mati sungguhan!”
”Kau muak menjalani pekerjaanmu. Pekerjaan yang tak pernah bisa kau cintai. Pekerjaan yang tak sesuai dengan minat dan kecintaanmu. Kau ingin berhenti menjadi karyawan, tapi kau takut menjadi seorang penganggur.”
”Tapi aku tidak pernah benar-benar ingin mati!”
”Itu penyangkalanmu. Kau ingin mati. Kau sering berpikir, kalau tak jadi karyawan, memangnya kau mau jadi apa? Kau mau hidup dengan cara apa? Kau ingin bertani? Lahan siapa yang akan kaugarap? Orangtuamu tak punya warisan apa pun untukmu. Malah orangtuamu berharap, bahkan menuntut, kau bisa menafkahi mereka, mengirimi mereka uang tiap bulan, membalas budi mereka karena mereka sudah membesarkan dan membiayai hidupmu sejak bayi.
Dan jangan berpura-pura lupa, kau cuma pecundang yang tak bisa berbuat apa-apa ketika perempuan yang kau cintai disambar laki-laki lain.”
”Tidak! Aku belum muak. Aku masih mau hidup. Aku bisa membalas budi orangtuaku. Aku bisa utang ke bank atau jual organ tubuhku untuk membayar utangku ke mereka. Aku bisa hidup dengan bekerja. Aku harus bangun! Aku harus kerjaaa!!!”
Baca juga: Cendana
Saat meradang meneriakkan kalimat itu, tubuhnya sempat kembali berwujud manusia selama sepersekian detik. Namun, begitu kalimat itu selesai ia ucapkan, ia kembali lagi menjadi debu yang terburai di atas kasur kusam.
Percakapan antara dirinya dan dirinya yang lain terhenti. Ia berteriak lagi untuk mengembalikan wujud tubuhnya, namun upayanya gagal. Ia mencoba berteriak lebih keras, tetapi tetap gagal. Ia terus mencoba berteriak lebih keras dengan kata-kata yang mengandung semangat hidup yang lebih menggebu-gebu, namun tetap saja ia gagal mengembalikan wujud tubuhnya.
Ia teringat neneknya yang telah meninggal saat ia masih berusia 12 tahun—28 tahun yang lalu. Mungkin beginilah rasanya mati, ia berpikir begitu. Ia mencoba memanggil neneknya.
Setahunya, orang mati bisa bertemu dengan orang mati dan bisa menembus ruang dan waktu dalam sekejap. Ia yakin bahwa ia kini berada di alam dan dimensi yang sama dengan neneknya.
”Nenek? Nek? Nek? Apa Nenek bisa mendengarku? Nenek, kau di mana? Kemarilah. Aku sudah mati, Nek.” Tidak ada jawaban. Ia mencoba sekali lagi, tapi tetap tak ada jawaban. Ia berpikir bahwa dimensi orang mati ternyata punya ruang dan waktu juga.
Ia mulai putus asa. Perasaan bahwa dirinya telah mati sirna dan ia kembali pasrah pada kenyataan bahwa dirinya masih hidup. Dalam keputusasaan, ia menerawang langit-langit, menyapu pandang seisi kamarnya.
”Apa yang harus aku lakukan? Aku harus bekerja! Aku masih hidup! Aku belum mati!
Aku butuh bekerja untuk mendapatkan uang! Aku butuh uang untuk meneruskan hidup! Aku butuh uang untuk membayar utang budi pada orangtuaku!”
Ia merunut-runut korelasi antara hidup dan uang. Cari uang untuk hidup? Hidup untuk cari uang?
”Kenapa aku harus lahir ke dunia ini!!!” ia berteriak, dan lagi-lagi tidak ada suara apa pun dari kamarnya yang terdengar oleh tetangganya.
Sekarang sudah pukul 16.45. Ia teringat atasannya yang selalu menekannya dengan beban kerja yang terus bertambah. Jika ia berhasil memenuhi target kerja secara konsisten dalam beberapa bulan, beban kerjanya akan ditambah dengan gaji yang tetap. Begitu selalu.
”Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Hari esok harus lebih baik dari hari ini. Motivasi dirimu untuk terus meningkatkan kinerja dan produktivitasmu. Jadikan dirimu lebih baik dari hari ke hari. Jangan ada istilah puas!” kata atasannya yang selalu berlagak seperti pemilik saham perusahaan.
Setiap kali mendengar kalimat-kalimat seperti itu, rasanya ia ingin sekali meludahi wajah atasannya dengan dahak yang paling kental. Ia ingat seringai di wajah atasannya ketika memberinya surat peringatan kedua. Ketika itu, ia mendengar kata-kata makian dari mulut atasannya dan itu membuatnya nyaris kehilangan kendali.
”Sekali lagi kau maki aku, kupecahkan bibirmu!” katanya.
Ibarat wasit sepak bola yang mengeluarkan kartu merah ketika menghadapi pemain yang protes saat menerima kartu kuning, atasannya merespons ancamannya itu dengan surat peringatan ketiga berselang setengah jam kemudian.
”Mulai sekarang, kau sudah bisa bersiap-siap untuk menjadi pengangguran. Perusahaan akan membuat catatan buruk mengenai kinerjamu selama di sini dan tidak akan ada perusahaan mana pun yang mau menerimamu,” kata atasannya saat menyerahkan amplop berisi surat peringatan itu di tempat duduknya. Ia tidak membuka sama sekali amplop surat peringatan ketiga itu dan langsung membuangnya ke tong sampah.
Sekarang sudah pukul 17.15. Petang menjelang. Bayangan menjadi seorang penganggur terbentuk jelas di kepalanya: berjalan sendiri di sebuah jalan yang sepi, bertelanjang kaki, dan di kanan-kiri orang-orang menertawakannya keras-keras, seakan-akan ia adalah seorang pelawak paling lucu di dunia.
Baca juga: Semesta Tubuh Putu Sarma!
Di langit-langit kamarnya, di balik sebuah lingkaran tali yang ia ikat dengan kencang sejak sebulan yang lalu, ia melihat awan putih besar turun menuju kasurnya. Awan putih itu menjelma seekor elang raksasa dengan sayap yang terentang ke bawah dan bersiap menyambutnya.
”Naiklah,” kata elang awan itu, ”Tidak ada yang perlu kau takutkan. Di sana, di balik langit, kau akan bahagia.”
Sejenak, berbagai hal muncul di kepalanya dalam sekelebat: tentang saudara-saudaranya yang hanya peduli tentang pencapaiannya, tentang teman-temannya yang menghilang satu per satu, tentang sulitnya mencari pekerjaan, tentang banyak hal, tentang ini, tentang itu…zzzzzzzzzzzzzzp. Lalu, dalam sepersekian detik, muncul bayangan seorang psikolog, yang selama ini sering melintas di beranda media sosial, sedang memberikan nasihat bagi orang-orang yang mengalami gangguan mental. Psikolog itu menganjurkan agar orang-orang seperti dirinya berkonsultasi dengan ahli dan ia tahu bahwa mengikuti anjuran itu berarti memotong sebagian besar gajinya yang bisa ia pakai buat biaya ini-itu. Ia tersenyum, lalu tertawa keras-keras, mendengar kata-kata psikolog itu di kepalanya.
Menepis sebutir keraguan yang tersisa, ia mengikuti arahan elang awan putih besar itu. Tubuhnya segera kembali seperti sedia kala, dengan kedua kaki melayang di atas kasur. (*)
Abul Muamar, bermastautin di Cawas, Klaten. Buku kumpulan cerpennya, Pacar Baru Angelina Jolie (Gorga, 2019)