Yusy Marie, jurnalis dan pendiri Rumah Baca Bahijau, telah menularkan semangat literasi kepada anak-anak di Kalteng.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
Bagi wartawan lingkungan, masuk pelosok, menelisik di antara pepohonan, menerobos kabut asap kebakaran hutan dan lahan bahkan melintasi banjir adalah hal biasa. Namun, Yusy Marie memilih jalan lebih menantang. Sembari menunaikan tugas profesinya, dia ikut menularkan semangat literasi kepada anak-anak di daerah yang ia datangi.
Yusy tidak akan pernah melupakan pengalamannya pada pertengahan Juni 2019. Sembari mengerjakan tugas jurnalistik, untuk pertama kalinya, dia membawa banyak buku ikut serta.
Tujuannya mulia. Dia ingin menularkan virus literasi pada anak-anak di daerah tempatnya meliput. Kunjungan baca, begitu Yusy menamakan kerja sosialnya itu.
Lokasinya pertama yang ia datangi adalah daerah banjir di Desa Buntut Bali, Kecamatan Pulau Malan, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Jaraknya 141 kilometer dari Kota Palangkaraya, ibu kota Kalteng.
Saat itu, hujan deras memicu banjir yang merendam desa. Sambil menggali informasi dari ibu-ibu setempat, Yusy mengambil kantong kain merah yang ia bawa. Di dalamnya, ada belasan buku cerita anak-anak.
Ia kemudian memanggil anak-anak yang sedang melempar-lempar daun ke genangan banjir membuat daun-daun itu ”berlayar” mengarungi banjir. Saat anak-anak itu asyik membaca, Yusy kembali menggali informasi soal banjir kepada para perempuan di desa tersebut.
Setelah meliput, Yusy kemudian bertanya kepada anak-anak soal bacaan yang mereka pilih. ”Mereka bilang, membaca tentang orangutan, cerita rakyat, hingga kehidupan di hutan,” kata Yusy menirukan jawaban anak-anak itu.
Peristiwa serupa berulang saat Yusy dan wartawan lainnya menembus hutan belantara menuju Desa Tumbang Oroi, Kabupaten Gunung Mas, pada September 2022. Mereka hendak meliput festival pangan untuk memeringati Hari Tani Nasional yang diinisiasi masyarakat adat di sana bersama beberapa lembaga.
Meski butuh enam jam untuk tiba di sana dari Palangkaraya, Yusy tidak melupakan membawa buku-buku miliknya. Selain buku bacaan, ia membawa buku gambar lengkap dengan krayon dan pensil warna.
”Anak-anak itu gemar dengan gambar atau visual jadi yang saya bawa, ya, buku yang bergambar, sayangnya buku untuk anak-anak tentang Kalteng ini masih sangat sedikit,” kata Yusy saat ditemui di Palangkaraya, Selasa (16/4/2024).
Taman baca
Yusy Marie, Literasi Hijau untuk Anak-anak Kalteng.
Kunjungan baca hanya secuil dari beragam persinggungan Yusy dengan dunia literasi. Sejak belia, dia sangat akrab dengan buku. Ayahnya, kepala sekolah di Katingan, selalu membeli buku-buku baru untuk disimpan di perpustakaan sekolah. Saat itu, Yusy dan saudara-saudaranya kerap membaca lebih dulu.
Menginjak bangku sekolah ia makin akrab dengan buku. Saking mesranya dengan buku-buku itu, Yusy kerap menghabiskan waktu lebih lama di sekolah untuk membaca di perpustakaan. ”Pernah satu kali saya sembunyi di perpustakaan agar tidak disuruh keluar saat petugasnya istirahat. Saya baru pulang setelah perpustakaan benar-benar ditutup,” ucapnya disusul tawa.
Pengalaman dengan buku itu juga yang membawanya pada mimpi punya rumah baca untuk semua kalangan. Semua bisa membaca tanpa jeda. Mimpi itu terwujud pada tahun 2016.
Kalau hanya menulis (berita) saja enggak cukup. Saat anak-anak diberikan kesadaran lingkungan sejak dini, aku yakin banyak yang mereka bisa buat untuk lingkungannya
Bersama Johanes Jenito, rekannya yang juga wartawan, ia membentuk Rumah Baca Bahijau (RBB). Bahijau artinya hijau dalam bahasa Dayak Ngaju. Bersama RBB, kerja-kerja literasinya kian kaya. Yusy jadi kerap mengikuti kegiatan Balai Bahasa Provinsi Kalteng.
Ia juga mendapat bantuan dari Dinas Pendidikan Kota Palangkaraya pada 2018. Hal itu membuat RBB masuk dalam kategori Taman Baca Masyarakat (TBM) yang dikelola secara mandiri oleh Yusy.
Buku anak
Yusy Marie, Literasi Hijau untuk Anak-anak Kalteng.
Tahun 2019, Yusy juga memberanikan diri ikut sebuah kompetisi menulis buku anak. Berhasil, tulisannya terpilih sebagai salah satu yang terbaik dan kemudian dipublikasi,
Tulisan itu, bersama illustrator kemudian dicetak menjadi buku dengan judul Alba Orangutan Baputih. Ceritanya tentang kisah nyata Alba, orangutan albino yang beritanya pernah menghebohkan Kalteng bahkan dunia. Alba adalah satu-satunya orangutan albino yang pernah ditemukan.
Tidak hanya itu, Yusy kemudian membuat buku cerita anak-anak lagi. Kali ini, judulnya Namaku Ara. Cerita tentang Ara, anak suku Dayak. Seperti yang pertama, buku itu ditulis dalam dua bahasa, yakni Indonesia dan Dayak Ngaju.
”Saya miris kalau ketemu anak Dayak yang bicara pakai bahasa Indonesia dengan orangtuanya, bukan pakai bahasa ibu. Saya khawatir, bahasa daerah hilang karena itu identitas juga hilang,” ungkap Yusy.
Upaya Yusy untuk meningkatkan literasi anak-anak Kalteng perlahan kian dikenal. Ia kemudian dibantu PT PLN Persero Unit Induk Distribusi (UID) Wilayah Kalimantan Selatan-Kalimantan Tengah. Wujudnya, satu unit mobil dengan label Rumah Baca Bahijau.
Kepercayaan banyak pihak mendorong Yusy membuat Rumah Baca Bahijau menjadi lembaga yang kian tertata. Kini, selain dirinya sebagai pimpinan dan dua kakaknya yang membantunya, Yusy didampingi 10 sukarelawan literasi.
Kegiatannya pun tidak hanya membaca dan menulis. Ada begitu banyak kegiatan yang sudah dibuat, mulai dari kerajinan tangan membuat sabun dari bahan alami, ecoprint, bahkan menari khas Dayak.
”Kalau hanya menulis (berita) saja enggak cukup. Saat anak-anak diberikan kesadaran lingkungan sejak dini, aku yakin banyak yang mereka bisa buat untuk lingkungannya,” kata Yusy yang kini dipercaya menjadi Ketua Taman Baca Masyarakat (TBM) Kalteng.