Simone Inzaghi membawa Inter Milan meraih juara Serie A ke-20. Ini adalah gelar juara liga pertamanya sebagai pelatih.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
Cukup sudah membandingkan Simone Inzaghi dengan kakaknya, Filippo Inzaghi. Kedua mantan pesepak bola asal Italia ini punya jalannya masing-masing. Filippo adalah legenda penyerang dunia dan meraih banyak piala sebagai pemain. Sementara Simone menjelma pelatih terkemuka. Terakhir, ia membawa Inter Milan menyabet juara Serie A yang ke-20.
Selasa (23/4/2024) dini hari, Simone berlari ke dalam lapangan setelah wasit meniup peluit akhir pertandingan di Stadion San Siro, kota Milan, Italia. Wajahnya semringah. Inter baru saja menaklukkan rival sekota, AC Milan, dengan skor tipis 1-2. Hasil itu juga menjadikan Inter penguasa Italia tahun ini.
Bahagia tidak hanya ada di wajahnya. Simone berteriak sambil melompat. Kepalan tangannya meninju udara. Rekan dan staf pelatih memeluknya penuh haru. Satu per satu pemain juga didatanginya. Bersama Interisti, pendukung Inter, dia menari di lapangan.
Bahagia jadi kata yang tepat untuk menggambarkan ekspresi itu. Gelar itu membuatnya sudah mencicipi semua kompetisi di Italia, baik sebagai pemain maupun pelatih. Juara liga ini menjadi yang pertama diraih Simone sejak dirinya memutuskan menjadi pelatih.
Apalagi, tahun ini, gelar itu terasa istimewa. Bagaimana tidak, saat Liga Italia masih menyisakan lima pertandingan, Inter sudah mengklaim trofi kasta tertinggi Italia tersebut.
Bahkan, menurut catatan Opta, tidak ada tim lain di Italia yang pernah memastikan gelar juara lebih dini daripada Inter. Bukan hanya sekali, Inter Milan sudah melakukannya dua kali. Pencapaian serupa mereka ukir pada musim 2006-2007.
”Sungguh perasaan luar biasa. Ada banyak tokoh baik (atas capaian), saya memikirkan para pemain saya, klub, presiden kami. Dan pikiran saya juga tertuju kepada keluarga. Sering kali saya membawa pekerjaan ke rumah,” katanya seusai pertandingan melawan AC Milan, seperti dikutip dari DAZN.
Saat wawancara langsung oleh DAZN, platform streaming olahraga asal Inggris, Simone sempat berbincang dengan kakaknya, Filippo, yang ada di studio. Saat itu juga, Pippo, sapaan Filippo, mengakui kehebatan adiknya.
”Secara teknis, Simone lebih baik dariku. Simone (dulu) memiliki masalah di punggung yang menghentikannya bergabung ke (AC) Milan (sebagai pemain). Namun, saya rasa apa yang ia lewatkan sebagai pemain, kini ia dapatkan sebagai pelatih,” ucap Pippo. Keduanya pun tersenyum dengan mata berbinar.
Pippo memang sukses besar sebagai pemain, mulai dari klub Piacenza, Atalanta, Parma, Juventus, hingga AC Milan. Sudah begitu banyak trofi didapatkan sebagai pemain jika dibandingkan dengan adiknya yang mengakhiri kariernya di Lazio.
Akan tetapi, sebagai pelatih, Pippo belum memenangi piala apa pun. Prestasi terbesarnya membawa Benevento promosi ke Serie A dari Serie B. Kini, ia bahkan belum kembali melatih sejak dipecat oleh klub promosi Serie B lainnya, Salernitana. Posisinya diganti Fabio Liverani pada 11 Februari 2024 lalu.
Hapus keraguan
Simone memulai kariernya sebagai pelatih sejak pensiun sebagai pemain di Lazio pada 2010 di usia 34 tahun. Ia yang tak ingin berpisah dengan Lazio kemudian menjadi pelatih tim yunior Lazio selama lebih kurang enam tahun.
Manajemen Lazio kemudian meminta Simone untuk menjadi pelatih kepala tim senior. Ia menggantikan Stefano Pioli, kini pelatih AC Milan, yang dipecat pada 2016.
Bersama Lazio, ia meraih piala. Dia menyabet dua juara Piala Super Italia pada musim 2017-2018 dan musim 2018-2019. Ia juga mengantar Lazio bermain di Liga Champions pada musim 2019-2020. Ini untuk pertama kalinya sejak 2007-2008 atau 12 tahun berselang.
Ragam prestasi itu membuat Inter kepincut tiga tahun lalu. Kebetulan, Inter merindukan sosok pelatih sekelas Jose Mourinho dan Antonio Conte, yang bisa memberi banyak gelar. Simone mengingat momen itu di sela-sela para pemain menikmati juara liga, Selasa dini hari itu.
Simone mengatakan, hati kecilnya ingin tetap di Lazio. Apalagi, banyak pihak yang meremehkan kepindahannya ke Inter. Keraguan makin besar karena sejumlah pemain andalan, seperti Romelu Lukaku, Achraf Hakimi, hingga Edin Dzeko, memilih pergi.
Akan tetapi, ia menjawab keraguan itu dengan menjuarai Piala Super Italia dan Piala Italia pada musim pertama 2021/2022 sebagai manajer. Saat itu, ia juga mengantar Inter ke babak 16 besar Liga Champions dan urutan kedua Liga Italia.
Musim kedua, ia kembali mempersembahkan satu Piala Super Italia dan satu Piala Italia di tahun 2023. Inter, yang kala itu tengah berhemat, bahkan berlaga di final Liga Champions 2023 berhadapan dengan tim kaya raya, Manchester City. Inter kalah 0-1 melawan juara Liga Inggris itu.
Tahun ini, selain Liga Italia, ia juga mempertahankan Piala Super Italia. Dia juga menjadi satu dari lima manajer Inter yang meraih 100 kemenangan atau lebih. Empat lainnya adalah Helenio Herrera, Roberto Mancini, Giovanni Trapattoni, dan Arpad Weisz.
Hadiah terbaik
Atas prestasinya, Simone dijuluki ”The Chef” atau ”Sang Koki”. Bukan karena jago di bidang kuliner, melainkan dikenal pandai meramu strategi sepak bola.
Di tangannya, Inter menguasai Italia. Mereka mengoleksi 79 gol atau 15 gol lebih banyak dari pesaing terdekatnya, AC Milan. Mereka juga hanya kebobolan 18 gol selama 33 pertandingan musim ini.
Bahkan, dari 33 pertandingan itu, Inter hanya satu kali kalah dari US Sassuolo Calcio pada September 2023. Catatannya, il Nerazurri bisa 27 kali menang dan lima kali seri.
Pola tiga bek miliknya, misalnya, sukses membuat pemain belakang kerap mencetak gol, tetapi tidak kedodoran saat bertahan. Tidak heran bila bek seperti Allesandro Bastoni dan Francesco Acerbi punya catatan gol di musim ini. Bek sayap, seperti Matteo Darmian, Frederico Dimarco, dan Denzel Dumfries, juga sangat merepotkan lawan. Selain gol, umpan mereka kerap memanjakan dua penyerang, Lautaro Martinez dan Marcus Thuram.
Pemilik Inter Milan Steven Zhang mengakui, Simone mampu membentuk mental juara pada diri pemain, rasa hormat dan rasa percaya diri. Tidak hanya itu, penghematan yang dilakukan Simone saat mendatangkan Hakan Calhanoglu hingga Thuram membuat Inter tidak kehilangan sentuhannya.
”Dia (Simone) adalah hadiah terbaik,” kata Zhang.
Akan tetapi, Simone tidak ingin terbang terlalu tinggi. Dia masih berusaha membumi dengan kisah jungkir baliknya di tiga tahun terakhir bersama Inter.
”Enam tropi dan final Liga Champions adalah hal luar biasa. Kami telah mencatatkan hal baik selama semusim. Namun, kemenangan ini menjadi kisah perjalanan panjang yang harus kami lalui,” katanya. (AFP)