Polisi Dalami Kasus Konvoi Kelulusan Pelajar yang Gunakan Atribut Bintang Kejora di Papua Tengah
Polisi tidak menahan pelajar di Nabire dan Dogiyai yang merayakan kelulusan dengan atribut bintang kejora.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·2 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS – Kepolisian merespons adanya konvoi kelulusan pelajar sekolah menengah atas di beberapa daerah di Papua Tengah, (6/5/2024). Hingga kini kepolisian masih mendalami insiden ini, tetapi memastikan tidak menahan para pelajar yang terlibat.
Di Nabire, belasan pelajar sempat ditangkap seusai berkonvoi dengan kendaraan bermotor dan mengenakan atribut bintang kejora. Sementara itu, belasan pelajar dengan atribut bintang kejora dari salah satu SMA di Dogiyai berkonvoi dengan mengarak kepala sekolah di pusat keramaian kota.
”Tidak ada penahanan dan hanya diawasi. Kejadian di Nabire, para siswa hanya dimintai keterangan dan dipulangkan pada Senin malam,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua Komisaris Besar Ignatius Benny Ady Prabowo, saat dihubungi di Jayapura, Papua, Rabu (8/5/2024).
Adapun dalam keterangan pers, Selasa (7/5/2024), Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengungkapkan, ada respons berlebihan dari aparat kepada pelajar di Papua yang merayakan kelulusan dengan atribut bendera bintang kejora.
Usman juga menyebutkan, dari informasi kredibel yang diterima Amnesty International Indonesia, polisi menangkap dan memukul, bahkan hingga melakukan penembakan kepada para pelajar.
”Aparat menangkap empat laki-laki dan dua perempuan, disertai dengan dugaan pemukulan. Hingga kini, identitas enam pelajar tersebut belum teridentifikasi,” ujarnya.
Usman turut menyayangkan tindakan represif tersebut hanya karena atribut bintang kejora. Padahal, simbol tersebut hanya bagian dari ekspresi budaya dan seharusnya tidak bisa menjadi alasan bagi aparat untuk menindas dan menahan tanpa proses hukum yang adil.
Kepala Polres Nabire Ajun Komisaris Besar Wahyudi Satriyo Bintoro membantah pihaknya melakukan tindakan kekerasan dan penahanan. Ia menceritakan, kronologi pembubaran berawal dari laporan warga karena aksi konvoi dengan kendaraan bermotor tersebut mengganggu aktivitas masyarakat.
”Ada laporan, pelajar ini mengganggu ketertiban lalu lintas. Mereka juga menggunakan atribut bintang kejora saat berkonvoi di pusat kota Nabire. Saat dimbau polisi, para pelajar tidak mengindahkan dan justru memberikan perlawanan sehingga kepolisian memberikan peringatan dengan menembakkan peluru hampa,” ucapnya.
Simbol tersebut (bintang kejora) hanya bagian dari ekspresi budaya dan seharusnya tidak bisa menjadi alasan bagi aparat untuk menindas dan menahan tanpa proses hukum yang adil.
Para pelajar yang terus melakukan perlawanan lalu melarikan diri hingga ke permukiman warga. Akhirnya, lanjut Wahyudi, sebanyak 15 pelajar diamankan oleh warga yang merasa terganggu dari aksi para pelajar tersebut.
”Justru untuk menghindari tindakan sepihak dari warga, kepolisian lalu mengamankan para pelajar serta dilakukan pemeriksaan di Polres Nabire,” lanjut Wahyudi.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Nabire Ajun Komisaris Bertu Haridyka juga menyatakan, para pelajar hanya dimintai keterangan. Namun, pihaknya akan mendalami pihak yang memengaruhi para siswa mengenakan atribut yang diasosiasikan dengan gerakan separatis tersebut.
Sementara itu, Polres Dogiayai menyampaikan, kepala sekolah yang ikut dalam pawai bersama pelajar di Dogiyai telah melakukan klarifikasi kepada kepolisian, Selasa (7/5/2024). Kepala sekolah tersebut meminta maaf dan menyebut tindakan tersebut merupakan inisiatif dari siswa.
Dalam unggahan foto tersebar di media sosial, tampak para pelajar mengenakan seragam yang digambar bercorak lambang bintang kejora. Selain itu, mereka turut mengarak kepala sekolah dengan digotong di atas kursi kayu sambil berjalan kaki berkeliling di pusat keramaian di Dogiyai.
Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Polres Dogiayai Insprektur Dua Baba Halmin menyebutkan, saat aksi pawai, pihaknya hanya mengawasi saat kejadian berlangsung pada Senin siang.
”Kami memilih hanya mengawasi aksi mereka dan memilih tidak melakukan pembubaran untuk menghindari bentrok. Jadi, kami hanya monitor,” ujar Baba.