Kasus kekerasan di perguruan tinggi kedinasan yang berulang seharusnya menjadi pelajaran bagi para pemangku kepentingan.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Kekerasan di perguruan tinggi kedinasan yang terus berulang tak cukup direspons dengan evaluasi. Perlu pembenahan sistem pendidikan secara menyeluruh.
Tidak ada data resmi kasus kekerasan di perguruan tinggi kedinasan ini, tetapi dari tahun ke tahun selalu saja ada pemberitaan tentang kasus kekerasan di perguruan tinggi yang berada di bawah naungan kementerian/lembaga tersebut, bahkan beberapa di antaranya berujung kematian. Kasus terakhir terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta yang mengakibatkan seorang mahasiswa/taruna meninggal (Kompas, 6/5/2024).
Seperti halnya kasus di STIP, kasus-kasus lainnya umumnya terjadi di perguruan tinggi kedinasan yang menerapkan pendidikan semimiliter. Namun alih-alih membentuk mental dan menumbuhkan kedisiplinan, sistem pendidikan ini sering kali justru menumbuhkan tradisi kekerasan di kampus. Tradisi ini semakin subur dengan adanya pola pembinaan oleh senior.
Dengan dalih untuk menegakkan disiplin, siswa senior berhak menghukum siswa yunior. Dalam praktiknya, hukuman yang diterapkan berupa hukuman fisik, baik itu pukulan maupun bentuk kekerasan fisik lainnya. Relasi kuasa yang tidak seimbang akibat budaya senioritas yang kaku dan hierarkis menyebabkan tidak ada perlawanan ketika hukuman itu dilakukan. Bahkan, tak jarang kasus kekerasan ”ditutupi” dengan alasan demi nama baik kampus dan dianggap wajar.
Evaluasi yang dilakukan beserta sanksi hukum pidana terhadap pelaku ketika hukuman fisik tersebut berujung kematian ternyata belum membawa perubahan. Kasus demi kasus kekerasan yang berujung kematian terus terjadi di perguruan tinggi kedinasan. Kasus di STIP Jakarta tersebut juga bukan kali pertama. Pada 2017 juga terjadi kasus serupa di perguruan tinggi kedinasan yang berada di bawah naungan Kementerian Perhubungan tersebut.
Berulangnya kasus kekerasan yang berujung kematian STIP Jakarta tersebut mengingatkan kita pada kasus serupa di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Pemberitaan tentang kekerasan, bahkan berujung kematian, di IPDN (semula bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) beberapa kali mewarnai pemberitaan di media massa.
Berpijak dari kasus yang terjadi pada 2007, Kementerian Dalam Negeri yang menaungi IPDN mengubah manajemen perekrutan mahasiswa dan menghapus pola pembinaan oleh senior (Kompas.id, 511/2021). Namun, ini juga belum membawa perubahan yang signifikan. Kasus kekerasan fisik yang berujung kematian tetap saja terjadi di IPDN pada 2008.
Setiap sistem pendidikan tentu bertujuan baik, demikian juga pendidikan semimiliter yang bertujuan menumbuhkan karakter disiplin serta jiwa nasionalisme dan kepemimpinan. Pertanyaannya, apakah penerapan sistem pendidikan ini di perguruan tinggi kedinasan sudah sesuai dengan tujuan itu?
Kasus kekerasan di perguruan tinggi kedinasan sudah terlalu banyak. Kasus-kasus yang terjadi juga tak kunjung memberikan pembelajaran bagi para pemangku kepentingan terkait. Untuk ini, perlu pembenahan sistem pendidikan di sekolah tinggi kedinasan secara menyeluruh.