Idealnya, keamanan ruang publik dijamin aparat resmi, kendaraan dilindungi asuransi, dan parkir dikelola pemerintah.
Oleh
LYNDA IBRAHIM
·5 menit baca
Sebagai perempuan yang lahir di Jakarta dan setelah dewasa menyetir sendiri, saya menjelang pasrah menghadapi fenomena juru parkir liar. Susah-susah sendiri mencari celah di parkiran terbatas di pinggir jalan, begitu keluar dimintai uang. Padahal juga kalau sampai, amit-amit, mobil lecet atau dimaling selama parkir, tukang parkir akan cuci tangan. Berani tidak kasih uang? Mobil digebrak itu minimal.
Paling jengkel adalah masuk ke area bergardu parkir resmi, tapi di dalam masih ada tukang parkir "setempat". Puluhan tahun sebelum direnovasi demi Asian Games 2018, itu kondisi Gelora Bung Karno. Sampai tahun ini, tetap begitu di segenap kawasan Jakarta. Tahun lalu, seorang warga Twitter mengomel tentang situasi ini di Blok M. Tukang parkir hilang sebentar, muncul lagi setelah kecaman publik mereda.
Saya berusaha jernih melihat fenomena ini lebih dari tukang parkir sebagai individu, tapi sebagai gado-gado basi dari setumpuk isu.
Pertama, ketidakmampuan pemerintah menyediakan transportasi umum yang nyaman, terjangkau, dan terkoneksi baik sehingga rakyat merasa perlu memiliki kendaraan pribadi. Saat pendapatan naik lebih cepat dari ruang bermobilitas, bukan saja jalanan macet, kebutuhan lahan parkir pun meroket.
Padahal, lahan cenderung terbatas bagi tempat usaha mandiri, atau tersedia tetapi mahal dalam gedung. Akhirnya, muncullah "pasar gelap" parkir—yang penting bisa meletakkan kendaraan dalam jarak dan biaya terjangkau. Hampir seluruh jalan kecil di belakang jajaran pencakar langit di Sudirman dan Gatot Subroto menawarkan parkiran partikelir, masing-masing dikawal tukang parkir. Contoh lain, kawasan di belakang Senayan City; sekian rumah menyulap diri sebagai rumah indekos, warung makan, dan parkiran motor pekerja mal dengan tarif jauh lebih rendah dari mal. Lahan, persoalan kedua.
Penonton setia dokumenter mafia paham bahwa kelemahan aparat hukum resmi melahirkan kebutuhan ”pelindung setempat" yang lalu diisi preman yang berpotensi menjadi organisasi kriminal.
Ketiga, jumlah manusia usia kerja selalu melampaui jumlah pekerjaan. Selain seretnya pemerintah menyuburkan iklim bisnis demi menyerap tenaga kerja, harus diakui keserampangan orang Indonesia bereproduksi tanpa henti.
”Tiap anak punya rezekinya masing-masing" ditelan mentah-mentah jutaan orang sekian generasi sehingga sampailah di sini, 280 juta jiwa dengan persentase terbesar usia muda tanpa lapangan kerja memadai. Sialnya, dibarengi sistem pendidikan yang tak selalu mencetak manusia yang cerdas akademis atau minimal terampil. Akhirnya? Pekerjaan di sektor informal, pekerjaan serabutan, yang penting bisa makan. Termasuk jadi juru parkir liar.
Sebelum Anda marah-marah, sila tengok laporan Badan Pusat Statistik terbaru tentang 10 juta warga negara berusia 15-24 tahun, terhitung gen Z (12-27 tahun), yang tidak sekolah atau bekerja (not in employment, education, and training). Bisa dibaca juga strata ekonomi dari mayoritas 10 juta jiwa ini.
Restoran Padang dekat kediaman saya lama dijaga tukang parkir berseragam biru, seorang bapak setengah baya. Tahun lalu saya mendapati tukang parkirnya anak muda usia 20-an, ternyata putra tukang parkir sebelumnya yang meninggal karena sakit. Menurut dia, sang ayah berpesan untuk melanjutkan pekerjaannya. Di satu sisi, saya sedih tiada ”lompatan nasib" antargenerasi. Di sisi lain, saya sadar anak itu tak luntang-lantung menganggur karena, walau seadanya, ia diwarisi pekerjaan.
Keempat, dan ini mungkin paling sensitif, isu keamanan. Idealnya, keamanan ruang publik dijamin aparat resmi, kendaraan wajib dilindungi asuransi, dan parkir sepenuhnya dikelola pemerintah. Tapi bukan itu realitas di Jakarta. Penonton setia dokumenter mafia paham bahwa kelemahan aparat hukum resmi melahirkan kebutuhan "pelindung setempat" yang lalu diisi preman yang berpotensi menjadi organisasi kriminal. Saat saya iseng tanya, para tukang parkir di lokasi mandiri yang sering saya datangi seperti toko kue, salon, dan bahkan pusat fotokopi, mengakui tiap wilayah ”dikuasai” kelompok tertentu, kadang malah ormas, yang harus mereka kasih setoran tiap hari. Salah satu bercerita ia mendapat pekerjaan itu karena abangnya dulu tukang parkir di situ sebelum ”naik jabatan” sebagai penjaga keamanan di tempat hiburan malam yang wilayahnya juga dikuasai kelompok yang sama.
”Masa Mbak ndak paham, kan, orang Jakarta. Saya yang pendatang aja ngerti,” tukasnya. Waktu saya jawab saya tak berpengalaman kerja dengan preman, ia cengengesan.
Untuk adilnya, pemerintah administratif Jakarta telah mengupayakan beberapa titik parkir pinggir jalan yang berbayar melalui mesin—saya pernah menggunakannya di Pinangsia dan Pasar Mayestik. Titik-titik itu dijaga petugas parkir berseragam biru yang, karena saya masih manusia, acap saya beri uang walau biaya parkir saya selesaikan di mesin. Tapi titik-titik ini selain terlalu sedikit, sampai mayoritas warga Jakarta tak sadar keberadaannya, belakangan mulai tidak berfungsi karena mesinnya ngadat.
Gubernur Jakarta harus bisa mengatasi macet dan banjir. Kali ini, wajib ditambah syarat bisa memberantas polusi dan parkir liar.
Untuk adilnya juga, tak semua tukang parkir liar menyebalkan. Tukang parkir di toko kue langganan di pertigaan ramai selalu siaga saat saya keluar mobil mundur dan patah berbelok. Tukang parkir di minimarket sebelah klinik fisioterapi selalu memprioritaskan dengan alasan kasihan seseorang berbahu cedera harus menyetir sendiri. Bisa saja, seperti cetusan teman saya, mereka baik karena saya perempuan. Bisa juga mereka dasarnya perhatian. Tapi yang jelas, mereka ada karena keadaan.
Keadaan berupa buruknya transportasi publik, terbatasnya lahan, banjirnya SDM berkualitas rendah dibanding lowongan pekerjaan, dan kesempatan tumbuhnya premanisme yang lalu menghasilkan gado-gado basi berupa problema parkir partikelir.
Saya menghargai Dinas Perhubungan Jakarta yang diberitakan minggu ini menertibkan seratusan tukang parkir liar di puluhan minimarket, tapi dampaknya semu apabila hulunya tidak diurai. Di sekitar kediaman saya ada dua minimarket dan sekian tempat usaha mandiri—sampai siang ini semuanya digawangi tukang parkir, termasuk yang tak berseragam biru resmi. Bahkan kalau mereka sampai terangkut Dishub, saya, kok, yakin mereka balik dalam hitungan minggu.
Presiden sudah dikontestasikan, Gubernur Jakarta berikutnya. Dari dulu saya berpendapat, Gubernur Jakarta harus bisa mengatasi macet dan banjir. Kali ini, wajib ditambah syarat bisa memberantas polusi dan parkir liar. Dan seharusnya warga Jakarta yang waras dan ingin maju juga peduli pada kemampuan manajerial ini jauh sebelum terbeli simbol primordial. Katanya Jakarta mau dijadikan ”ibu kota” ekonomi? New York-nya Indonesia? Maka makin tak mungkin Jakarta bertahan seperti kampung raksasa yang tumbuh sekenanya tanpa pengelolaan dan penataan profesional.