Pilpres 2024 dinilai sebagai pesta demokrasi terburuk karena sarat kecurangan. Akankah kecurangan terulang di pilkada?
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Atmosfer kontestasi dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak 2024 mulai terasa. Partai-partai politik mulai saling lobi, menjajaki kerja sama untuk mengusung bersama kandidat di sejumlah daerah. Di sisi lain, para bakal calon kepala daerah juga sudah mulai bergerilya, mendaftarkan diri untuk mengikuti penjaringan kandidat di banyak partai, demi mendapat tiket pilkada.
Penjajakan demi penjajakan dilakoni para elite partai politik dan bakal kandidat demi membangun kerja sama politik. Sebab, tidak semua partai bisa mengusung pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sendiri. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pilkada) mengatur, hanya parpol atau gabungan parpol yang menguasai minimal 20 persen kursi DPRD atau memperoleh paling sedikit 25 persen suara sah pada pemilu terakhir yang bisa mengajukan kandidat ke Komisi Pemilihan Umum.
Di sisi lain, para bakal calon kepala daerah yang ingin turut berkontestasi melalui jalur perseorangan juga sudah bergerilya mengumpulkan dukungan dari penduduk setempat. Maklum saja, UU Pilkada mensyaratkan bakal kandidat yang akan maju dari jalur perseorangan harus mengantongi dukungan minimal 6,5 persen hingga 10 persen dari total penduduk yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) di daerah yang menggelar pilkada.
Untuk bisa maju di Pilkada DKI Jakarta, misalnya, bakal calon perseorangan harus mendapatkan dukungan dari minimal 618.968 penduduk yang terdaftar dalam DPT Pemilu 2024. KPU DKI Jakarta menetapkan jumlah daftar pemilih Pemilu 2024 sebanyak 8.252.897 pemilih. Sementara itu, Undang-Undang No 10/2016 tentang Pilkada mengatur, provinsi dengan total DPT 6 juta-12 juta orang mengharuskan calon perseorangan mendapatkan dukungan tak kurang dari 7,5 persen penduduk yang terdaftar sebagai pemilih tetap.
Lobi-lobi politik, perburuan serta perebutan tiket kontestasi, tak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di banyak daerah. Tahun ini, untuk pertama kali, pilkada digelar secara serentak di 37 provinsi serta 508 kabupaten/kota.
Ketatnya perebutan tiket pilkada dapat menggambarkan ketatnya persaingan dalam memperebutkan dukungan suara rakyat. Situasi ini pula yang terjadi saat pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres), Februari lalu.
Ketatnya persaingan itulah yang diyakini banyak kalangan membuat para kandidat, baik calon anggota legislatif (caleg) maupun calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres), beserta timnya pada Pemilu 2024 menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan dukungan rakyat. Sejumlah kalangan bahkan menilai Pemilu 2024 merupakan pesta demokrasi paling buruk pascareformasi 1998 karena kecurangan terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Melihat kontestasi pemilu yang sarat kecurangan, publik pun bertanya-tanya, akankah kecurangan yang sama terulang dalam Pilkada 2024?
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, menduga, kecurangan serupa akan terjadi di pilkada. Bahkan, bisa jadi kecurangan di pilkada lebih berat dibandingkan saat pilpres. Bukan hanya praktik politik uang, manipulasi data pemilih dan suara serta mobilisasi aparatur negara diperkirakan akan kembali marak dalam pilkada yang digelar di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota tersebut.
”Kami menduga, dalam pilkada pada 27 November 2024, bukan tidak mungkin cara-cara kecurangan itu diulangi. Cara-cara jual-beli suara atau money politics dan tren kecurangan akan lebih kuat dibandingkan dengan pemilu presiden,” kata Feri dalam diskusi bertema ”Dampak Kecurangan Pemilu Presiden bagi Pilkada 2024” di Jakarta, Selasa (7/5/2024).
Kecurangan lain yang perlu diantisipasi adalah manipulasi data pemilih, seperti penambahan jumlah pemilih di daerah-daerah tertentu. Selain itu, ajakan kepada warga agar tidak memilih atau golput dalam Pilkada 2024 juga perlu diwaspadai. Sebab, modus pemilih dibayar agar tidak menggunakan hak pilihnya terjadi dalam pilkada.
”Jadi, ada calon yang tahu betul mereka akan membayar dengan membuat pemilih tertentu dan menjadikannya sebagai strategi memenangkan calon tertentu di pilkada serentak 2024. Mereka dibayar untuk tidak ke TPS,” kata Feri.
Mobilisasi aparatur sipil negara (ASN) untuk pemenangan kandidat kepala daerah juga perlu diwaspadai. Sebab, saat ini terdapat 198 penjabat kepala daerah yang ditempatkan di daerah. Walaupun dipilih melalui penunjukan, para penjabat itu memiliki kewenangan besar sehingga mudah bagi mereka memobilisasi ASN untuk kepentingan politik tertentu.
Cara-cara jual-beli suara atau ’money politics’ dan tren kecurangan akan lebih kuat dibandingkan dengan pemilu presiden.
Mobilisasi aparatur negara lain, seperti TNI dan Polri, yang diduga terjadi pada Pilpres 2024 juga dikhawatirkan akan berulang di pilkada. ”Bukan tidak mungkin pemilihan akan menggunakan aparat untuk memastikan hal-hal tertentu. Peran mereka ada, bahkan terkadang di titik-titik sentral saat pilkada,” ujar Feri.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan Hafiz, menambahkan, penjabat kepala daerah yang akan maju dalam kontestasi pilkada juga harus diantisipasi dengan membuat aturan tegas. ”Mereka bisa mengerahkan ASN, bahkan sampai level kepala desa dan aparatur desa menjadi kekuatan politik elektoral yang kuat dan luas. Jangan sampai hal itu disalahgunakan kembali,” ujarnya.
Politisasi bansos
Kecurangan lain yang mungkin muncul adalah politisasi bantuan sosial (bansos). Menurut Kahfi, politisasi bansos sebenarnya bukan hal baru dalam pilkada. Sebab, sudah sejak lama bansos digunakan calon kepala daerah, terutama petahana, untuk mendapatkan simpati rakyat. Indikasi politisasi bansos salah satunya terlihat dari kenaikan anggaran bansos setiap menjelang pilkada.
Praktik ini pula yang menurut Kahfi terjadi dalam pilkada serentak tahun 2020. Apalagi, saat itu, semua anggaran pemerintah memang difokuskan untuk menangani pandemi Covid-19 beserta dampaknya.
Kecurangan lain yang perlu diwaspadai adalah praktik politik uang pada tahapan pencalonan. ”Tahapan pencalonan berpotensi perkawinan antara pengusaha dengan donor atau sumbangan dana kampanye. Saat pilpres dan pileg kemarin, dana kampanye belum sepenuhnya menyajikan realitas sebenarnya. Pengaruh jangka panjangnya juga bisa merusak demokrasi,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Seira Tamara, yang juga menjadi narasumber dalam diskusi tersebut.
Sejak pilkada digelar secara langsung pada 2005, fenomena jual-beli perahu untuk dapat maju dalam pilkada semakin marak terjadi. Para bakal calon kepala daerah tak ragu-ragu membayar uang mahar demi memenuhi hajat mereka mengikuti kontestasi pilkada. Sebaliknya, ada pula parpol yang menerapkan syarat setoran sejumlah uang bagi para bakal calon kepala daerah yang ingin diusung dalam pilkada.
Setelah menjadi calon kepala daerah, tidak sedikit dari mereka yang terjebak jual-beli dukungan suara. Alhasil, kandidat dalam pilkada harus mengeluarkan ongkos politik besar karena harus membayar uang mahar hingga suara atau dukungan rakyat.
Hasil kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri pada Pilkada 2015 menunjukkan, biaya yang dikeluarkan untuk memenangi kontestasi pemilihan bupati/wali kota berkisar Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar. Sementara untuk pilgub, jumlahnya jauh lebih tinggi, berkisar Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar. Biaya politik itu jauh lebih besar daripada gaji rata-rata kepala daerah yang lebih kurang Rp 5 miliar selama satu periode.
Tingginya ongkos politik itulah yang menurut Sierra mengakibatkan korupsi merajalela di daerah. Tidak sedikit kepala daerah yang terjebak korupsi karena harus mengembalikan ongkos politik yang telah dikeluarkan dalam pilkada. Bahkan, ada pula kepala daerah yang melakukan korupsi demi mengumpulkan modal untuk mengikuti kontestasi pilkada selanjutnya.
Melihat potensi kecurangan yang juga besar dalam pilkada, Feri mengajak masyarakat untuk mengawasi jalannya pilkada. Sebab, organisasi masyarakat sipil tidak bisa sendirian mengawasi pilkada agar kecurangan dalam pilpres tak terulang.