Perkawinan Anak Itu Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Perkawinan anak masuk dalam UU TPKS sebagai pemaksaan perkawinan. Sosialisasi hal ini harus sampai ke masyarakat.
Perkawinan anak menjadi salah satu topik tematik yang diangkat pada Temu Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) Bagi Perempuan Korban Kekerasan yang berlangsung di Jakarta, 29-30 April 2024. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah menempatkan perkawinan anak sebagai pemaksaan perkawinan.
Peraturan perundang-undangan tersebut perlu disosialisasikan secara masif kepada masyarakat. Sosialisasi perlu digencarkan pada daerah-daerah yang masih tinggi kasus perkawinan anak.
Masyarakat, terutama pemerintah desa, tokoh adat, dan masyarakat, harus mengetahui, perkawinan anak merupakan tindak pidana kekerasan seksual. Dengan demikian, tentu saja ada ancaman pidana bagi pelanggarnya.
Baca juga: Perkawinan ”Pintu Belakang” dan Perbudakan, Jerat Kekerasan Seksual Perempuan Sumba
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mengatur perkawinan anak masuk dalam bentuk pemaksaan perkawinan (salah satu dari jenis TPKS). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU TPKS.
Pasal 10 Ayat 1 menyebutkan, ”Setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan.” Perbuatan ini diancam pidana penjara paling lama 9 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200 juta.
Selanjutnya, Pasal 10 Ayat 2 menyatakan, pemaksaan perkawinan tersebut termasuk perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, atau pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku pemerkosaan.
Pada temu nasional yang mengusung tema ”Menguatkan Lembaga Penyedia Layanan untuk Memastikan Implementasi UU No 12 Tahun 2022 tentang TPKS Berkeadilan Gender dan Inklusif”, perkawinan anak menjadi diskusi menarik.
Diskusi tematik ”Penegasan Perkawinan Anak Sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual Menurut UU Nomor 12 Tahun 2022) dalam Pusaran Praktik Adat, Agama, dan Dispensasi Menurut UU Perkawinan” mendapat perhatian.
Clear bahwa kawin tangkap itu bagian dari sini, kawin anak.
Sri Nurherwati, komisioner terpilih Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2024-2029, mengatakan, perkawinan anak disebutkan secara khusus dalam UU TPKS karena penegakan hukumnya menghadapi banyak tantangan. ”Kalau enggak dieksplisitkan, penegak hukum masih nyari-nyari yang mana sih bunyi yang menyatakan bahwa bentuk perkawinan anak itu masuk dalam bagian kawin paksa, termasuk juga pemaksaan perkawinan korban kekerasan,” ujar komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) periode 2015-2019 tersebut.
Contoh kasusnya yaitu praktik kawin tangkap pada anak di Nusa Tenggara Timur. Meskipun ada pemaksaan dalam praktik tersebut, di lapangan para pelaku malah tidak diproses hukum.
Kini, dengan disebutkan langsung UU TPKS, bahkan ditambah pasal pemberatan, yang menyasar antara lain penyelenggara negara, orangtua, dan tokoh adat, kasus-kasus pemaksaan perkawinan dalam bentuk perkawinan anak bisa diproses hukum. Aparat penegak hukum tidak lagi punya alasan untuk berkelit atau berdalih belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.
”Kawin tangkap itu melawan hukum ya, menculik, atau bahkan kemudian memerkosa supaya mau dinikahi, bagaimana supaya itu di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaan. Ini yang saya kira clear bahwa kawin tangkap itu bagian dari sini, kawin anak,” ucap Nurherwati.
Pengaturan tindak pidana pemaksaan perkawinan hanya ada di TPKS, di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada. Karena itulah, peran serta semua pihak dalam mencegah perkawinan anak sangat penting, mulai dari orangtua, tokoh adat/masyarakat, hingga tingkat pengadilan.
Baca juga: Anak dan Kaum Muda Harus Tahu Risiko Perkawinan Anak
Hakim pengadilan yang menerima permohonan dispensasi perkawinan juga diharapkan memperhatikan kepastian pemenuhan kepentingan terbaik bagi anak ketika menerima permohonan dispensasi. Jika tidak ada jaminan, seharusnya ditolak. Ketika ditolak, informasinya harus sampai ke bawah, dalam hal ini terutama tokoh adat.
Sebab, sering kali hakim sudah menolak permohonan dispensasi, tapi tokoh adat malah menikahkan anak secara adat. Dengan demikian, perkawinan tersebut tidak tercatat negara.
Ulfatun Hasanah dari Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU), membagikan hasil penelitian terkait praktik perkawinan anak di Kabupaten Malang (Jawa Timur), Indramayu (Jawa Barat), Sorong (Papua Barat Daya), Tojo Una-Una (Sulawesi Tengah), Lombok Utara (Nusa Tenggara Barat), dan Lembata (NTT).
Di daerah-daerah tersebut, perkawinan anak masih terjadi karena pengaruh budaya di masyarakat yang melihat anak lebih baik cepat menikah. Misalnya, di Malang jika sudah usia 19 tahun dianggap ”perawan tua”, di Sorong dan Touna ada pandangan tidak baik menolak lamaran perkawinan, serta di Lombok ada tradisi kawin lari.
Ulfatun mencontohkan, di Sorong ada anak yang menikah dan memiliki tiga anak, tetapi perkawinan belum tercatat negara, termasuk belum melakukan perkawinan agama. ”Itu masih tersendat di adat. Belum bayar uang adat, jadi mereka tidak dinikahkan secara agama dulu, tapi mereka keburu punya anak lagi. Jadi, tidak nikah baik secara agama maupun negara,” kata Ulfatun.
Norma agama
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Theresia Dyah Wirasti, mengatakan, ada situasi di Indonesia yang tidak dapat diubah oleh hukum sekalipun, antara lain karena pengaruh norma agama. Hal ini membuat perkawinan anak di Indonesia terus langgeng.
”Norma agama akan terus menjadi sumber acuan yang kuat dalam berperilaku. Jadi, perkawinan adalah peristiwa yang sakral, hubungan seks di luar kawin adalah dosa. Perkawinan bisa dianggap sebagai sebuah solusi, tetapi di sisi lain tidak dimungkiri, institusi perkawinan yang tidak dilakukan secara bijak itu akan menjadi awal dari banyak persoalan,” ucap Theresia.
Hal lain adalah kehamilan dan hubungan di luar perkawinan sering kali hanya dapat ”diselesaikan” secara sosial dan budaya melalui institusi perkawinan. Contohnya, korban pemerkosaan kerap dinikahkan dengan pelaku karena memandang perkawinan sebagai solusi.
Karena itulah, untuk mencegah perkawinan anak, beberapa langkah perlu dilakukan. Misalnya, perlu ada pedoman yang lebih ketat lagi bagi hakim agar tidak dengan mudah memberikan dispensasi. Dispensasi hanya berlaku untuk kasus-kasus yang darurat.
Selain itu, tidak ada dispensasi perkawinan untuk anak-anak di bawah usia tertentu. Kemudian, ada sanksi jika ada perkawinan tanpa izin, atau petugas pencatatan sipil dan pencatat nikah memalsukan atau memfasilitasi pemalsuan atau manipulasi data atau dokumen, termasuk memalsukan usia agar dapat menikah.
Upaya mencegah dan menghapus perkawinan anak merupakan pekerjaan rumah bangsa Indonesia. Sosialisasi dan upaya pencegahan perkawinan anak harus terus dilakukan secara masif. Masa depan anak-anak penerus bangsa dipertaruhkan.