China Masih Bantu Rusia, AS Jatuhkan Ratusan Sanksi
Sanksi baru AS menyasar 300 entitas dan individu yang masih saja membantu Rusia. Paling banyak datang dari China.
WASHINGTON, RABU — Departemen Keuangan dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menjatuhkan sanksi baru terhadap sekitar 300 target. Ini termasuk 80 perusahaan dan individu yang memungkinkan Rusia memperoleh teknologi dan peralatan yang dibutuhkan dari luar negeri.
Dari 300 target yang dijatuhi sanksi, terdapat banyak perusahaan di China dan Hong Kong. Alasannya, mereka mendukung perang Rusia di Ukraina. Selain sasaran di China, sanksi itu juga menyasar perusahaan dan individu di Rusia, Azerbaijan, Belgia, Slowakia, Turki, dan Uni Emirat Arab.
Sanksi baru diumumkan Departemen Keuangan AS, Rabu (1/5/2024) waktu setempat atau Kamis waktu Indonesia. Sanksi baru ini diharapkan dapat menurunkan kemampuan perang Rusia. Dengan sanksi itu, AS memperkuat cengkeramannya dalam membatasi pendapatan Kremlin dan akses terhadap material penting untuk perang di Ukraina.
Material-material itu antara lain peralatan mesin untuk produksi pesawat nirawak dan mikroelektronik. Selain itu, ada juga bubuk mesiu, propelan roket, dan bahan peledak lain. Fokus sanksinya melumpuhkan industri militer dan program senjata kimia serta biologi Rusia.
Baca juga: Blinken Tekankan Komitmen Dialog Langsung dan Terbuka dengan China
AS juga menuding Rusia menggunakan senjata kimia klorofin dan gas air mata terhadap pasukan Ukraina. Hal ini melanggar Konvensi Senjata Kimia. AS, bersama negara-negara sekutunya, prihatin terhadap perusahaan-perusahaan di China dan negara-negara lain yang membantu Rusia.
Baca juga: Rusia Alokasikan 40 Persen Anggaran Nasional untuk Perang
Dukungan ini yang membuat Rusia masih bisa melanjutkan invasinya di Ukraina. Menteri Keuangan AS Janet Yellen dan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken sudah berulang kali memperingatkan China bahwa mereka harus menindak keras perkara ini. Peringatan yang sama kembali disampaikan Blinken ketika dia melawat ke China, Rabu (24/4/2024).
Menurut lembar fakta Departemen Luar Negeri, sanksi-sanksi tersebut menimpa ”entitas yang bertanggung jawab mengembangkan dan memasok peralatan kedirgantaraan, manufaktur, dan teknologi yang dapat digunakan entitas di Rusia”. Ketika Rusia mulai membangun kembali kemampuan pertahanannya, AS menggalang sekutunya untuk menekan China.
Jika China tidak mendukung Rusia, mesin perang Rusia tidak akan berkutik. ”Kemampuan Rusia meningkat. Mereka punya banyak aset dan kekuatannya pulih. Mereka jadi ancaman tidak hanya bagi Ukraina, tetapi juga wilayah lain,” kata seorang pejabat senior Deplu AS kepada CNN sebelum Blinken ke China.
Baca juga: AS-UE Kembali Beri Pengecualian Sanksi ke Rusia
Juru bicara Kedutaan Besar China di Washington, Liu Pengyu, mengatakan, pemerintah telah mengawasi ekspor barang-barang penggunaan ganda sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku. Perdagangan dan interaksi ekonomi antara China dan Rusia sudah sejalan dengan peraturan Organisasi Perdagangan Dunia. ”China tegas menentang sanksi sepihak ilegal AS,” ujarnya.
Deplu AS juga memperluas sasarannya terhadap kemampuan Rusia mengirimkan gas alam cair (LNG). Ini salah satu ekspor utama Rusia. Sanksi ini menyasar dua operator tanker yang mengangkut teknologi, termasuk kaki beton, yang menyokong kilang lepas pantai untuk proyek LNG Arktik 2 Rusia.
Akibat sanksi AS sebelumnya terhadap LNG Arktik 2 bulan lalu, produsen LNG terbesar di Rusia, Novatek, terpaksa menghentikan produksinya di proyek tersebut. Ini karena mereka kekurangan tanker pengirim bahan bakar.
Yang juga menjadi sasaran sanksi AS adalah anak-anak perusahaan tenaga nuklir Rusia, Rosatom. Ada pula 12 entitas dalam grup perusahaan Sibanthracite, salah satu produsen batubara metalurgi terbesar Rusia. Washington pun menjatuhkan sanksi terhadap maskapai penerbangan Rusia, Pobeda, anak perusahaan maskapai penerbangan Rusia, Aeroflot.
Baca juga: China dan Rusia Saling ”Mengamankan” Multilateralisme
Departemen Perdagangan AS sebelumnya telah menambahkan lebih dari 200 pesawat Boeing dan Airbus yang dioperasikan maskapai penerbangan Rusia ke dalam daftar kendali ekspor. Ini sebagai bagian dari sanksi AS atas invasi Rusia ke Ukraina.
Deplu AS juga menargetkan tiga orang sehubungan dengan kematian mendiang pemimpin oposisi Rusia, Alexei Navalny, yang tewas di penjara Arktik Rusia, Februari 2024. Pihak berwenang Rusia mengatakan, dia meninggal karena sebab alamiah. Namun, para pendukungnya yakin dia dibunuh oleh Kremlin.
Terkait dengan tuduhan itu, yang mendapat sanksi adalah direktur lembaga pemasyarakatan di Rusia tempat Navalny ditahan, kepala detasemen kurungan isolasi, dan kepala unit medis di koloni tempat dia dipenjara sebelum kematiannya. Sanksi diberikan karena, menurut Deplu AS, mereka itulah para pejabat yang selama ini mengawasi Navalny.
Musuh
Sanksi-sanksi baru AS ini dikhawatirkan akan memperburuk hubungan AS-China. Ini sekaligus memperburuk pandangan warga AS yang menganggap China sebagai musuh. Survei tahunan Pew Research Center yang dirilis pada Rabu (1/5/2024) menunjukkan, lebih dari 40 persen warga AS kini sudah menyebut China sebagai musuh.
Survei yang dilakukan pada 1-7 April 2024 terhadap 3.600 orang dewasa AS ini menemukan, separuh warga AS berpendapat bahwa kebijakan luar negeri AS harus memprioritaskan pembatasan kekuasaan dan pengaruh China.
Baca juga: Diskriminasi Rasial ibarat "Duri dalam Daging" Amerika Serikat
Separuh responden juga menganggap China sebagai pesaing. Hanya 6 persen yang menganggap China sebagai mitra. Untuk lima tahun berturut-turut, sekitar delapan dari 10 warga AS memandang China dengan pandangan tidak menyenangkan.
Mereka juga kurang atau bahkan tidak percaya Presiden China Xi Jinping akan bisa menangani urusan dunia dengan benar. Sebanyak 10 persen responden malah mengaku belum pernah mendengar tentang Xi.
Sikap sebagian besar warga AS terhadap China berubah menjadi kritis setelah AS melancarkan perang dagang melawan China pada 2018 dan sejak munculnya pandemi Covid-19. Catatan hak asasi manusia China yang kurang baik, kedekatan dengan Rusia, dan kebijakannya terhadap Taiwan dan Hong Kong memperparah pandangan negatif warga AS.
Baca juga: AS Akan Punya ”Senjata” Lawan Sentimen Anti-Asia
Sebanyak 42 persen warga AS menyatakan, China adalah musuh AS. Ini tingkat yang tertinggi sejak 2021. Pandangan negatif terbanyak datang dari anggota Partai Republik dan tokoh independen yang berhaluan Partai Republik. Mereka yang menganggap China sebagai musuh juga datang dari kelompok warga berusia lanjut, anggota Partai Republik yang konservatif, dan mereka yang berpandangan buruk terhadap perekonomian AS.
”Warga AS memandang China dengan lebih negatif ketika mereka berpikir pengaruh China di dunia menguat. Ini juga terjadi ketika mereka berpikir China mempunyai pengaruh besar terhadap ekonomi AS,” kata Christine Huang, peneliti di Pew. (REUTERS/AFP/AP)