Unjuk Rasa Pro-Palestina Berlanjut di Kampus UCLA, Polisi Serbu Kampus Lagi
Seperti di Columbia University, mahasiswa UCLA melawan. Polisi AS menyerbu lagi kampus tempat unjuk rasa pro-Palestina.
LOS ANGELES, KAMIS — Para mahasiswa dan pengunjuk rasa pro-Palestina di Kampus University of California, Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat, menolak pembubaran aparat dan terus berunjuk rasa mendukung Palestina hingga Kamis (2/5/2024) dini hari waktu setempat. Aksi mereka sementara terhenti setelah aparat kepolisian Los Angeles menyerbu masuk kampus tersebut, membubarkan unjuk rasa, menangkapi sejumlah pengunjuk rasa, dan membongkar kemah-kemah mereka.
Serbuan menjelang fajar di UCLA itu merupakan percikan ketegangan terbaru di kampus-kampus seantero Amerika Serikat (AS), yang dilanda unjuk rasa pro-Palestina. Pemandangan serupa terjadi sebelumnya di Columbia University, New York City. Atas persetujuan Rektor Columbia University, Kepolisian New York menyerbu pengunjuk rasa di kampus itu.
Baca juga: Polisi Serbu Sejumlah Kampus Amerika Serikat
Para pengunjuk rasa di kampus-kampus di AS itu menentang gempuran membabi buta Israel ke Gaza sebagai respons atas serangan kelompok Hamas ke Israel, 7 Oktober 2023. Hingga Kamis (2/5/2024), menurut Kementerian Kesehatan di Gaza, lebih dari 34.500 warga Palestina di Gaza tewas, sementara 77.800 orang terluka. Di Israel, sekitar 1.200 orang tewas dalam serangan Hamas dan sekitar 250 warga di Israel disandera di Gaza, sebagian dari mereka dibebaskan atau tewas.
Di kampus UCLA, ratusan pengunjuk rasa mencoba bertahan dan mengabaikan seruan aparat kepolisian yang meminta mereka membubarkan diri. Dalam siaran langsungnya, televisi lokal KABC-TV memperkirakan 300 hingga 500 pengunjuk rasa bertahan dalam barikade yang dibatasi kemah-kemah, sementara sekitar 2.000 orang lainnya berada di luar barikade untuk mendukung mereka.
Ray Wiliani, warga yang tinggal di dekat Kampus UCLA, datang pada Rabu malam untuk mendukung pengunjuk rasa pro-Palestina. “Kami harus bersikap tegas. Cukup sudah ini semua,“ katanya.
Selepas tengah malam atau sekitar pukul 03.15 waktu setempat, polisi merangsek ke dalam kampus dan meringkus para pengunjuk rasa yang menolak membubarkan diri. Pada saat bersamaan, helikopter aparat meraung-raung di angkasa. Beberapa kali terdengar suara ledakan keras.
“Ke mana saja kalian semalam,“ teriak pengunjuk rasa kepada polisi.
Teriakan itu merujuk pada peristiwa Selasa malam, saat para pengunjuk rasa pro-Palestina diserbu sekelompok massa bertopeng. Malam itu, menurut kelompok pro-Palestina, mereka dilempari dengan suar api dan dipukuli dengan pentungan. Tak ada polisi turun tangan untuk melindungi mereka.
Seorang jubir Gubernur California, Gavin Newsom, mengkritik minim dan lambannya tindakan penegakan hukum kampus atas serbuan kelompok massa bertopeng. Kelambanan itu tidak dapat diterima, katanya. Rektor UCLA Gene Block berjanji untuk menyelidiki insiden Selasa malam itu.
“Masyarakat butuh rasa aman bahwa polisi melindungi mereka, bukan membiarkan pihak lain menyerang mereka,“ kata Rebecca Husaini, Kepala Staf Dewan Urusan Publik Muslim dalam konferensi pers di Kampus UCLA, Rabu.
Selain terjadi di UCLA, penyerbuan aparat kepolisian juga berlangsung di Politeknik Negeri California, Universitas Negeri North Carolina, Universitas Texas Austin, dan Universitas Negeri Florida Tallahassee.
Selain mendesak gencatan senjata di Gaza, para mahasiswa di kampus-kampus itu umumnya menuntut agar para pengelola universitas menghentikan hubungan dengan perusahaan-perusahaan pemasok senjata ke Israel. Mahasiswa juga menuntut mereka menghentikan dana riset dari Israel untuk proyek-proyek yang menopang militer Israel dan agar mereka lebih transparan soal dana-dana dari Israel.
Keberhasilan dialog di tiga universitas
Di tengah penangkapan para mahasiswa pengunjuk rasa pro-Palestina tersebut, tiga perguruan tinggi tampil sebagai contoh keberhasilan dialog antara rektorat dan mahasiswa. Universitas Brown, Northwestern, dan John Hopkins mengeluarkan perjanjian dengan para pengunjuk rasa agar berhenti berkemah di lingkungan kampus sekaligus membuka ruang pembahasan divestasi perguruan tinggi dari pihak-pihak yang mendukung apartheid Israel terhadap bangsa Palestina.
Universitas John Hopkins di Baltimore, Negara Bagian Maryland, adalah perguruan tinggi ketiga yang meraih kesepakatan dengan para mahasiswa pengunjuk rasa pada Rabu (1/5/2024) sore waktu setempat atau Kamis (2/5/2024) pagi waktu Indonesia. “Kami melakukan dialog yang konstruktif dan produktif. Mahasiswa berjanji membongkar perkemahan. Unjuk rasa diperbolehkan berlanjut selama memenuhi tata tertib universitas,“ kata pernyataan bersama Rektor Universitas John Hopkins Ron Daniels dan Wakil Rektor Bidang Akademik Ray Jayawardhana.
Baca juga: Polisi Serbu Sejumlah Kampus Amerika Serikat
Dilansir surat kabar Baltimore Sun, mahasiswa Universitas John Hopkins meminta kampus melakukan divestasi dari perusahaan-perusahaan, antara lain, yakni Elbit Systems, BlackRock, Northrop Grumman, Palantir, General Dynamics, Lockheed Martin, dan Google. Mereka dituduh mendukung penjajahan dan genosida Pemerintah Israel atas bangsa Palestina.
Kampus ini menyusul Universitas Brown di Providence, Negara Bagian Rhode Island, dan Universitas Northwestern di Chicago, Negara Bagian Illinois, yang menjanjikan dialog konstruktif dengan mahasiswa. Pada Selasa (30/4/2024), Rektor Universitas Brown Christina Paxson mengeluarkan pernyataan tertulis di laman resmi bahwa para mahasiswa berjanji membubarkan perkemahan pada hari itu pukul 17.00.
Ia mengatakan, tragedi dan perenggutan nyawa di Timur Tengah membuat banyak pihak meminta ada perubahan segera yang berarti. Pada saat bersamaan, semua pihak harus mengupayakan cara yang realistis untuk mencapai tujuan tersebut. Komitmen Universitas Brown sejak didirikan ialah menyelesaikan segala perbedaan pendapat melalui dialog, perdebatan, dan saling mendengar.
Baca juga: Hadapi Kebrutalan Aparat, Unjuk Rasa Mahasiswa di AS Kian Membara
“Saya tidak mengizinkan perkemahan mahasiswa di lingkungan kampus karena melanggar tata tertib dan saya mengkhawatirkan meningkatnya ujaran kebencian. Akan tetapi, saya berkomitmen mewadahi kebebasan berekspresi secara bertanggung jawab. Kampus berterima kasih kepada para mahasiswa untuk melakukan deeskalasi,“ kata Paxson.
Divestasi dari Israel
Aspek penting di dalam perjanjian antara Universitas Brown dan mahasiswanya ialah secepatnya pada bulan Mei melakukan rapat antara rektorat, dekanat, dan lima perwakilan mahasiswa. Pihak mahasiswa akan memberikan paparan gagasan divestasi Universitas Brown dari orang, lembaga, dan perusahaan yang mendukung penjajahan Pemerintah Israel atas bangsa Palestina.
Paxson meminta Dewan Penasihat Universitas Brown untuk Pengelolaan Sumber Daya agar menerbitkan hasil kajian per 30 September 2024 yang berisi rekomendasi soal divestasi tersebut. Hasil kajian ataupun gagasan para mahasiswa akan dipaparkan di hadapan para perusahaan sponsor Universitas Brown pada Oktober 2024. Pihak universitas juga menyelidiki seluruh tuduhan ujaran kebencian, baik yang anti-semit maupun anti-Muslim, dan memastikan pelakunya memperoleh sanksi.
“Kami senang kampus mau mendengar dan menunggu pemenuhan janji Brown untuk melakukan divestasi dari peperangan, penjajahan, dan kematian,“ Sam Theoharis, salah satu mahasiswa peserta unjuk rasa.
Sementara itu, di Universitas Northwestern, perkemahan mahasiswa juga bubar sesuai dengan perjanjian. Kampus mengizinkan mahasiswa tetap berunjuk rasa sesuai dengan tata tertib, yaitu harus bubar setiap hari per pukul 17.00. Surat pernyataan kampus itu ditandatangani oleh Rektor Universitas Northwestern Michael Schill, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Susan Davis, dan Wakil Rektor Akademis Kathleen Hagerty serta terbit di laman resmi kampus.
Baca juga: Empat Biro Deplu AS Sebut Israel Melanggar HAM
Mereka mengatakan, perjanjian itu berkesinambungan dan berkelanjutan dalam mencari cara memenuhi tuntutan mahasiswa agar perguruan tinggi tersebut melakukan divestasi dari Israel. Universitas Northwestern juga menyatakan dukungan terhadap mahasiswa Muslim, Arab, dan Palestina. Menurut mereka, keberadaan mereka memperkaya keragaman dan memperkuat sivitas akademika.
“Mayoritas laporan ujaran kebencian antisemit maupun anti-Palestina dilakukan oleh pengunjuk rasa dari luar kampus. Kami tidak mengizinkan hal ini terjadi dan tidak boleh berlanjut. Setiap sivitas akademika yang ketahuan melakukan ujaran kebencian akan diberi ganjaran,“ tulis pernyataan itu.
Jalan yang ditempuh oleh ketiga perguruan tinggi tersebut yang mengutamakan dialog bertolak belakang dengan di Universitas Columbia. Padahal, perguruan tinggi di New York inilah yang memantik unjuk rasa pro-Palestina di kampus-kampus seantero AS.
Baca juga: Hamas Siap Akui Israel dan Letakkan Senjata
Rektor Universitas Columbia Minouche Shafik menuturkan, pihaknya tidak akan melakukan divestasi dari Israel dan memilih melakukan investasi kepada masyarakat di Jalur Gaza. Di kampus almamater Presiden AS 2008-2016 Barack Obama dan tempat Menteri Luar Negeri AS 2009-2013 Hillary Clinton mengajar ini, sedikitnya 100 mahasiswa ditangkap polisi.
Komite Yahudi AS mengkritik keputusan perguruan-perguruan tinggi tersebut. Menurut mereka, rektorat malah tunduk pada permintaan pengunjuk rasa dan menjadikan kampus tidak aman pada sivitas akademika Yahudi. (AP/AFP/REUTERS)