Dilema Guru dalam Kepungan Aplikasi
Manajemen sekolah berbasis digital mestinya didesain dan dijiwai semangat demi memudahkan para guru, bukan sebaliknya.
Peraturan pemerintah yang mengatur tugas dan kewajiban guru berbasis digital memantik berbagai reaksi dari guru dan juga tenaga pendidik.
Digitalisasi dalam manajemen sekolah seharusnya memudahkan dan membantu guru. Namun platform Merdeka Mengajar dan elektronik Kinerja (eKIN) adalah “dua saudara kembar” yang justru dirasa seolah bak hantu menakutkan bagi para guru walau keduanya adalah makhluk mulia.
Semua kebijakan yang terangkum dalam peraturan pemerintah berorientasi dan mengarah pada kemaslahatan. Hal itu dilakukan baik melalui sebuah program baru maupun penyempurnaan program lama secara bertahap.
Kinerja guru harus bagus dan meningkat, juga terstandar. Muaranya adalah peningkatan mutu dan kualitas pendidikan kita demi Generasi Emas.
Pendidikan harus maju. Harga mati yang tak boleh ditawar. Sebab, ia adalah tonggak peradaban. Sementara guru adalah subyek penting dalam pendidikan dengan tanggung jawab besar. Ia adalah agen utama dan ujung tombak. Harus tampil di garda paling depan dalam segenap langkah menuju supremasi tertinggi yang hendak dicapai.
Baca juga: Tirani Aplikasi
Guru tentu menyadari perannya yang sentral. Ia adalah fasilitator, harus mampu mengkreasi beragam desain model pembelajaran. Juga hal terkait pemenuhan kebutuhan siswa dalam belajar. Terlebih dalam kurikulum merdeka, guru diharapkan mampu menjadi arsitek pembelajaran yang inovatif dan berfokus pada pengembangan karakter, kreativitas, dan kemandirian siswa.
Akhirnya, posisi guru benar-benar berada di titik krusial yang dilematis. Guru dituntut dan dipaksa menjadi multitasker andal. Harus mampu mengerjakan banyak hal dalam waktu bersamaan sekaligus. To be a smart person pun juga to be a good administrator dalam satu waktu. Keterampilan yang benar-benar tak mudah.
Guru dituntut mampu hadir sebagai sosok yang smart. Harus meng-upgrade diri dalam banyak hal secara periodik dan berkesinambungan. Itu bisa diwujudkan dengan berbagai cara. Tentu, juga menyita banyak waktu.
Belenggu tugas administrasi
Di sisi lain, kebijakan pemerintah menyangkut tugas administrasi guru menjadikan dirinya lebih banyak duduk. Tak beranjak dari kursi demi mengangsur tagihan dalam aplikasi digital pada platform.
Waktu guru cukup tersita oleh aneka cicilan dalam dua aplikasi daripada upaya pengembangan kompetensi dirinya. Bahkan waktu guru bagi keluarga kadang terenggut.
Guru menjelma menjadi makhluk tak acuh dan terkesan individualis. Lebih banyak diam karena banyak urusan belum diselesaikan.
Kepercayaan dirinya seolah luntur, menjadi sosok yang gamang dan gagu. Jiwanya dihantui deadline pemenuhan tuntutan administrasi yang njlimet dan melilit,
Dampak buruk pengiring yang timbul ternyata cukup menakutkan. Kedua saudara kembar itu benar-benar melahirkan bertumpuk sampah persoalan.
Tak berlebih jika dinyatakan bahwa guru benar-benar dalam masalah sulit. Fokus guru dalam menunaikan tugasnya bergeser. Kerap kali salfok (salah fokus) dalam keseharian. Juga kemampuan dirinya dalam menentukan skala prioritas menjadi pudar. Tak tahu mana yang harus didahulukan di antara tumpukan tugas. Atmosfer lingkungan sekolah pun berubah drastis.
Cetak biru dan catatan penting mengenai kebijakan baru yang digital oriented yang harusnya dibuat simpel dan memudahkan ternyata justru menyulitkan.
Hantu berupa kedua hal tersebut di atas menjelma menjadi momok menakutkan yang akhirnya mengubah perilaku guru. Guru merasa kehilangan banyak waktu dalam meresepsi tugas personal selaku administratur. Mulai dari penyiapan perangkat hingga tetek bengek pelaporan yang dibutuhkan sebagai bahan penilaian kinerjanya.
Cetak biru dan catatan penting mengenai kebijakan baru yang digital oriented yang harusnya dibuat simpel dan memudahkan ternyata justru menyulitkan. Bahkan kini telah mengubah pola perilaku para pahlawan tanpa tanda jasa itu.
Intensitas hubungan interpersonal di kalangan guru memudar. Hampir tak ada waktu lagi berdiskusi tentang permasalahan siswa. Pun juga tak tersedia kesempatan bertukar pikiran antarmereka tentang hal-hal kekinian. Tegur sapa tak lagi renyah dan semeriah biasanya. Rona wajah mereka tak lagi semringah. Berasa ada beban yang mengimpit. Ada pasung yang membelenggu bagi ruang geraknya dalam menjalankan tugas.
Sebagai aparatur sipil negara (ASN), semua guru harus ”setia tuhu” terhadap kebijakan pemerintah dalam berbagai bentuk. Laporan tentang masalah yang timbul dan tertuang dalam paparan tentu bukan bermaksud menolak dan menganulir keputusan. Sekadar sebagai wacana bersama. Namun, bahwa ragam persoalan yang timbul harus ada langkah penyelesaian. Juga, bahwa ternyata masih banyak tantangan yang harus kita hadapi bersama demi kemajuan.
Kurikulum Merdeka menuntut semua guru lebih kreatif, eksploratif, dan selalu fokus pada perkembangan dan kemandirian siswa. Namun guru juga harus merdeka dari segala bentuk belenggu dan keterkungkungan.
Banyak fakta menarik yang menyita perhatian beberapa pihak menyangkut rutinitas keseharian para guru. Apa yang dilakukan guru lebih terfokus pada upaya pemenuhan item-item yang bejibun dalam aplikasi digital. Kesibukan guru lebih tertuju pada pemenuhan tugas administrasif pribadi belaka daripada menyiapkan generasi bangsa.
Namun, sikap para guru mungkin tak sepenuhnya salah walau juga tak bisa dibenarkan. Sebab sikap tersebut terkait erat dengan nasib serta karier mereka di dunia kerja. Adapun periuk nasi harus tetap bertahan. Tungku api di dapur harus terjaga nyalanya. Sementara, bekerja adalah demi hasil yang berupa upah untuk mencukupi kebutuhannya sebagai makhluk hidup.
Menelisik kemungkinan sebab karutnya situasi yang berpangkal pada kebijakan baru merujuk pada—setidaknya—dua hal. Pertama, kaburnya pandangan mata ini hingga tak mampu membedakan secara tegas antara sarana dan tujuan. Kedua, ketidaktepatan dalam mengarahkan target sasaran paling utama dalam pendidikan hingga mengalami pergeseran.
Baca juga: Guru Penggerak dan Pemburu Centang Hijau
Pertama, identifikasi sarana dan tujuan yang kaprah. Sarana adalah upaya mempermudah tercapainya tujuan. Sementara tujuan adalah apa yang ingin kita gapai. Manajemen pendidikan yang digital oriented sekadar sarana sebagai upaya memudahkan tercapainya tujuan. Bukan sebaliknya bahwa sarana itu menyita sebagian besar waktu guru, pikiran, dan tenaganya. Akibatnya, siswa pun kehilangan hak, bahkan menjadi korban.
Kedua, kesalahan dan pergeseran dalam menentukan target sasaran. Siswa atau anak didik adalah subyek utama dalam pendidikan modern. Mereka adalah prioritas utama. Segenap usaha harus diarahkan demi perkembangan dan kemajuan anak didik. Kemajuan guru juga haruslah tetap diupayakan, tanpa harus membebani mereka dengan hal-hal ribet.
Walhasil, manajemen sekolah berbasis digital mestinya didesain dan dijiwai oleh semangat demi memudahkan para guru agar mampu memainkan perannya sebaik mungkin. Tak sebaliknya yang justru membuat mereka terkungkung dalam belenggu yang menyesakkan serta membuat mereka termurung.
Gerutu dan kesah para guru harus segera diakhiri. Pekat hitam mendung di langit madrasah harus segera berakhir. Guru dan siswa harus dalam suasana gembira dan ceria setiap hari. Harus semringah dan tak terlihat lagi beban di wajah. Kita di alam merdeka dan tak lagi berada dalam cengkeraman penjajah.
Derap langkah para guru dan tenaga pendidikan dalam memberikan pelayanan terbaik bagi siswa yang beriring dengan tugas administrasi harus bisa sejalan, seirama, serta dalam alunan yang segendang sepenarian. Hingga harmoni pun tercipta. Guru pun dalam semangat dan sukacita siapkan generasi bangsa.
Anang Zamroni, Guru MAN 1 Magetan, Jawa Timur